LP3ES dan Forum Alumni Sekolah Demokrasi Soroti Tekanan Gerakan Mahasiswa dan Penyempitan Ruang Sipil
Info Terkini | 2025-06-02 07:36:40
Jakarta – LP3ES bersama Forum Alumni Sekolah Demokrasi LP3ES menggelar diskusi (daring) publik bertajuk “Gerakan Mahasiswa dan Represi Negara” pada Minggu, 1 Juni 2025.
Diskusi ini menyoroti kembali urgensi pembahasan tekanan terhadap gerakan mahasiswa dan penyempitan ruang sipil di Indonesia, menghadirkan akademisi, aktivis hak digital, dan praktisi hukum.
Ismail Suardi Wekke (The Academia of Papua), selaku moderator diskusi, membuka acara dengan menggarisbawahi pentingnya peran mahasiswa sebagai kekuatan kritis.
"Diskusi ini diperlukan untuk mengidentifikasi bagaimana tekanan terhadap gerakan mahasiswa dan penyempitan ruang sipil sedang terjadi di Indonesia. Mahasiswa memiliki peran vital dalam menjaga demokrasi, dan kita perlu memastikan ruang gerak mereka tidak dibatasi," ujar Ismail.
Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa, dalam sambutan pembukaannya mengungkapkan kekhawatiran atas kondisi saat ini.
“Saat ini kita merasakan seperti déjà vu. Negara membatasi berbagai macam langkah dan tindakan, membatasi gerak mahasiswa dalam memainkan fungsinya sebagai penjaga moral publik dan kekuatan sipil yang kritis,” ungkapnya.
Nukila Evanty (Advisory Board Asia of Centre) memaparkan kronologi aksi protes mahasiswa dan buruh di depan kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, yang diwarnai dugaan keterlibatan polisi menyamar dan tindakan represif.
Ia menjelaskan represi negara mencakup pembatasan perilaku dan keyakinan warga negara melalui sanksi negatif seperti jam malam, penangkapan massal, pelarangan organisasi politik, hingga pelanggaran integritas pribadi seperti pengawasan ketat dan interogasi.
“Ada water cannon selama 20 menit, gas air mata lebih dari satu jam. Dua mahasiswa ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal 333 dan 170 KUHP. Media arus utama juga menyudutkan posisi mahasiswa yang ditahan,” terang Nukila.
Nukila kemudian menjelaskan lebih jauh bahwa aparat harus menggunakan pendekatan yang lebih manusiawi dan demokratis, serta mendorong penegak hukum untuk bersikap bijak, tidak reaktif, dan menggunakan mediasi serta restorative justice.
Bivitri Susanti, dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, menyoroti penyempitan ruang sipil yang dialami mahasiswa sebagai tren global yang mengakar kuat di Indonesia, gejala yang disebutnya shrinking civic space.
Menurutnya, hal ini tak lepas dari memburuknya kualitas demokrasi Indonesia yang telah menjelma menjadi prosedural belaka. “Demokrasi kita makin lama makin menyempit. Saya bahkan menyebutnya sebagai gejala fasisme,” tegas Bivitri.
Bivitri memperkenalkan konsep kompetitif otoritarianisme, di mana negara menyelenggarakan pemilu dan tampak demokratis secara luar, namun pada dasarnya otoriter.
“Mahasiswa yang menjadi pemohon di MK diteror, bahkan keluarganya juga. Ini bukan yang pertama. Ada rektor yang berharap jadi komisaris. Ketakutan menjadi sistematis dan menular ke mahasiswa. BEM dibekukan, dosen dibungkam,” tambahnya, menyoroti intervensi langsung ke institusi pendidikan tinggi.
Zainal Arifin Mochtar, Dosen Hukum Tata Negara UGM, menantang untuk melihat kembali perjalanan demokrasi Indonesia.
“Pertanyaannya: apakah kita pernah benar-benar melewati masa konsolidasi demokrasi? Jangan-jangan kita hanya sedang berputar-putar dalam masa transisi, atau bahkan kembali ke otoritarianisme,” ujarnya.
Ia menyebut model otoritarianisme saat ini sebagai neo-otoritarianisme, di mana oposisi dibunuh lewat kasus hukum dan partai oposisi pun dijinakkan.
“Pascareformasi, mahasiswa kerap dipukul dari dalam, dibenturkan dengan sesama mahasiswa. Ini mulai sejak SBY, puncaknya di Jokowi, dan berlanjut di era Prabowo,” tegas Zainal.
Ia juga menyoroti manipulasi ruang publik di mana negara seolah membuka ruang publik, tetapi itu satu arah. “Yang bisa membuka ruang publik adalah oposisi. Jika tidak ada oposisi, tidak ada ruang diskursus. Tanpa itu, demokrasi hanya ilusi,” tutupnya.
Hafizh Nabiyyin dari SAFEnet menegaskan bahwa represi negara terhadap mahasiswa kini tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga digital. Ia menyebut mahasiswa sebagai kelompok paling rentan.
“Situasi di Indonesia, SAFEnet mencatat bahwa pelajar, mahasiswa, OMS, dan aktivis menjadi paling rentan mengalami represi digital antara Januari hingga Maret 2025,” ungkapnya.
Serangan digital yang dialami mahasiswa terbagi dalam dua kategori besar: serangan teknis seperti peretasan dan DDoS, serta serangan psikologis berupa kriminalisasi, doxing, pengancaman, hingga serangan buzzer dan trolling.
Hafizh mendorong peningkatan kapasitas hukum dan keamanan digital secara kolektif, termasuk pelatihan keamanan digital internal, pembangunan kolektif CSIRT di kampus atau kota, pengurangan ketergantungan pada Big Tech, dan penggunaan software open source.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
