Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfin Nur Ridwan

Ketika Jaket Merah Menjadi Karpet Merah

Rembuk | 2025-10-29 20:21:00
Foto: Poster Pembukaan Tanwir XXXIII Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (Instagram @dpp.imm)

Ada satu pemandangan yang menarik sekaligus menyedihkan di dunia gerakan mahasiswa hari ini: organisasi yang dulunya keras kepala soal moral kini sibuk mencari posisi strategis di depan panggung.

Dan minggu ini, saya menyaksikan salah satu babak tragikomedi itu: Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) yang mengundang Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ke forum Tanwir di Universitas Muhammadiyah Malang.

Tema acaranya manis: “Energi Kolektif untuk Negeri”. Tapi yang terasa justru energi pragmatis untuk reputasi.

Padahal di masa lalu, IMM dikenal dengan idealismenya, ia lahir dari rahim intelektual, berjuang di garis nilai. Mahasiswanya menulis, berdiskusi, dan kalau perlu, berdebat dengan kekuasaan. Tapi kini, di hadapan sosok menteri yang penuh “kontroversi”, DPP IMM tampak lebih mirip panitia penyambut tamu daripada organisasi pergerakan.

Lucu. Padahal dulu, kalau ada pejabat datang ke kampus, IMM-lah yang biasanya mengajukan pertanyaan paling menyakitkan. Sekarang? Sepertinya mereka malah sedang menyiapkan backdrop dan karpet merah.

Mari kita bicara sedikit tentang Bahlil, tokoh yang katanya punya insting bisnis tajam dan lidah yang luwes. Tapi di bawah senyum luwes itu, publik sudah berkali-kali mengernyitkan dahi. Sebagai Menteri ESDM, Bahlil terlibat dalam berbagai kebijakan yang membuat masyarakat kecil mengelus dada.

Ingat soal pembatasan distribusi LPG 3 kilogram? Kebijakan yang katanya demi efisiensi itu justru membuat ibu-ibu di warung kecil kelimpungan mencari gas untuk masak. Ekonom menilainya sebagai blunder kebijakan. Tapi ya, mungkin di mata Bahlil, rakyat kecil hanyalah angka subsidi yang bisa dirapikan dengan tanda tangan.

Belum lagi soal dugaan konflik kepentingan di sektor tambang. Media seperti Kompas dan RMOL sempat menyinggung keterkaitan perusahaan tambang dengan Bahlil, meski ia bersumpah tak ada tumpang tindih antara jabatannya dan bisnis pribadinya.

Tapi rakyat tentu tak sebodoh itu, mereka tahu bau tambang berbeda dengan bau idealisme. Dan kini, ketika publik masih bertanya-tanya tentang proyek pipa gas Cirebon-Semarang yang bermasalah, DPP IMM justru menghadirkan sosok ini di ruang kampus, di hadapan para kader ikatan yang konon katanya masih “mewarisi semangat kritis M. Natsir dan Ahmad Dahlan.”

Ironi macam apa ini? Kalau kita meminjam teori critical pedagogy dari Paulo Freire, mahasiswa sejatinya harus menjadi subjek yang membebaskan diri dari kesadaran tertindas melalui refleksi dan tindakan kritis.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya: IMM, khususnya mereka yang di pusat, tampak menjadi pelajar teladan dari banking education, yang dengan patuh menyiapkan kursi empuk untuk pejabat, sembari berharap dapat ilmu dan berkah kebijakan.

Barangkali begini sekarang definisi baru jihad intelektual: bukan lagi mengkritik kekuasaan, melainkan menyiapkan acara dengan tema Islami dan nasionalis, mengundang pejabat, foto bersama, dan menulis caption “sinergi untuk negeri”.

Padahal, kalau mau jujur, IMM lahir dari semangat counter-power. Ia dibentuk agar mahasiswa tidak terseret arus politik praktis. Tapi kini DPP IMM tampak begitu piawai memainkan simfoni pragmatisme, sedikit idealisme di lirik, banyak kompromi di nada.

Kader-kader muda di bawahnya mungkin kebingungan: apakah ini organisasi perjuangan atau biro humas kekuasaan? Apakah Tanwir masih forum untuk menegaskan arah gerakan, atau sekadar event besar agar bisa mengundang nama besar?

Bahlil mungkin datang dengan jas rapi, disambut dengan kalimat penuh hormat. Tapi bayangkan jika dalam forum itu tidak ada satu pun kader yang berani bertanya tentang kebijakan BBM campur etanol atau soal tambang di Raja Ampat. Bayangkan jika semua hanya diam, tepuk tangan, lalu foto bersama.

Maka saat itulah, IMM tidak lagi menjadi gerakan mahasiswa, melainkan dekorasi dari panggung kekuasaan. IMM sering menyebut dirinya sebagai gerakan profetik, berorientasi pada humanisasi, liberasi, dan transendensi.

Tapi jika ia tak bisa bersikap kritis pada kekuasaan, terutama kekuasaan yang mengancam ruang hidup rakyat kecil, maka nilai profetik itu tinggal jargon brosur. Sebab tak ada “liberasi” di dalam ruang yang diisi pejabat tanpa keberanian bertanya. Yang ada hanya upacara formal dan doa penutup yang terdengar lebih seperti salam perpisahan idealisme.

Boleh saja DPP IMM berargumen bahwa mengundang Bahlil adalah bagian dari dialog gagasan. Tapi bukankah dialog yang sejati butuh daya kritis? Jika semua kritik dibungkam atas nama sopan santun, maka forum itu tak ubahnya rapat koordinasi pemerintahan.

Kampus kehilangan wataknya sebagai ruang bebas berpikir; IMM kehilangan wataknya sebagai pengganggu kekuasaan. IMM semestinya menjadi ruang yang menyalakan kembali etika pergerakan: berani berhadapan dengan kekuasaan, bukan berbaris di bawahnya.

Tugasnya bukan memoles wajah pemerintah, melainkan menodainya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat pejabat tidak bisa tidur nyenyak. Karena di situlah fungsi moral mahasiswa diuji: bukan ketika mereka diundang, tapi ketika mereka menolak tunduk.

Selebihnya, DPP IMM boleh bangga telah sukses menghadirkan Bahlil di kampus Muhammadiyah. Tapi sejarah tidak menulis siapa yang diundang; sejarah mencatat siapa yang berani menolak tunduk.

Dan dalam catatan kecil saya, Tanwir IMM di Malang kali ini bukanlah perayaan intelektual, melainkan pesta kecil bagi pragmatisme, dengan Bahlil sebagai bintang tamunya, dan apa yang dicita-citakan oleh ikatan itu mungkin hanya duduk di pojok ruangan, menatap hampa, sambil berbisik: “Beginikah akhirnya gerakan yang dulu lahir untuk menegur kekuasaan?”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image