Belenggu: Reminder Bahwa Cinta Nggak Cukup Tanpa Komunikasi
Sastra | 2025-05-28 08:25:00
Meski ditulis tahun 1940, isi ceritanya tetap terasa relevan, terutama untuk kita generasi yang sering ngerasa paham cinta tapi masih sering buntu saat harus ngobrolin perasaan.
Belenggu bukan hanya cerita cinta segitiga. Ia adalah potret relasi yang rumit, penuh ekspektasi, dan yang paling menonjol penuh diam. Di sinilah kita sadar, cinta tanpa komunikasi itu seperti jalan tanpa arah: bisa saja jalan terus, tapi tidak tahu ke mana tujuannya.
Tokoh utamanya adalah Sukartono, seorang dokter muda yang berdedikasi tinggi pada pekerjaannya. Ia menikah dengan Sumartini (Tini), perempuan cerdas dan mandiri yang aktif di bidang sosial. Dari luar, pasangan ini kelihatan ideal. Tapi di balik itu, mereka hampir tidak pernah benar-benar ngobrol soal isi hati.
Sukartono merasa jauh dari istrinya, tapi ia memilih diam dan menyimpannya sendiri. Tini merasa perjuangannya tidak dimengerti, tapi juga tak pernah menyampaikan rasa lelahnya. Ketika Sukartono bertemu Rohayah, mantan penari yang penuh kelembutan, ia seperti menemukan tempat berlindung bukan karena cinta baru, tapi karena komunikasi yang selama ini hilang.
Dari kisah ini, kita bisa belajar satu hal penting: cinta itu tidak cukup tanpa komunikasi. Banyak pasangan yang masih saling cinta, tapi berakhir karena salah paham yang terus-menerus. Kadang bukan hanya soal orang ketiga atau masalah besar, tapi soal hal-hal kecil yang tak pernah dibicarakan. Dan semakin lama disimpan, semakin besar jarak yang tercipta.
Belenggu menunjukkan bahwa komunikasi yang jujur dan terbuka jauh lebih penting daripada mempertahankan citra hubungan yang terlihat baik-baik saja.
Di era sekarang, kita punya segalanya untuk komunikasi chat, voice note, video call, bahkan emoji. Tapi kenyataannya, banyak dari kita justru makin sulit menyampaikan isi hati. Takut salah paham, takut ditinggal, takut dianggap terlalu lebay.
Melalui Belenggu, Armijn Pane seperti ingin bilang: komunikasi bukan soal siapa yang paling benar, tapi siapa yang berani bicara dan mendengarkan.
Cinta yang kuat tidak tumbuh dari rasa saja, tapi dari usaha untuk saling memahami. Sukartono, Tini, dan Rohayah terjebak dalam kebisuan yang menyakitkan. Dan itu jadi pelajaran penting: diam bukan solusi.
Kalau kita sedang berada dalam hubungan baik dengan pasangan, sahabat, keluarga, atau bahkan diri sendiri ingatlah bahwa komunikasi adalah bentuk cinta yang nyata.
Karena pada akhirnya, Belenggu bukan hanya cerita lama. Ia adalah refleksi Cinta tanpa komunikasi, Jangan sampai terjebak dalam belenggunya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
