Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hilwa Aqila Aqnati

Kritik Sosial Terhadap Kekuasaan Laki-Laki pada Novel Midah Simanis Bergigi Emas

Sastra | 2025-05-22 02:40:17
foto diambil oleh saya

Dalam novel ini, Pramoedya Ananta Toer menampilkan beberapa tokoh laki-laki yang memanfaatkan posisi sosial, ekonomi, atau kekuasaan mereka untuk mendekati dan menguasai Midah. Mereka tidak benar-benar mencintainya sebagai pribadi, melainkan hanya tertarik pada kecantikannya atau sekadar ingin memanfaatkan keberadaannya demi keuntungan pribadi. Salah satu contoh paling nyata adalah ketika laki-laki-laki itu menjadikan Midah sebagai objek, bukan subjek. Midah dijadikan semacam komoditas—ditaksir, dibicarakan, dan diperebutkan, jarang dihargai atau dipahami secara utuh. Bahkan, ada yang ingin menikahinya bukan karena cinta, melainkan karena ingin “menyelamatkan” atau “memiliki” dia, yang justru menunjukkan kecenderungan untuk menguasai, bukan menyayangi.

Kritik ini memperlihatkan bahwa permasalahan perempuan seperti Midah bukan sekadar soal moralitas pribadi, tetapi juga akibat dari struktur sosial yang timpang, di mana kekuasaan dan gender digunakan sebagai alat untuk mendominasi.

Meskipun begitu Midah adalah perempuan yang memiliki tekad dan mandiri, hal itu membuatnya tetap berpegang teguh untuk menanggung dirinya sendiri tanpa laki-laki, meskipun hidupnya menjadi sulit setelah menolak untuk "dibantu" oleh laki-laki dan menjalani hidupnya yang berat dan sulit.

Keteguhan Midah dalam hidupnya mempertahankan kemandirian adalah bentuk perlawanan diri dari patriarki, Ia tidak memilih jalan yang mudah dengan bersandar pada laki-laki, melainkan Ia memilih untuk hidup sendiri walaupun harus kesulitan.

Dalam karakter Midah, Pramoedya membentuk sosok perempuan yang tidak tunduk pada dominasi, bahkan ketika lingkungan sekitarnya terus-menerus menghakimi dan merendahkannya. Sikap ini secara tidak langsung menjadi kritik tajam terhadap konstruksi sosial yang memaksa perempuan untuk selalu bergantung pada laki-laki demi kelangsungan hidupnya.

Pramoedya tidak hanya mengangkat persoalan individu, tetapi juga menyuarakan persoalan struktural yang lebih luas. Ia menunjukkan bahwa perempuan bisa memiliki kendali atas hidupnya sendiri, bahkan dalam sistem yang tidak memihak padanya. Midah menjadi simbol perempuan yang merdeka secara batin, meskipun tidak secara sosial atau ekonomi. Ia menjadi representasi dari suara perempuan yang selama ini ditekan oleh norma-norma sosial, agama, dan budaya yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image