UTBK 2025: Canggihnya Kecurangan, Gagalnya Pendidikan Berkarakter
Agama | 2025-05-05 22:36:41Masyarakat saat ini dihebohkan oleh dugaan terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) untuk Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) tahun 2025. Menanggapi isu tersebut, panitia Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) memberikan pernyataan resmi. Dalam pernyataannya, panitia SNPMB mengecam dan menyayangkan terjadinya kecurangan dalam UTBK SNBT 2025, karena tindakan tersebut dinilai merusak nilai-nilai keadilan, integritas, dan kejujuran yang menjadi landasan utama seleksi nasional (Beritasatu.com; 25/04/2025)
Selama dua hari pelaksanaan UTBK SNBT 2025, ditemukan 14 kasus kecurangan—sembilan pada hari pertama dan lima pada hari kedua. Dari total 196.328 peserta sesi 1 hingga 4, tingkat kecurangan tercatat sebesar 0,0071 persen. Meski jumlahnya kecil, Ketua SNPMB Prof. Eduart Wolok menegaskan bahwa panitia tidak akan mentolerir kecurangan dalam bentuk apapun (Kompas.com; 25/04/2025)
Sangat mengejutkan, tahun ini muncul sejumlah metode kecurangan baru. Menurut Eduart, ada peserta yang menyelundupkan perangkat perekam berbentuk kamera mini yang disembunyikan di berbagai tempat tak terduga seperti behel gigi, kuku, ikat pinggang, bahkan kancing baju. Semua alat tersebut lolos dari deteksi metal detector. Beberapa peserta lainnya juga menyembunyikan ponsel di dalam sepatu atau menempelkannya ke tubuh mereka.
Penggunaan teknologi untuk mengakali test UTBK menjadi indikasi buruknya akhlak calon mahasiswa. Bagaimana tidak, tes seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri sudah dibuat sedemikian rupa untuk meminimalisir kebocoran soal namun kecurangan masih ditemukan, bahkan kamera mini sebagai perekam dijumpai di tempat-tempat yang tidak terpikirkan sebelumnya. Hal ini menggambarkan tidak berhasilnya sistem pendidikan dalam mencetak generasi berkarakter terpuji dan memiliki pengetahuan yang luas.
Hal ini dikuatkan oleh survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam laporannya KPK merilis Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 yang menelusuri tingkat kejujuran akademik siswa di sekolah dan mahasiswa di kampus. KPK menemukan bahwa dalam hal kejujuran akademik, kasus menyontek masih ditemukan pada 78% sekolah dan 98% kampus. Berarti, menyontek masih terjadi pada sebagian besar sekolah maupun kampus.
Fakta ini mengungkapkan bahwa ‘hasil’ menjadi tujuan utama dalam menempuh pendidikan, nilai tinggi menjadi impian, bagaimanapun caranya, tak peduli cara memperolehnya, melanggar etika atau tidak, halal atau haram tak lagi menjadi pertimbangan dalam berbuat. Sikap seperti ini adalah produk sistem kehidupan saat ini yang berlandaskan kapitalisme. Dalam kapitalisme, ukuran keberhasilan hanya berorientasi pada materi/hasil dengan mengabaikan aturan ilahiyah. Ketercapaian materi menjadi tujuan utama berbuat tanpa lagi melihat rambu-rambu agama sebagai pedoman hidup. Wajar jika tolak ukur kebahagiannya adalah tercukupinya materi atau tercapainya hasil yang memuaskan.
Sangat berbeda dengan Islam. Dalam pandangan Islam, kebahagiaan sejati tidak diukur dari materi, popularitas, atau keberhasilan duniawi semata. Islam menempatkan ridla Allah sebagai ukuran utama dalam meraih kebahagiaan yang hakiki. Artinya, segala bentuk pencapaian, amal perbuatan, dan perjalanan hidup seorang muslim diarahkan untuk mendapatkan keridaan dari Allah SWT. Kebahagiaan yang lahir dari ridla-Nya bersifat abadi dan menentramkan jiwa, berbeda dengan kenikmatan dunia yang sementara dan sering menipu. Seorang mukmin yang senantiasa menjaga hubungan dengan Allah, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya akan merasakan ketenangan batin yang tidak bisa dibeli dengan harta, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan dalam kesulitan sekalipun, seorang hamba tetap bisa merasa bahagia karena meyakini bahwa setiap ujian adalah bagian dari kasih sayang Allah dan jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Maka dari itu, Islam mengajarkan bahwa ridla Allah adalah puncak tujuan hidup dan sumber kebahagiaan yang sejati. Negara pun akan selalu hadir menjaga keterikatan individu dengan semua aturan Allah.
Munculnya sikap tersebut tentu tidak serta merta tapi didukung oleh sistem pendidikan Islam yang berasaskan akidah Islam. Akidah sebagai pondasi keimanan yang terintegrasi pada kurikulum sekolah akan mencetak generasi unggul yang berkepribadian Islam, terikat pada syariat Allah, memiliki ketrampilan yang handal dan mampu menjadi agen perubahan. Generasi seperti ini bukan khayalan semata, tapi pernah terukir dalam sejarah kegemilangan peradaban Islam. Kala itu bermunculan ilmuwan-ilmuwan yang mempuni dalam bidangnya plus ketaatan yang luar biasa terhadap syariat Allah.
Dengan kokohnya kepribadian Islam, tidak akan terjadi kecurangan yang sangat masif dalam dunia pendidikan. Ada kontrol dalam diri yang akan menahan untuk berbuat tidak sportif, akan merasa malu jika harus “menipu” untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Kontrol pribadi ini dikendalikan oleh keimanan, merasa selalu diawasi oleh Allah walaupun tidak ada seorang pun yang tahu.
Kemajuan teknologi juga akan dimanfaatkan sesuai dengan tuntunan Allah, walaupun terbuka peluang lebar untuk digunakan dalam kecurangan. Hati yang disesaki dengan keimanan tidak akan bergeming dengan segala bentuk tipu daya untuk memuluskan langkah ke Perguruan Tinggi impian. Jika kondisi keimanan generasi seperti ini, panitia seleksi UTBK tidak perlu berpikir keras untuk mengantisipasi kecurangan hingga menggunakan metal detector. Niscaya kehidupan akan serba teratur, tentram, tenang, semua berkompetisi positif menuju kehidupan yang lebih baik dan Islam akan terasa sebagai rahmatan lil alamin
Wallahu a’lam bisshawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
