Ciri Kebaikan Seorang Hamba
Agama | 2024-03-20 05:15:25Oleh: Dr. Dana, M.E
Ujian merupakan bagian tak terpisahkan yang merupakan ketetapan Ilahi bagi manusia. Setiap peristiwa yang dialami manusia baik besar maupun kecil merupakan ujian. Dan ujian tersebut berlaku tanpa henti dan tak kenal waktu. Setiap detik, setiap menit selama manusia hidup. Ujian hadir dalam berbagai wujud, seperti kebahagiaan, penderitaan, karunia, cobaan, nikmat, musibah, dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah SWT;
وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗ
Artinya: “Kami menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan” (Q.S. Al-Anbiya: 35).
Terkait ayat di atas, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munirnya menjelaskan, bahwa manusia akan selalu diuji oleh Allah dengan dua hal: Pertama, manusia akan diuji dengan berbagai kebaikan, yaitu nikmat dunia berupa kesehatan,
kenikmatan, dan kebahagiaan. Kedua, manusia akan diuji dengan berbagai kejelekan,
yaitu kemudharatan duniawi berupa kemiskinan, berbagai penderitaan, dan kesulitan yang menimpa orang-orang mukallaf.
Sementara itu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan bahwa ciri seorang hamba yang lulus dari ujian berupa kesenangan dan penderitaan, dapat dilihat dari tanda-tandanya;
Pertama, di antara tanda-tanda kebaikan seorang hamba ketika diuji oleh Allah SWT, ialah ketika ia bertambah ilmunya maka orang tersebut bertambah pula ketawadhuan serta kasih sayangnya, ketika amalnya bertambah maka ketakutan dan kewaspadaannya meningkat, ketika umurnya bertambah maka ambisi dunianya semakin berkurang, selagi hartanya bertambah semakin murah hati disertai meningkat pengorbanannya, dan ketika kedudukan serta kehormatannya bertambah maka ia semakin dekat dan takut kepada Allah, tawadhu kepada sesama.
Adapun di antara tanda-tanda keburukan pada seorang hamba ketika diuji oleh Allah, ialah, ketika ilmunya bertambah, maka kesombongan dan kecongkakannya semakin meningkat. Ketika amalnya bertambah, maka kebanggaannya juga semakin bertambah, semakin merendahkan orang lain dan berbaik sangka terhadap diri sendiri. Selagi umurnya bertambah, maka ambisinya tidak pernah berkurang bahkan semakin menjadi. Ketika hartanya bertambah, maka orang tersebut semakin kikir. Selagi kedudukan dan kehormatannya bertambah, maka kesombongannya juga semakin meningkat.
Sungguh apa yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim bisa dijadikan timbangan bagi siapa saja yang ingin mengukur dirinya. Melalui refleksi atas sikap dan perilaku sehari-hari dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah kita seperti itu?
Hikmah yang bisa diambil dari apa yang dijelaskan oleh Ibnu Qayyim adalah, bahwa setiap yang Allah SWT berikan kepada seorang Muslim baik itu berupa kenikmatan maupun penderitaan harus selalu berdampak positif pada dirinya, Penerimaan atas segala karunia atau cobaan yang diberikan oleh Allah SWT tidak boleh membuat seseorang menjadi lebih buruk terlebih menjauh dari-Nya, melainkan sebaliknya, harus menjadikan pribadi yang semakin baik dan mendekat serta takut kepada-Nya.
Tidak sedikit dari kita yang terperangkap dalam kesibukan dunia, terutama saat meraih pencapaian atau meningkatnya jabatan dalam karir, atau bisnis. Ironisnya, saat mencapai puncak kesuksesan tersebut, banyak yang cenderung melupakan akar spiritual dan menjauh dari kehidupan spiritual yang sebelumnya begitu dekat. Seringkali ia lupa akan kewajiban spiritualnya, seperti menjalankan shalat berjamaah dengan tepat waktu. Terkadang, kesibukan dan tekanan pekerjaan membuatnya terlambat atau bahkan lupa untuk melaksanakan shalat. Padahal Allah SWT telah memperingatkannya dengan firman-Nya;
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمۡ وَٱخۡشَوۡاْ يَوۡمٗا لَّا يَجۡزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِۦ وَلَا مَوۡلُودٌ هُوَ جَازٍ عَن وَالِدِهِۦ شَيًۡٔاۚ إِنَّ وَعۡدَ ٱللَّهِ حَقّٞۖ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ ٣٣
Artinya: “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah” (Q.S. Luqman: 33).
Terkait ayat di atas, Syaikh Wahbah az-Zuhaili, menjelaskan kewajiban manusia untuk takut kepada Allah SWT dan mengesakan-Nya, serta takut akan hari Kiamat yang pasti akan datang dan terjadi. Oleh karena itu, manusia jangan sampai terpedaya, tertipu, terbuai dan terlena dengan gemerlap keindahan dan kesenangan dunia, terpesona, terpikat dan tergila-gila kepada-Nya sehingga lupa kepada akhirat dan tidak beramal untuk bekal kehidupan akhirat. Sesungguhnya dunia adalah penipu, penyemu, pembuai dan pemerdaya. Sesungguhnya setan memperdaya, menipu dan
mengelabui manusia, memunculkan angan-angan dan harapan-harapan kosong dan semu terhadap dunia, serta melenakan mereka dari akhirat sehingga manusia pun tertipu dan terpedaya, berani melakukan kemaksiatan dengan menyalahgunakan
dan menyalahartikan maghfirah dan rahmat Allah SWT.
Oleh karena itu, manusia harus mewaspadai tipu daya syetan yang membuatnya terlena dalam kenikmatan duniawi sehingga melupakan Allah dan akhirat. Apapun profesi dan kedudukan seorang Muslim jangan menjadikan dirinya jauh dan melupakan Allah. Justeru sebaliknya, dengan pekerjaannya tersebut, seorang Muslim semakin beriman dan semakin dekat dengan-Nya, sehingga pekerjaannya mendapatkan keberkahan. Bukan sebaliknya malah melupakan Allah,
نَسُواْ ٱللَّهَ فَنَسِيَهُمۡۚ
Artinya: “Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” (Q.S. At-Taubah: 67)
Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan bahwa makna, “mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” Maksudnya mereka mengabaikan perintah Allah dan tidak mau taat kepada Allah, sehingga mereka sama kedudukannya dengan orang yang melupakan Allah. Oleh karena itu sebagai balasannya, Allah tidak memberikan rahmat-Nya kepada mereka. Allah menyebut balasan bagi dosa mereka tersebut sama dengan perbuatan dosa itu sendiri dalam rangka mengimbanginya. Sedangkan menurut Khalid Abu Syadi, yaitu menjadikan mereka terlupakan dari pahala dan surga-Nya, atau Allah lupa mereka di neraka seperti dilupakannya barang dalam api hingga terbakar, atau Allah melupakan mereka untuk memberikan taufik dan rahmat-Nya. Allah melupakan mereka, berarti juga membiarkan mereka tidak mendapat pertolongan-Nya,
وَقِيلَ ٱلۡيَوۡمَ نَنسَىٰكُمۡ كَمَا نَسِيتُمۡ لِقَآءَ يَوۡمِكُمۡ هَٰذَا وَمَأۡوَىٰكُمُ ٱلنَّارُ وَمَا لَكُم مِّن نَّٰصِرِينَ
Artinya: “Dan dikatakan (kepada mereka): "Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak memperoleh penolong". (Q.S. Al-Jasiyah: 34).
Lupanya Allah kepada hamba di dunia merupakan pendahuluan bagi lupanya Allah kepadanya di akhirat. Hal itu lebih keras hantamannya dan lebih besar rasa sakitnya, serta merupakan kerugian terbesar dan siksaan yang menghinakan. Dalam Kitab Shahih Muslim terdapat dialog yang dituturkan antara hamba dan Tuhannya pada Hari Kiamat, "Kemudian Allah menemui hamba itu dan bertanya, "Ya fulan, katakanlah! Bukankah Aku telah memuliakanmu, menjadikanmu junjungan, menikahkanmu, menundukkan kuda dan unta bagimu, serta membiarkanmu berkuasa dan ditaati?" Hamba itu menjawab,"Benar." Allah berfirman, "Apakah kamu punya keyakinan bahwa kamu pasti berjumpa dengan-Ku?" Hamba itu menjawab, "Tidak." Allah berfirman, "Karena itu, sekarang Aku melupakanmu sebagaimana dahulu kamu melupakan-Ku."
Wallahu a’lam bish-shawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.