Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Marcelino Ceasar Kishan

Distorsi dalam Penggunaan Istilah Petugas Rakyat

Politik | Saturday, 13 Jan 2024, 19:59 WIB

Salah satu upaya calon anggota legislatif khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat adalah menggunakan slogan-slogan pada alat peraga kampanye (APK). Di beberapa APK yang tersebar di sudut kota, terdapat beberapa calon anggota legislatif yang menggunakan istilah Petugas Rakyat. Istilah Petugas Rakyat jika cukup dibaca secara semantik memang hanya mengarahkan makna bahwa yang bersangkutan siap untuk menjalankan aspirasi rakyat. Namun, jika melihat konteks Pemilihan Umum sebagai bagian dari pertarungan antara Partai Politik, maka istilah Petugas Rakyat sejatinya adalah perlawanan senyap terhadap partai yang menggunakan istilah sebaliknya. Dalam perlawanan tersebut, apakah istilah Petugas Rakyat sudah ideal? Atau hanya upaya untuk meraup suara dengan memberi pemahaman yang salah kepada masyarakat?

Istilah Petugas Rakyat adalah perlawanan pada istilah Petugas Partai yang digunakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Sebagai perlawanan, pengguna istilah Petugas Rakyat berupaya untuk menjelaskan bahwa ia berbeda dengan kader PDI-P dan hendak mengatakan bahwa rakyat memiliki kedudukan lebih tinggi dari partai. Jika partai memerintahkan hal yang bertentangan dengan keinginan rakyat, maka ia akan mengikuti keinginan rakyat. Sekalipun tampaknya ideal, akan tetapi terdapat kejanggalan logika dalam hal ini.

Ketidakpahaman tentang Demokrasi Perwakilan

Berbeda dengan eksekutif, anggota legislatif tidak bergerak secara individual melainkan secara kolektif. Norma dalam Konstitusi kita telah menegaskan dengan setegas-tegasnya bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Lebih lanjut, fungsionalitas frasa menurut Undang-Undang Dasar tersebut dikonkretkan salah satunya dalam ketentuan peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

Partai politik yang dimaksud dalam Konstitusi tersebut tidaklah sebatas kendaraan yang menghantarkan anggota legislatif untuk duduk di kursi DPR, namun sebuah kendaraan yang menghantarkan anggota legislatif sampai keluar dari kursi tersebut. Kalimat tersebut adalah kenyataan normatif dalam pengambilan keputusan di DPR. Pengambilan keputusan di DPR didikte oleh Partai Politik melalui fraksi. Dikte tersebut bukanlah sesuatu yang tabu dan rahasia sebab dikte oleh fraksi diatur dalam Tata Tertib DPR, yakni Fraksi bertugas mengoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR serta meningkatkan kemampuan, disiplin, keefektifan, dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR. Di sisi lain berdasarkan Undang-Undang Partai Politik, penyerapan, penghimpunan, dan penyaluran aspirasi masyarakat adalah fungsi dari Partai Politik.

Untuk mengimbangi kekuasaan partai politik, Konstitusi dan Undang-Undang Partai Politik telah membatasi partai politik secara administratif dan substantif. Salah satu persyaratan yang sangat mempertahankan normativitas partai politik adalah kewajiban terhadap Partai Politik untuk tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Efek pelanggaran terhadap norma tersebut adalah pukulan palu dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang dapat membubarkan suatu partai politik.

Dari kumpulan norma diatas, titik inti yang hendak saya tekankan adalah demokrasi perwakilan kita tidak menitikberatkan pertanggungjawaban politik pada anggota legislatif. Akan tetapi, diletakan pada Partai Politik. Hubungan antara rakyat dan anggota legislatif adalah mandat bebas: “’si wakil’ dalam bertindak di badan perwakilan tidak perlu menunggu instruksi dari ‘yang diwakili’ (Gede Atmadja: 2017). Bahkan praktik partisipasi bermakna dalam pembentukan Undang-Undang pun tidaklah diarahkan pada personal anggota legislatif, tetapi pada DPR sebagai suatu organ negara.

Hal ini tidaklah boleh dikaburkan dengan istilah Petugas Rakyat yang seolah-olah menjadikan pertanggungjawaban politik di DPR diletakan pada anggota legislatif. Mengaburkan hal tersebut mengakibatkan pengawasan terhadap partai politik menjadi tidak maksimal. Orientasi yang seharusnya dibangun adalah anggota legislatif adalah Petugas Partai dan partai politik adalah organisasi rakyat. Implikasi sistematiknya adalah pemilihan anggota legislatif ialah memilih partai mana yang ideal untuk menjadi bagian dari DPR guna penyaluran aspirasi rakyat. Sebagaimana Jimly Asshidiqie (2009) telah mencatat bahwa sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip check and balances dalam arti yang luas.

Oleh karena itu, pemilihan anggota legislatif haruslah menjadi ajang evaluasi partai politik mana yang bekerja dan yang memenuhi persyaratan normatif dari suatu partai politik. Menentukan kursi dalam DPR diisi oleh partai politik yang ideal adalah upaya mencapai dimensi demokrasi yang demokratis. Sehingga jangan sampai istilah Petugas Rakyat menutup mata pemilih bahwa demokrasi perwakilan kita adalah memilih Petugas Partai bukan Petugas Rakyat.

Ketidakpercayaan pada Sistem Kepartaian

Saya menangkap ada sifat pragmatisme dalam penggunaan istilah Petugas Rakyat. Pragmatisme tersebut setidaknya berangkat dari dua kondisi.

Pertama, kondisi stigma negatif masyarakat pada partai politik. Survey Indikator Politik yang dirilis pada tahun 2023 menegaskan bahwa partai politik adalah institusi negara/politik yang paling tidak dipercaya oleh masyarakat dibandingkan TNI, Presiden, Polri, Kejaksaan, KPK, DPD, dan DPR. Hal tersebut memberi pertanda bahwa sosok yang paling dekat dengan Partai Politik sejatinya memiliki sentimen negatif di mata masyarakat. Dengan melepaskan embel-embel partai politik pada sifat personalnya, maka penggunaan istilah Petugas Partai adalah upaya personifikasi semu untuk meningkatkan simpati masyarakat. Sebagaimana sifat bahasa dalam perpolitikan sebagai suatu sarana untuk membujuk simpatisan melalui janji-janji politik (Rosida Tiurma Manurung: 2009).

Kedua, ada kondisi ketidakpercayaan calon anggota legislatif pada ideologi partai politiknya. Saya mencatat pernyataan Made Supriatma dalam suatu diskusi publik yang diadakan oleh Fakultas Interdisipliner Universitas Kristen Satya Wacana bahwa: “Partai politik saat ini yang memiliki ideologi tinggal PDI-P dan PKS ”. Penggalan kalimat tersebut menyadarkan saya bahwa bisa jadi pengguna istilah Petugas Rakyat memahami normativitas dari perannya sebagai Petugas Partai, namun tidak percaya pada ideologi partainya yang bisa jadi disusupi oleh kepentingan elit. Saya meminjam judul satu artikel dari Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, kondisi ini adalah bentuk distorsi ideologis yang dialami partai politik. Dimana terjadi praktik politik transaksional yang tidak sesuai dengan normativitas fungsi partai politik.

Sekalipun dua kondisi tersebut menjadi latar belakang penggunaan istilah Petugas Rakyat, namun tidak ada justifikasi yang logis bisa dilandaskan pada alasan tersebut. Penggunaan alasan yang pertama mengartikan kampanye dijadikan sebagai sarana untuk memberikan pemahaman yang salah kepada masyarakat. Janji politik yang tidak logis pun tidak akan mungkin tercapai dengan dampaknya pada konsistensi peningkatan stigma negatif pada DPR dan Partai Politik.

Penggunaan alasan yang kedua mengartikan calon anggota legislatif tersebut memandang pemilihan umum hanya sebagai sarana untuk mencari kursi bukan untuk menyalurkan aspirasi. Sebab partai politik yang tidak memiliki ideologi yang baik menjadikan Petugas Partainya di DPR tidak bekerja dengan baik untuk membentuk kebijakan yang ideal. Bila siklus ini terjadi setiap 5 (lima) tahun pada pemilihan umum, maka tidak akan tercapai konsolidasi demokrasi dengan pragmatisme pada ideologi partai sebagai budaya politik yang menjadi hambatan utamanya. Menjadi suatu antinomi juga jika suatu calon anggota legislatif tidak mempercayai partainya. Pertanyaannya, bagaimana bisa ia memilih partai tersebut namun tidak percaya pada partai tersebut?

Transparansi sebagai Awal Pengawasan Partai Politik

Saldi Isra dan Khairul Fahmi (2021) mencatat bahwa masyarakat internasional melalui The United Nations Democracy Fund (UNDEF), Open Society Foundation, dan TIRI telah merumuskan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilihan umum berkeadilan. Salah satu diantaranya adalah prinsip transparansi sebagai elemen utama yang berfungsi untuk membuka semua informasi yang relevan tentang proses pemilihan umum.

Hamparan norma dan kajian di atas pada dasarnya menjadi momentum untuk memberikan transparansi pada masyarakat luas. Transparansi tersebut salah satunya untuk menjelaskan bahwa calon anggota legislatif adalah Petugas Partai yang dalam proses hulu hingga hilirnya dalam dunia legislatif didikte oleh partai politik. Tujuannya adalah untuk menyadarkan masyarakat bahwa pemilihan umum merupakan sarana evaluasi partai politik yang konstitusional. Muara akhirnya adalah peningkatan kualitas kebijakan-kebijakan legislatif yang lebih demokratis dan berdampak positif pada masyarakat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image