Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image satrio nurbantara

Albert Camus dan Ibn Arabi Bicara tentang Infinite Torture

Lainnnya | Friday, 03 May 2024, 17:40 WIB

Infinite Torture atau siksaan abadi merupakan konsep yang cukup terkenal dalam beragam literatur, pemikiran, dan peradaban. Hukuman-hukuman dari dewa dalam kepercayaan Yunani kuno, doktrin Abrahamik tentang neraka bagi pelaku dosa, penyelaman makna kehidupan oleh para eksistensialis, dan sebagainya banyak mengadopsi konsep siksaan kekal atau infinite torture ini.

Albert Camus mengadopsi sebuah kisah legendaris Raja Sishypus yang dihukum karena berani mempermainkan dewa Yunani. Mendorong batu besar hingga ke puncak gunung, namun setelah dengan rasa letih dan kepedihan hingga puncak batu tersebut akan menggelinding kembali ke bawah, dan Sishypus pun harus mendorong lagi ke puncak terus begitu tanpa henti. Itulah infinite torture yang diberikan dewa kepada Sishypus.

Camus menyaring kisah Sishypus tersebut sebagai cerminan kehidupan kita yang tidak ada bedanya dengan mendorong batu besar yang terus menggelinding. Kita juga demikian, melakukan hal yang sama, rutinitas yang membosankan, terus menerus untuk mencapai sesuatu yang hanya berada dalam khayalan, karena kita tidak akan pernah mencapainya.

Untuk merusak infinite torture tersebut Camus menyatakan “One must imagine Sisyphus happy”. Seseorang harus membayangkan Sisyphus bahagia. Sisyphus berdamai dengan kondisinya, Sisyphus mendorong batu besar tersebut sebagi rutinitas yang menyenangkan bukan lagi menjadi sebuah siksaan.

Siksaan malah membuat seseorang menjadi bahagia ialah kondisi absurditas yang berusaha dibangun Camus.

Kurang lebih seperti Albert Camus, seorang Syaikh Akbar Ibn Arabi juga memiliki pandangan yang cukup senada. Dalam Fushus Al-Hikamnya, Arabi membayangkan penduduk neraka telah berdamai dengan kondisi neraka yang mengerikan.

أما أهل النار فمآلهم إلى النعيم لكن في النار

فنعيم أهل النار بعد استيفاء الحقوق كنعيم خليل الله عليه السلام حين ألقي في النار

“Adapun penduduk neraka, pada akhirnya akan merasakan kenikmatan, akan tetapi kenikmatan itu ada di neraka.
Maka kenikmatan penduduk neraka, setelah memenuhi beberapa hak, sama seperti kenikmatan yang dirasakan kholilillah (Nabi Ibrahim as) saat ditaruh ke dalam bara api.”

Ibn Arabi mengandaikan bahwa neraka tidak lagi menjadi semenakutkan itu bagi penghuninya. Sehari, dua hari, setahun dua tahun, ketika masuk neraka mungkin sangat sakit, makanan berduri dan nanah akan sangat menyiksa. Namun, ketika telah beratus ribu tahun kekal di neraka, penghuninya tersebut akan berevolusi dan beradaptasi terbiasa dengan panasnya api dan amisnya nanah.

Suhu yang sedemikian panas dan amisnya nanah menjadi habitat normal bagi mereka. Justru mereka akan merasakan siksa dan aneh ketika merasakan euforia kedinginan dan ketenangan surga.

Demikian kira-kira bayangan Ibn Arabi.

Hikmah

Meskipun terdengar kontroversial, kedua pandangan dari dua tokoh ini memiliki hikmah positif yang dapat kita terapkan dalam kehidupan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Dari kisah absurditas siksaan Sisyphusnya Albert Camus, kita dapat mengambil hikmah bahwa hidup ini memang absurd. Namun, kita memiliki pilihan dalam hidup untuk membayangkan Sishypus bahagia artinya kita memiliki pilihan untuk menjalani hidup ini dengan bahagia, dengan tidak menganggap rutinitas gila ini sebagai hukuman tanpa akhir.

Karena dari pandangan Camus tersebut, kita diberi dua pilihan dalam hidup untuk menghentikan absurditas, yakni dengan; mati agar berakhir, atau dengan tetap hidup dan menjalaninya dengan kebahagiaan “One must imagine Sishypus happy”.

Sedangkan dari ihwal neraka nya Ibn Arabi, kita dapat menjadikan ini sebagai nasihat diri yang cukup apik. Dari perubahan berdamainya penghuni neraka dengan kondisi neraka tersebut, dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk selalu berhati-hati atas hal negatif/kemaksiatan. Seseorang yang terbiasa dengan hal buruk akan berdamai dengan hal buruk tersebut dan terjebak didalamnya, ujungnya tak bisa menerima hal baik.

Siksa sebenar pada neraka bukan terletak pada panasnya api atau tanaman berduri, tapi pada perkara kekekalan keabadian pada kondisi yang buruk... ini siksa perkara eksistensial yang diluar batas humanity.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image