Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jabir fayyadi Van Gobel

Hukum Warisan Anak Murtad dalam Mendapatkan Warisan

Agama | Friday, 01 Dec 2023, 13:20 WIB

Pembagian warisan didalam Islam mendapat cukup banyak perhatian karena di beberapa kasus pembagian warisan sering menimbulkan masalah-masalah bagi orang-orang yang ditinggal mati keluarganya. Warisan ialah harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang telah meninggal dan akan digantikan oleh keluarga yang masih hidup. Menurut hukum tentang warisan dalam peraturan kompilasi hukum Islam (KHI), untuk dapat menerima warisan antara pewaris dan ahli waris wajib beragama Islam, mempunyai hubungan darah dan hubungan pernikahan (pasal 171 huruf b dan c KHI). Dalam ayat Al Quran juga tidak ada pernyataan khusus yang menjelaskan secara tegas dan rinci melarang ahli waris yang beda agama. Dasar hukum ahli waris beda agama justru di jelaskan secara rinci didalam hadis Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari, bahwa Nabi Saw bersabda : “Orang muslim tidak mewarisi harta warisan orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang muslim”. Hadist ini juga diriwayatkan oleh beberapa periwayatan, diantara semua periwayat adalah Muslim, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, Ad- Darimi, Ahmad dan Malik. Dalam hukum waris Islam penghalang mewarisi yang berarti tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi beserta adanya sebab-sebab dan syarat-syarat mewarisi. Penghalang-penghalang kewarisan tersebut meliputi: Pertama, perbudakan, para ulama klasik sepakat bahwa budak tidak berhak menerima warisan karena dianggap tidak cakap mengurusi harta miliknya. Segala sesuatu yang dimiliki budak secara langsung menjadi milik tuannya, hal ini didasarkan pada nash Qur’an dalam Qs. An-Nahl (16): 75. Kedua, pembunuhan, para fuqaha klasik sepakat bahwa pembunuhan menjadi penghalang mewarisi bagi si pembunuh terhadap harta peninggalan orang yang telah dibunuhnya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi yang mengatakan: ”Tidak sesuatupun bagi pembunuh hak dari warisan”. Ketiga, perbedaan agama, ketentuan penghalang ketiga ini didasarkan pada hadist Nabi yang mengatakan: ”Tidak mewarisi seorang muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewarisi orang kafir terhadap seorang muslim”. Namun, apakah seorang anak non-muslim bisa menerima warisan dari seorang ayah muslim dengan memberikan wasiat wajibah. Menurut Ahmad Rafiq, wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau member putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam versi lain Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis mengemukakan bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang dipandang sebagai telah dilakukan oleh seseorang yang akan meninggal dunia, walaupun sebenarnya ia tidak meninggalkan wasiat itu.

KHI di Indonesia mempunyai ketentuan tersendiri tentang konsep wasiat wajibah ini, yaitu membatasi orang yang berhak menerima wasiat wajibah ini yakni kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Dalam Pasal 209 KHI, disebutkan bahwa: (1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Secara garis besar antara waris pengganti (penggantian kedudukan) dengan wasiat wajibah adalah sama. Perbedaanya jika dalam wasiat wajibah dibatasi penerimaannya yaitu sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, maka dalam waris pengganti adalah menggantikan hak yang disesuaikan dengan hak yang diterima orang yang digantikan itu. Al Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam tidak secara tegas mengatur adanya hukum mewaris antara umat Islam dengan umat yang berbeda keyakinan dengan agama Islam. Namun berdasarkan hadist Rasulullah S.AW. yang berbunyi “Disampaikan dari Abu ‘Asyim, dari Ibn Juraji, dar Ibn Syihan, dari Ali bin Husain, dari ‘Amr bin Usman, dari Usamah bin Zaid r.a. Bahwa Rasulullah S.A.W bersabda : tidak ada warisan bagi seorang muslim kepada orang kafir, dan tidak ada warisan pula dari orang kafir kepada orang muslim”.51 Amin Husein juga berpendapat bahwa hadis dari Rasulullah yang tersebut di atas yang menguatkan dan memberikan alasan mengapa tidak ada pewarisan bagi ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris muslim termasuk kepada anak kandung yang non muslim. Menyebutkan sejarah Nabi Nuh. A.S yang meminta Allah untuk menyelamatkan anaknya, namun permintaan tersebut ditolak oleh Allah. Berdasarkan sejarah dari cerita nabi maupun hadis Rasulullah S.A.W mencerminkan bahwa dalam hukum waris Islam tidak mengenal adanya pewarisan kepada orang yang berbeda keyakinan. Meskipun dalam Al-Qur’an tidak ditegaskan secara jelas bahwa perbuatan itu dilarang. Tujuan kewarisan sendiri menurut konsep maqashid Al-Syariah secara operasional adalah untuk memelihara harta dan keturunan. Pada umumnya majelis hakim dalam memberikan pertimbangan dan mengabulkan gugatan penggugat dengan alasan keadilan dan kemanusiaan, kendatipun sudah melenceng dari aturan hukum Islam Mahkamah Agung nampaknya mengacu kepada pertimbangan legalitas dan moral dan menggunakan kajian sosiologis yang mempertimbangkan aspek psikologis dan norma yang hidup secara fiqh,. Pertimbangan hakim untuk memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim termasuk anak kandung non muslim menjadi semacam ‘jalan ke luar’ yang bersifat kompromistis yang di dalam hukum Islam dikenal dengan istilah Ijbari, yakni maksud peralihan harta tersebut terjadi dengan sendirinya menurut ketentuan Allah tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau permintaan ahli warisnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image