Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ario Seno

Keamanan Laut : Ranah Hukum Internasional atau Hukum Tata Negara?

Politik | Tuesday, 21 Nov 2023, 11:53 WIB

Saat ini belum ada terminologi hukum mengenai Keamanan Laut, bahkan undang-undang yang secara khusus membahas Keamanan Laut pun belum ada. Tetapi dapat dijadikan rujukan terminologi yang dikemukakan oleh Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI periode 2020-2023, Laksamana Madya TNI Dr. Aan Kurnia, sebagaimana tertuang dalam bukunya yang berjudul Guarding the Sea for Our Future (2022) yaitu “keadaan laut yang bebas dari ancaman dan tindakan kejahatan maupun pelanggaran hukum dan kedaulatan serta perlindungan lingkungan laut dan jaminan keselamatan pelayaran bagi pemerintah dan masyarakat”. Terminologi ini menyiratkan bahwa untuk mewujudkan Keamanan Laut diperlukan adanya penegakan hukum di laut dan penegakan hukum di laut memerlukan adanya hukum laut. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah “Keamanan Laut ini merupakan ranah Hukum Internasional atau Hukum Tata Negara?”

Koleksi Pribadi Penulis saat berkesempatan bertemu dengan Ka. Bakamla Periode 2020-2023

Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu diurai terlebih dahulu pengertian dari Hukum Internasional maupun Hukum Tata Negara. Adapun pengertian Hukum Internasional merurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja adalah “keseluruhan kaidah dan asas- asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara yaitu antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek bukan negara satu sama lain”. Sementara ini pengertian Hukum Tata Negara dikemukakan oleh J. H. A. Logemann adalah “hukum yang mengatur organisasi negara”. Maka jawaban atas pertanyaan apakah Keamanan Laut merupakan ranah Hukum Internasional atau Hukum Tata Negara adalah tergantung Keamanan Laut ini hendak dilihat dari sisi mana. Apabila Keamanan Laut hendak dilihat dari hubungan antara satu negara dengan negara lainnya terkait batas wilayah lautnya, maka menjadi ranah Hukum Internasional. Akan tetapi apabila Keamanan Laut hendak dilihat dari pengaturan organisasi/lembaga yang membidangi/menanganinya, maka (harus) menjadi ranah Hukum Tata Negara.

Yang kedua dapat dilihat pada regulasi yang mengaturnya. Meskipun belum ada undang-undang Keamanan Laut, terdapat Konvensi PBB yang secara khusus mengatur perihal Keamanan Laut yakni United Nation Convention on the Law of the Sea disingkat UNCLOS. Dalam konvensi ini khususnya Pasal (Article) 21 pada ayat pertamanya disebutkan bahwa: “Negara pantai dapat membuat peraturan perundang-undangan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya yang berkaitan dengan hak lintas damai melalui laut territorial ” Ayat ini menyebutkan bahwa UNCLOS memberikan wewenang kepada tiap Negara Pantai (Coastal State) untuk menyusun undang-undangnya sendiri terkait Keamanan Laut dengan catatan tidak bertentangan dengan ketentuan UNCLOS itu sendiri. Hal ini menyiratkan bahwa UNCLOS menyerahkan wewenang terkait hukum laut pada ranah Hukum Tata Negara dikarnakan wewenang penyusunan peraturan perundang-undangan ada pada ranah Hukum Tata Negara (berdasarkan pengertian Hukum Tata Negara menurut Van Vollenhoven, Van der Pot, dan Pudjosewodjo). Hal ini pula dikonfirmasi oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang pada Pasal 30 ayat 1 disebutkan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Ayat ini dapat dimaknai bahwa segala usaha yang berkenaan dengan keamanan suatu negara (dalam konteks ini Keamanan Laut) menjadi urusan internal warga negara tersebut. Hal ini sekali lagi mendorong Keamanan Laut ke dalam ranah Hukum Tata Negara.

Yang ketiga berkaitan dengan kondisi riil yang terjadi di wilayah laut Indonesia saat ini. Sebagai negara kelautan yang berada tepat di tengah lintasan Garis Khatulistiwa dengan diapit dua benua dan dua samudera, tidak mengherankan bila Indonesia berbatasan laut dengan 10 negara dan belum seluruh batas negara yang ada tersebut telah diratifikasi kedua belah pihak. Di samping itu Indonesia tengah menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh peningkatan ekskalasi di Laut Natuna Utara dikarnakan adanya klaim sepihak oleh Republik Rakyat China (RRC) atas Laut China Selatan yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang beberapa bagiannya memotong wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Namun hal yang cukup pelik namun justru masih minim pengkajian adalah perihal tumpang tindih lembaga yang berwenang dalam menangani masalah Keamanan Laut. Dalam bukunya yang berjudul Guarding the Sea for Our Future (2022), Laksamana Madya TNI Dr. Aan Kurnia menyatakan bahwa saat ini terdapat 12 instansi pengelola Keamanan laut yang mana enam di antaranya memiliki kewenangan menyelenggarakan patroli di laut (memiliki armada kapal patroli). Keenam instansi (dengan armada kapal patroli) ini tidak serta merta berdiri sendiri melainkan dengan terlebih dahulu ditopang oleh dasar hukumnya masing-masing. Dampak utamanya adalah tidak adanya kepastian hukum dalam pengelolaan Keamanan Laut yang dilihat dari sisi pengguna laut berarti terlanggarnya Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Tumpang tindih lembaga Keamanan Laut ini sudah jelas merupakan ranah Hukum Tata Negara yang disepakati oleh parah ahli yang mengemukakan pengertian mengenai Hukum Tata Negara. Maka hal yang ketiga ini tidak saja menguatkan tetapi juga memastikan masuknya Keamanan Laut dalam ranah Hukum Tata Negara.

Sebagai penutup, penulis ingin menegaskan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menafikan peranan Hukum Internasional dalam hal Keamanan Laut, melainkan untuk mengingatkan bahwa peranan Hukum Tata Negara juga penting bahkan dapat dinyatakan sebagai tuntutan. Keterlibatan pakar-pakar Hukum Tata Negara dalam berbagai kajian, entah itu berupa FGD (Focus Group Discussion), seminar, maupun dalam penyusunan naskah akademik undang-undang Keamanan Laut nantinya. Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis secara mandiri, keterlibatan pakar Hukum Tata Negara dalam kajian perihal Keamanan Laut masih sangat minim. Hal ini berimplikasi pada tidak terselesaikannya bahkan semakin peliknya tumpang tindih kewenangan dalam menangani masalah Keamanan Laut. Di sisi lain persoalan batas wilayah (termasuk nine dash line) justru dibesar-besarkan seolah-olah menjadi momok utama. Oleh karena itu melalui tulisan ini pula penulis ingin mengajak para praktisi Hukum Tata Negara dari para Guru Besar hingga Mahasiswa untuk turut ambil bagian dalam menyelesaikan persoalan Keamanan Laut terutama dalam merumuskan solusi penanganan tumpang tindih kewenangan lembaga yang ada.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image