Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arief Rachman

Kembalikan Warisan Soempah Pemoeda

Eduaksi | Friday, 27 Oct 2023, 17:50 WIB
Cover Opini Kembalikan Warisan Soempah Pemoeda (Dok.Pribadi)

Penulis : Arief Rachman Bin Sirajuddin H. Abd. Azis Magu

Saat itu saya berdiri disalah satu puncak tertinggi pulau lombok Nusa Tenggara Barat, Gunung Rinjani namanya dengan titik tertinggi 3.726 meter diatas permukaan laut mendominasi sebagian besar pemandangan pulau Lombok bagian tengah. Langit biru, matahari bersinar cerah. Bendera merah putih di tangan saya berkibar-kibar tertiup angin dingin.

Dibawah saya, awan putih bergerak berarakan perlahan, dibalik awan itu, di kaki gunung ada Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur, hamparan daerah yang memiliki jumlah populasi penduduk terbanyak di Nusa Tenggara Barat.

Delapan belas jam lamanya kami mendaki termasuk beristirahat di beberapa pos sepanjang jalur pendakian. Di puncak memang membawa perasaan yang luar biasa, berada disana saya merasakan suasana sunyi dengan dada yang bergemuruh, bangga terharu bahagia.

Sehari sebelumnya setelah bermalam bersama dingin, pagi harinya kami diganjar fajar yang indah. Disisi langit yang lain bulan purnama berangsur-angsur sinta. Menjelang peringatan 94 Tahun Sumpah Pemuda, tepatnya 28 Oktober 2022 tahun yang lalu, saya mengajak pemuda lintas generasi untuk bersuka cita jelang memperingati hari sumpah pemuda dengan cara lain, yaitu mendaki sebuah gunung.

Jangan Biarkan Warisan Api Semangat Menjadi Abu & Debu

Sekarang, Oktober 2023 ditengah malam berbintang yang dibarengi dengan kilauan lampu, dibawah sana dapat terlihat dengan begitu jelas dan indah, ya saat ini aku berada di salah satu dataran tertinggi di Kota Bima, Bukit Jatiwangi namanya. Disini, malam panjang dengan menghisap rokok, meneguk kopi khas Bima dan jemari yang perlahan bergerak mengetik keyboard sebuah laptop, ingatan saya membara mengingat tatapan mata, genggaman tangan, keluhan-keluhan dan problem yang menjadi bahan diskursus saat itu akan harapan-harapan kehidupan yang lebih baik di hari-hari berikutnya.

“Apa yang dapat kita perbuat sebagai generasi muda penerus bangsa?” celotehan kami saat itu sambil menahan cucuran air mata, tangisan kepedihan karena rasa kepedulian yang begitu besar terhadap bangsa dan negara diatas puncak tertinggi gunung Rinjani.

Objek pertanyaan yang muncul atas pengalaman perjalanan dialektika. Yakni, dari masyarakat di kota dan kabupaten yang pernah dikunjungi. Hal serupa saya terima ketika mengunjungi wilayah lain diluar pulau Sumbawa, Lombok, Jawa, Sumatra, Sulawesi hingga Papua, hanya untaian kalimat kapan kita akan menjadi lebih baik dan apa yang dapat kita perbuat untuk memperbaikinya.

Bagaimana memaknai semua ini dalam konteks Sumpah Pemuda? Sembilan puluh lima tahun yang lalu, pada 28 Oktober 1928 pemuda dari berbagai suku, ras, budaya dan agama berkumpul di Jakarta pada Kongres Pemuda II untuk merumuskan instrumen kesatuan dan persatuan bangsa.

Dalam suasana perjalanan penjajahan Belanda, Muh. Yamin, Wage Rudolf Supratman, Sugondo serta pemuda lainnya merumuskan ikrar sumpah setia untuk bersatu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia. Berkena’an dengan momentum ini pulalah lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan, memperkuat kesadaran nasional yang kelak menjadi cikal bakal penting untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bayangkan ditengah tekanan kolonial Belanda saat itu, berbagai organisasi dan perkumpulan pemuda mulai dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Pemoeda Kaoem Betawi, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia, Jong Selebes, hingga Jong Ambon serta perwakilan dari etnis Tionghoa dan daerah Papua mampu bersepakat menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang menyatukan Nusantara.

Bahasa Indonesia berhasil menjadi jembatan komunikasi yang efektif untuk menyamai benih-benih nasionalisme selanjutnya pada beragam kalangan, di berbagai wilayah. Alhasil tidak hanya kalangan pemuda yang merasa bangga ber Indonesia, bahkan Kerajaan dan Kesultanan yang tersebar di berbagai penjuru negeri juga bersuka hati melebur dan mendukung lahir nya NKRI.

Sejarah kelak mencatat gelora persatuan dan kesatuan ini merupakan buah dari gerakan Sumpah Pemuda yang fenomenal dan membanggakan sebagai akar yang kuat bagi tegaknya Republik.

Gerakan sosial-politik ini efektif mematahkan strategi “Devide an impera” yang selama berabad-abad digunakan Belanda untuk melemahkan kekuatan bangsa Indonesia. Ikrar persatuan diatas menyingkirkan sekat kepentingan dan hambatan primordial.

Dalam mewarisi semangat luhur Sumpah Pemuda, kita harus terus mawas diri dan saling menasehati dalam kebaikan guna merawat NKRI. Demokritisasi pada era reformasi ini tanpa sadar sebagian kelompok kita terjebak dalam sketsa kepentingan sempit yang membahayakan fondasi persatuan dan kesatuan bangsa. Media massa dan media sosial misalnya yang sempat dibanjiri pro dan kontra kebhinekaan.

Terjadi polarisasi tajam antar kelompok kepentingan dengan melabeli pihaknya lebih pro kebhinekaan dan lawannya sebagai anti kebhinekaan dengan membawa serta label agama. Seolah nasionalisme bertentangan dengan agama. Padahal sejarah panjang negeri ini, terbentuk dari rajutan kukuh kebangsaan dan keagamaan. Ada kelompok tertentu yang tega memainkan isu SARA dan politik identitas untuk merebut kemenangan dan kekuasaan.

Kondisi ini mengikis ruang dialog kolektif untuk membicarakan persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang lebih penting. Ingar-bingar semangat berdemokrasi justru menjebak berbagai kelompok masyarakat dalam efek echo chamber yang tak berkesudahan.

Masing-masing kubu hanya mau mendengar suara sendiri sewalaupun mungkin salah, enggan mendengar suara pihak lain walaupun mungkin benar. Akses informasi yang mudah dari internet yang harusnya mencerahkan malah membuat kegaduhan publik.

Seolah kita lupa lawan dalam berpolitik adalah kawan dalam membangun bangsa. Untuk itu momentum peringatan Sumpah Pemuda yang ke 95 tahun ini harus menjadi momen refleksi bersama guna meneguhkan semangat warisan api persatuan dan kesatuan bangsa.

Kerelaan para pemuda Indonesia menanggalkan identitas suku, agama, ras dan golongannya itulah yang patut menjadi teladan kita semua. Diperlukan sebuah keberanian yang luar biasa untuk melampaui sekat-sekat sosiologis yang sudah telanjur terpatri dari lahir dan terakumalasi dalam kehidupan sehari-hari. Diperlukan keluasan hati untuk mengesampingkan praduga dan kecurigaan yang mengarah pada perpecahan. Itulah yang saya sebut dengan "Berani Bersatu" dan menjadi tema utama peringatan Sumpah Pemuda ke-95 yang kita musti rayakan sekarang.

Presiden pertama, Ir. Soekarno pernah menyampaikan “Jangan mewarisi abu sumpah pemuda tapi warisilah api sumpah pemuda. Kalau sekedar mewarisi abu. Saudara-saudara puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, satu bangsa, dan satu Tanah Air. Tapi ini bukan tujuan akhir”.

Pernyataan itu adalah tamparan keras buat kita. Mestinya kita hari ini sudah tidak lagi meributkan soal ke Indonesiaan dan alasan kita bernegara. Seharusnya kita sudah melesat jauh memikirkan hal-hal lain yang lebih substantif dan progresif untuk tujuan bernegara, yaitu kesejahteraan dan keadilan sosial. Kebersamaan kita hanya berarti jika sudah diwujudkan dalam program-program pembangunan.

Karena itu sesengit apapun kontestasi politik, kita semua saudara dibawah payung kebangsaan yang sama. Jangan sampai demokrasi di negeri ini menjadi ajang adu domba, memproduksi dan menyalurkan fitnah, informasi menyesatkan, dan ujaran kebencian yang tidak berkesudahan.

Sudah saatnya kita harus gigih mengendalikan demokrasi sebagai instrumen politik yang sanggup mengakomodasi aspirasi seluruh anak bangsa yang beragam ini demi menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan dan Akuntabel dengan tujuan membalikan Pengkhianatan atas "Kemerdekaan Pengkhianatan".

Dengan demikian kita bisa memastikan setiap manfaat layanan publik yang terbaik demi kesejahteraan dan keadilan sosial dapat sampai dan dirasakan langsung masyarakat tingkat akar rumput.

Semangat sumpah pemuda ini harus bisa mengingatkan seluruh anak bangsa untuk mampu menahan diri, jangan saling mengompori dan memastikan masyarakat di sekitarnya tetap berpikir jernih, tenang dalam bersikap dan tidak saling memprovokasi.

Keadaban kita sebagai bangsa tercermin pada kebebasan yang bertanggung jawab menjunjung tinggi etika dan norma hukum, untuk mencegah munculnya tindakan anarkistis dan perpecahan bangsa, apapun alasannya.

Sikap kritis dan bijaksana harus di seimbangkan untuk semangat menjujung tinggi politik kebangsaan. Semangat rekonsiliasi dalam berdemokrasi merupakan nilai kebajikan yang diamanahkan para pemuda terdahulu.

Membangun Semangat Memimpin di Masa Depan

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertanah air yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pertanyaannya, apakah Sumpah Pemuda benar-benar telah dihayati oleh pemuda zaman sekarang? Banyak pemuda yang mengangapnya sebagai perayaan biasa, tak jarang yang tidak tahu, tidak hafal benar isi dan kapan diikrarkan sumpah tersebut.

Bahkan mereka tidak tahu para pahlawan yang mengikrarkannya sebagaimana mereka mengenal pemain sepak bola yang merumput di luar negeri. Inilah kealpaan yang sangat besar, yang menjadikan pemuda di masa yang canggih ini terlambat, yang menjadikan otot-otot fisik dan pikiran pemuda melemah.

Di era globalisasi ini para pemuda perlu dipertanyakan rasa cintanya pada Indonesia. Lihat saja sekeliling kita, banyak anak muda yang lebih menggemari budaya asing dibanding budaya negeri sendiri. Cara berpakaian mulai dari Harajuku ala Jepang. Emo, ataupun Punk yang bukan budaya Indonesia, kemana Batik dan kemana Kebaya? dalam menggunakan produk pun para pemuda lebih bangga memakai barang impor. Padahal barang produksi lokal Indonesia tak kalah berkualitas dibanding buatan luar negeri.

Media elektronik, misalnya televisi, pun secara tidak langsung ‘mencekoki' jiwa pemuda. Para artis yang menggunakan bahasa gaul atau mencampur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Banyak juga lagu-lagu karangan anak Indonesia namun berbahasa Inggris. Keadaan ini diperparah dengan munculnya bahasa baru, bahasa gaul, yang merusak khasanah bahasa Indonesia, misalnya saya menjadi eke, akika, gue, dan lain-lain.

Bagi sebagian generasi muda, menggunakan bahasa asing itu lebih membanggakan dibandingkan dengan bahasa negeri sendiri. Apalagi jika dihubungkan dengan zaman yang semakin maju, arus globalisasi menuntut kita untuk mampu berbahasa asing guna bertukar informasi dengan orang lain di negeri lain, menambah khasanah ilmu pengetahuan dengan membaca buku bahasa asing, melihat berita berbahasa asing. Sebagai bangsa yang ingin maju, kita harus menyesuaikan diri dengan perkembangan. Namun bukan berarti meninggalkan apalagi sampai melupakan identitas kita.

Kita tau, generasi muda adalah pemimpin di masa depan. Pemimpin adalah seorang yang memiliki kemampuan mengatur jalannya suatu sistem dan memberi pengaruh serta mengarahkan kepada orang-orang yang ia pimpin sehingga dapat bekerja sama untuk mencapai tujuan.

Artinya peran pemuda sangatlah diharapkan sebagai proses pematangan dan langkah mempersiapkan diri, karena pemuda merupakan pewaris bangsa yang akan menjadi sosok pemimpin selanjutnya. Cerminan baik dan buruknya bangsa kita kedepan dapat dilihat dari para pemuda saat ini. Pemuda yang baik adalah pemuda yang tidak bersikap acuh dan selalu berusaha mencari jalan keluar terhadap berbagai persoalan bangsa demi tujuan yang berkemajuan.

Ada banyak cara untuk menjadi generasi pemimpin penerus bangsa, salah satunya yaitu dengan literasi. Literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis akan tetapi kepiawaian kita berbahasa saat berkomunikasi, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dan pandai berhitung itu juga termasuk literasi.

Bagaimana kita dapat menjadi seorang pemimpin jika kita tidak cerdas berliterasi. Cerdas berliterasi merupakan indikator penting untuk meningkatkan prestasi generasi muda dalam mencapai kesuksesan. Penanaman literasi harus disadari karena menjadi modal utama dalam mewujudkan bangsa yang cerdas. Padahal, budaya literasi bermanfaat dalam mewujudkan peran generasi muda dalam aspek pembangunan negara.

Membaca dan menulis adalah kunci awal dalam kesuksesan. Apalagi menjadi seorang pemimpin tentu harus memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas, dengan rajin dan sering membaca kita tidak akan ketinggalan zaman.

Membaca dan menulis bukan hanya buku tapi membaca dunia, yang diawali dengan membaca hal kecil yang bermanfaat. Karena dari literasi banyak sekali manfaatnya mulai dari menambah pembendaharaan kosa kata, meningkatkan kemampuan menganalisis, menambah wawasan, mengoptimalkan kinerja otak, membantu meningkatkan daya fokus dan masih banyak lagi. Tentu saja menjadi seorang pemimpin memerlukan itu semua.

Mulailah dari membaca dan menulis apa yang kita sukai. Di jaman sekarang, semakin berkembang teknologi kita tidak perlu bingung untuk mencari dan membeli buku, karna kita bisa mengaksesnya melalui smartphone.

Perubahan dan Masa Depan

Gerakan Sumpah Pemuda selalu menyiratkan pesan kuat bahwa kekuatan pemuda harus selalu hadir dalam setiap babak penting sejarah perjalanan bangsa. Dalam kondisi apapun tidak sepatutnya pemuda acuh untuk mengurai benang kusat persoalan bangsa. Dengan integritas moral dan tanggung jawab sejarahnya, pemuda harus ikut turun tangan dalam megurai dan menyelesaikan permasalahan bangsa, sesuai kapasitas masing-masing.

Proklamator kita, Bung Karno dalam bukunya yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi, Balai Pustaka 1960, pernah mengatakan, “Jangan bertanya apa yang bisa kalian dapatkan dari negara. Tetapi tanyalah apa yang bisa kita berikan kepada negara”. Panggilan untuk berbakti kepada nusa dan bangsa adalah kewajiban moral setiap pemuda. Sekecil apa pun kontribusi kita, negara akan tetap menerimanya.

Selain itu beliau juga mengingatkan, ketika ibu pertiwi hendak memperbaiki sanggulnya, “Engkau bisa menyumbangkan apa? Engkau bisa sumbangkan bunga Melati? Berikanlah bunga Melati. Engkau bisa menyumbangkan bunga Kenanga? Sumbangkanlah bunga Kenanga”.

Untuk mengoptimalkan kontribusi pemuda kepada negara, kita harus terus bahu membahu dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Saat ini, daya saing SDM Indonesia masih belum merata dan perlu ditingkatkan lagi.

Agar mampu bersaing di level global, kita harus lakukan langkah konkret untuk terus mengakselerasi perbaikan kualitas pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial. Ini harus menjadi komitmen politik bersama.

Berkaca sedikit pada pengalaman pribadi, ketika menjalani pendidikan di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Kota Mataram di tahun 2016, saya teringat kata-kata senior yang mengingatkan pembangunan pemuda Indonesia seharusnya selaras dengan konsep Trilogi dan Tri Kompetensi Dasar IMM. Yakni dapat disederhanakan sebagai “Anggun Dalam Moral dan Unggul Dalam Intelektual”. Yang bagi penulis dapat di perluas dalam pemahaman memiliki fisik prima; mentalitas kuat, beradab, keberanian, kegigihan, dan semangat pantang menyerah; serta memiliki kapasitas Intelektual memadai untuk menghadirkan kreativitas produktivitas, dan inovasi.

Semangat perubahan untuk perbaikan dan apresiasi capaian generasi pendahulu kita, wajib kita miliki. Inilah hakikat continuity and change. Pemuda adalah simbol perubahan dan masa depan. Mari kita wujudkan simbol itu dalam langkah nyata meningkatkan kesejahteraan, rasa keadilan dalam kerangka demokrasi bagi bangsa ini.

Terakhir sebagai penutup, penulis ingin mengucapkan SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA ; SATU NUSA, SATU BANGSA DAN SATU BAHASA, INDONESIA!!!

*Penulis adalah Pegiat Literasi Nusa Tenggara Barat

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image