Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Kaum Nasionalis dan Isu Nasionalisasi

Politik | Friday, 13 Oct 2023, 04:40 WIB

Pertarungan politik menuju Pemilu 2024 bakal menorehkan isu penting: nasionalisasi aset asing (lagi dan lagi).

Merujuk apa yang terjadi di Amerika Latin, Argentina dan Bolivia justru menikmati keuntungan berlipat dari hasil Nasionalisasi Aset Asing. Di Bolivia, tujuh tahun sebelum nasionalisasi (1999-2005), negara hanya menerima 2 milyar USD dari pertambangan. Namun sebaliknya, tujuh tahun setelah nasionalisasi, Bolivia menerima pemasukan sebesar 16 milyar USD.

Tak hanya itu, melalui nasionalisasi, Bolivia berhasil merebut kembali kontrol nasional atas kekayaan alamnya. Perusahaan gas negara Bolivia juga berkembang pesat. Lalu, dari keuntungan yang didapat dari sektor pertambangan, Bolivia sekarang berhasil mengurangi kemiskinan, membiayai pendidikan dan kesehatan rakyatnya, dan memberikan jaminan sosial kepada ibu hamil, kaum miskin, dan pensiunan.

Ketakutan bahwa nasionalisasi akan membuat investor asing akan ‘hengkang’ juga tidak terbukti. Di banyak negeri yang melakukan nasionalisasi, seperti Bolivia, Venezuela, dan Argentina, korporasi asing tetap bertahan. Kendati mereka dipaksa ‘patuh’ kepada aturan yang dibuat oleh negara.

Selain itu, ketakutan akan kalah di Arbitrase Internasional juga berlebihan. Ini dibuktikan oleh pengalaman Venezuela. Tahun 2007, Venezuela menasionalisasi proyek Exxon di Cerro Negro di daerah Orinoco, Venezuela, yang merupakan salah satu cadangan minyak mentah terbesar dunia. Lantaran itu, Exxon menggugat Venezuela sebesar 12 milyar USD di lembaga arbitrase internasional. Namun, pada tahun 2012 lalu, Arbitrase Internasional justru memenangkan Venezuela atas gugatan Exxon tersebut.

Dalam sejarah, Indonesia juga pernah menasionalisasi perusahaan asing, terutama milik kolonial Belanda, di tahun 1957 hingga tahun 1960-an. Tercatat, dari tahun 1957 hingga 1960, sebanyak 700-an perusahaan milik kolonial Belanda jatuh ke tangan Republik Indonesia. Jumlah itu mewakili 70% jumlah perusahaan asing di Indonesia saat itu. Saat itu pemerintahan Sukarno bahkan menerbitkan UU nasionalisasi, yakni UU nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan Belanda.

Saat itu, nasionalisasi dimaksudkan untuk melikuidasi sisa-sisa ekonomi kolonial, baik modal Belanda maupun modal dari negeri imperialis lainnya, yang merintangi kemajuan ekonomi nasional. Dengan menasionalisasi perusahaan asing, pemerintah mengurangi pengaruh modal asing terhadap perekonomian nasional yang terbukti eksploitatif dan merugikan kepentingan rakyat banyak.

Nampaknya, Para Bakal Calon Presiden Bakal Kembali Melunak Pada Isu ini, maklum kita sudah tahu siapa yang berada dibelakang mereka. Kalaupun ada Bakal Capres Yang Mengaungkan isu ini, dia hanya sebatas mengerek itu dengan bumbu bumbu oportunisme bernuansa primordialisme.

ketakuan terhadap isu nasionalisasi sama sekali tidak berdasar. Saya kira, meruncingnya isu nasionalisme dalam Pemilu 2024 kali ini memang sangat menggusarkan investor asing. Sebab, kendati pemantiknya adalah para elit politik yang bertarung di pemilu, tetapi isu itu bisa meluas karena mewakili keresahaan umum massa-rakyat banyak terhadap dominasi modal asing dalam segala aspek perekonomian nasional. Sikap lunak para capres-capres itu punya konsekuensi. Pertama, mereka gagal menciptakan garis pembeda yang jelas dengan kekuatan neoliberalis dalam isu yang sangat strategis, yakni penyelematan aset dan sumber daya nasional. Kedua, jika kekhawatiran terhadap itu benar-benar mewakili kepentingan investor asing, berarti capres-capres nasionalis pun tidak punya ‘nyali politik’ untuk menegakkan kepentingan nasional di hadapan investor asing.

Dominasi Asing Dan Isu Nasionalisasi

Memang, salah satu persoalan besar dalam ekonomi nasional saat ini adalah kuatnya penguasaan oleh modal asing terhadap aset-aset ekonomi nasional, baik penguasaan sumber daya alam (SDA) maupun sektor-sektor ekonomi strategis.

Massifnya penguasaan asing terhadap aset ekonomi nasional itu berkorelasi dengan penerapan kebijakan neoliberal dalam satu dekade terakhir. Kebijakan neoliberal, yang salah satu pilarnya adalah kebebasan investasi, mendorong laju ekspansi modal asing dalam mencaplok sumber daya dan aset-aset ekonomi nasional.

Penguasaan asing terhadap aset ekonomi nasional itu berdampak pada penyingkiran terhadap mayoritas rakyat marhaen, seperti petani, masyarakat adat, kaum miskin kota, buruh, dan lain-lain, dari alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Dalam banyak kasus, kehadiran investasi asing ini disertai dengan perampasan lahan, penguasaan sumber daya alam milik rakyat marhaen, pengusiran penduduk, dan kekerasan.

Selain itu, dominasi modal asing itu menyebabkan hilangnya kontrol atau kendali negara terhadap aset ekonomi nasionalnya. Di sini, negara tidak punya lagi kontrol untuk memastikan penggunaan sumber daya itu untuk kepentingan nasionalnya. Akibatnya, negara tidak berdaulat secara ekonomi. Sebagai misal, kita punya sumber daya energi yang melimpah, tetapi rakyat marhaen dan industri nasional kita tetap kesulitan mendapat pasokan energi yang cukup dan terjangkau.

Lebih jauh lagi, negara tidak bisa memanfaatkan sumber daya nasionalnya untuk memajukan kekuatan produktif dan ekonomi nasionalnya. Karena sebagian besar keuntungan SDA mengalir ke kantor perusahaan asing, negara tidak punya cukup dana untuk berinvestasi di sektor pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan lain-lain.

Kemudian, melalui agenda swastanisasi yang begitu masif dalam satu dekade terakhir, hampir semua perusahaan negara yang dulu dibangun dengan uang rakyat marhaen berpindah-tangan ke pihak swasta asing.

Inilah persoalan pokok bangsa kita saat ini. Modal asing bukan hanya menguasai sumber daya alam dan aset strategis kita, tetapi juga sudah memegang tampuk produksi. Alhasil, secara ekonomi, kita tidak bisa lagi disebut merdeka dan berdaulat.

Bung Karno pernah bilang, sebuah negara tidak bisa dikatakan merdeka kalau kebijakan ekonominya membiarkan kekayaan dari hasil-hasil buminya mengalir ke peti-peti kekayaan perusahaan-perusahaan raksasa kapitalis dunia.

Kemudian, di tahun 1961, Bung Karno juga mengingatkan, “Tak dapat kita mengambil manfaat 100% dari kekayaan bumi dan air kita sendiri, kalau imperialisme ekonomi dan imperialisme politik masih bercokol di tubuh kita, laksana lintah yang menghisap darah.

Semangat Pasal 33 UUD 1945
Yang perlu juga disadari, dominasi asing dalam penguasaan aset nasional kita sebetulnya sudah melabrak konstitusi, yakni pasal 33 UUD 1945. Dominasi asing telah menempatkan penguasaan dan tampuk produksi di tangan kapital asing.

Dalam konteks itu, pengambil-alihan melalui jalan nasionalisasi bukan tindakan yang inkonstitusional. Justru, nasionalisi merupakan tindakan paling konstitusional dalam kerangka menyelamatkan dan memerdekakan ekonomi nasional.

Hanya saja memang, kalau merujuk ke pasal 33 UUD 1945, perkaranya memang tidak sesederhana pengambil-alihan aset asing. Bung Karno pernah bilang, memerdekakan ekonomi nasional itu bukan sekedar indonesianisasi, bukan sekedar mengganti kepemilikan perusahaan asing dengan orang Indonesia. Bahkan, sekalipun tampuk produksi sudah di tangan pemerintah, belum ada jaminan sudah sesuai dengan prinsip pasal 33 UUD 1945.

Karena itu, dalam konteks pasal 33 UUD 1945, ada tiga hal yang mesti diperjelas: struktur kepemilikan, organisasi dan proses produksi, dan orientasi produksi. Tiga hal ini penting diperjelas untuk memastikan kontrol dan penguasaan nasional terhadap kekayaan alam dan aset nasional benar-benar memperbesar kemakmuran rakyat.

Terkait struktur kepemilikan, nasionalisasi memang merupakan jalan mengembalikan kontrol negara terhadap sumber daya dan aset nasional. Namun, belajar dari pengalaman banyak negara, kontrol negara ini bisa menyimpang: korupsi-kolusi-nepotisme, mismanajemen, birokratisme, dan lain-lain. Karena itu, sesuai amanat pasal 33 UUD 1945 ayat (1), harus ada upaya untuk mendorong kepemilikan sumber daya atau aset nasional menjadi kepemilikan umum.

Kemudian, terkait organisasi dan proses produksi, selain di tangan perusahaan negara, pemerintah juga harus mendorong partisipasi rakyat marhaen dalam produksi melalui unit usaha kolektif seperti unit produksi sosial dan koperasi. Dalam konteks ini, swasta tentu dibolehkan mengambil peran, tetapi harus tunduk pada koridor yang dibatasi oleh negara. Kalaupun dibolehkan, swasta hanya dibolehkan di sektor atau lapangan usaha yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak.

Kemudian, yang lebih penting lagi, nasionalisasi ini harus mengubah orientasi produksi, dari sebelumnya berorientasi ekspor bahan mentah menjadi berorientasi ke kepentingan nasional; dari sebelumnya melayani tujuan kapital (menggali keuntungan untuk segelintir orang) menjadi melayani kebutuhan rakyat marhaen.

Untuk sekarang, nampaknya mimpi kemakmuran lewat Nasionalisasi Perusahaan Asing ini mustahil terjadi jika berada dibawah naungan Omnibus Law.

YUDYA PRATIDINA MARHAENIS!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image