Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Iman Sejarah

Mendidik Kecerdasan Buatan

Lomba | Thursday, 31 Aug 2023, 16:28 WIB

Keberadaan Artificial Intelligence (AI) bagi dunia pendidikan atau AI for Education (AIED) menyebabkan kecemasan tidak berujung. Di satu sisi, produk AI seperti ChatGPT berhasil membantu banyak pekerjaan guru. Misal membuatkan perencanaan pembelajaran, susunan materi ajar, contoh evaluasi bahkan membuatkan seluruh perangkat media pembelajaran dalam satu kalimat perintah. Hal ini didukung oleh survei penggunaan ChatGPT di sekolah. Dari 1.002 responden di Amerika Serikat, Walton Family Foundation menemukan guru (51%) lebih sering menggunakannya daripada siswa (41%). Dengan demikian produk AI sangat penting bagi pengembangan pekerjaan para guru.

Pada sisi lain AI juga menghilangkan beberapa pekerjaan. Misal para guru tidak perlu lagi membentuk ilustrasi dalam rangka pembelajaran dengan berbagai aplikasi terpisah. Cukup dengan satu perintah, model konten pembelajaran apapun dari berbagai bidang studi dan jenjang bisa dibuat. Kemampuan-kemampuan lama seperti mengedit teks, gambar dan video telah dan akan digantikan oleh super aplikasi berbasis AI yang memotong baris koordinasi aplikasi yang kurang cerdas.

Di Eropa, kontribusi AI dalam pembelajaran, jauh lebih prospektif. Misal, AI bisa memprediksi kesehatan mental anak, memetakan kecenderungan pada ide-ide radikal dan kekerasan seksual hingga memprediksi anak-anak yang berpotensi drop out. Hasil kerja AI semacam ini sangat berguna bagi pendidikan, lantas mengapa AI masih dianggap ancaman?

Tumbal Kecerdasan

Tahun 2022 Human Right Watch merilis temuan bahwa 89% dari 163 perusahaan teknologi edukasi (Edtech) di dunia termasuk Indonesia melakukan penambangan data siswa. Praktik ini secara masif dilakukan dengan cara memanfaatkan momentum Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama pandemik yang memaksa guru, sekolah, siswa dan orang tua menggunakan platform Edtech.

Menurut HRW, perusahaan-perusahaan teknologi edukasi tersebut melakukan pelanggaran privasi karena menghimpun data pribadi, dan meminta akses tertentu ke smartphone penggunannya (para guru, siswa dan orang tua).

Data ini diolah sedemikian rupa oleh perusahaan edtech menggunakan AI untuk menyusun sosok profil pengguna yang memuat karakter, kepribadian dan minat yang merupakan informasi berharga bagi perusahaan pengiklan untuk mencapai target konsumen yang spesifik.

AI juga mampu menerobos akses lain seperti media sosial, situs pencari, dan lokasi GPS. Alih-alih bisa memprediksi perilaku, keuangan, lingkungan sosial, minat, dan bakat demi kepentingan pendidikan, kemampuan ini justru memudahkan perusahaan penambang data berkedok Edtech untuk menggali komoditas dari big data pendidikan.

Sebagai contoh, tahun 2021 di DKI Jakarta saat Asesmen Persiapan PTM Terbatas pada masa Pandemik, salah satu edtech swasta menjadi verifikator kelayakan pembukaan kembali sekolah. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memprotes muatan bisnis dalam platform tersebut karena, alih-alih mendata kesiapan sekolah, kolom isian dari aplikasi swasta tersebut malah meminta data pribadi guru, siswa dan orang tua, serta mengarahkan siswa untuk melihat iklan paket pendidikan yang mereka buat. Sampai tulisan ini dibuat, tidak ada regulasi yang mengatur bagaimana dan sejauh mana pelanggaran privasi oleh AI dalam dunia pendidikan bisa diantisipasi.

Menakar Batas Kecerdasan

Regulasi ini dikenal sebagai Protokol AI untuk Pendidikan. Sampai tahun 2020, sudah 26 negara yang telah menyusun kerangka rencana masa depan untuk pengembangan AI di negara mereka masing-masing. Dari negara seperti Amerika Serikat, Brazil, Finlandia, Jepang hingga Arab Saudi. Respon berbagai negara terhadap AI dalam dunia pendidikan berbeda-beda.

Tahun 2017 Cina sudah menyusun a Next Generation Artificial Intelligence Development Plan yang salah satu produknya adalah membentuk norma etik AI. Kecepatan Cina mengantisipasi AI membuahkan keuntungan. China Daily menyebut laporan dari Universitas Stanford bahwa sampai tahun 2021 lebih dari setengah hak paten AI diseluruh dunia sudah dimiliki Cina (Chinadaily, 11/5/2023).

Tahun 2018 dalam Villani Report, Perancis dengan prinsip AI for Humanity sudah menyusun strategi protokol AI. Meski tidak memiliki protokol etik untuk AI, Russia sudah menyusun rencana pengembangan AI sejak tahun 2018 yang berfokus pada meningkatkan tingkat kelulusan siswa (defenseone, 10/9/2019). Tahun 2019 Arab Saudi sudah menyusun The Saudi Data and Artificial Intelligence Authority (SDAIA).

Uni Eropa sudah membentuk protokol AIED tahun 2020. Prinsipnya adalah AIED hanya terbatas pada 1) memilih sumber dan perencanaan pembelajaran yang paling cocok; 2) membantu guru memilih pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan pelajar. Misal, membantu menyediakan pembelajaran terindividualisasi bagi anak berkebutuhan khusus; 3) memprediksi pelajar yang akan drop out; 4) menyediakan chatbot untuk menjawab pertanyaan administratif dari pelajar dan orang tua. Australia pada 2018-2019 sudah menggelontorkan anggaran untuk membentuk kerangka etik AI, sementara Brazil mengadopsi AI sesuai nasehat OECD. Sedangkan Jepang baru pada Juli 2023 menyusun protokol AI untuk pendidikan.

Tentu, tidak semua negara merasa membutuhkan protokol AI untuk pendidikan dari segi etis dan norma. Namun Indonesia bisa mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai AIED sebagai dasar membuat protokol AIED secara nasional.

Tahun 2019 forum AI untuk Pendidikan menghasilkan kesepakatan yang disebut sebagai "Beijing Konsensus." Ada tiga prinsip utama dalam Beijing Consensus yang layak dijadikan bahan protokol AI untuk pendidikan di Indonesia. Pertama penggunaan AI yang inklusif dan terbuka. Kedua, memberdayakan pendidik dan semua orang yang bekerja dilingkungan AI, Ketiga, mengembangkan kerangka etik dan transparansi AI. Ketiga prinsip ini akan membuat AIED menjadi motor penggerak kemajuan pendidikan Indonesia. Jika kita tidak segera menyusunnya, maka AI yang disusun oleh negara lain harus kita telan mentah-mentah dengan penuh penyesalan karena semua sudah terlambat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image