Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image jok

Menekan Ongkos Politik dengan Bantuan AI

Lomba | Monday, 28 Aug 2023, 10:41 WIB
Foto: Mathieu Stern/Unsplash.

Dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan [AI], tak menutup kemungkinan robot dan mesin pintar bakal menggantikan tugas para wakil rakyat kita di parlemen. Lantas, kira-kira apa imbasnya bagi mesin demokrasi?

Kita sudah sama-sama ketahui, ongkos untuk meraih dan atau mempertahankan kekuasaan di Republik ini tidaklah murah. Hajat akbar pesta demokrasi berupa pemilihan umum [pemilu] di negara kita, baik untuk level nasional maupun untuk level daerah, menyedot duit yang tidak sedikit.

Data yang dihimpun oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat [LPEM] Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menunjukkan besaran pengeluaran untuk ikut kontestasi dalam pencalegan, misalnya, berkisar antara Rp 1,18 miliar sampai Rp 4,6 miliar. Jumlah itu berdasarkan penelitian LPEM pada pemilu tahun 2014. Pada pemilu 2024 mendatang, boleh jadi jumlahnya jauh lebih jumbo.

Jumlah duit yang besar diperlukan untuk biaya operasional, seperti antara lain untuk biaya sosialisasi, kampanye, belanja iklan politik, membayar para saksi di tempat pemungutan suara [TPS] maupun membayar para konsultan politik -- atau bahkan membayar dukun politik. Belum lagi jika ada program serangan fajar, berupa bagi-bagi angpaw kepada para calon pemilih potensial, pada hari H pemungutan suara.

Setelah usai pesta demokrasi dan menghasilkan para wakil rakyat terpilih, negara tentu saja perlu menganggarkan dana untuk keperluan mereka berikut berbagai fasilitas penunjangnya.

Mesin pengganti wakil rakyat

Kini, berkat kemajuan teknologi, sejumlah tugas pekerjaan mampu dilakukan oleh robot/mesin yang memiliki teknologi kecerdasan buatan.

Di masa depan, sudah barang tentu bakal semakin banyak jenis pekerjaan yang dilakukan lewat sistem otomatisasi. Dengan kata lain, beragam jenis dan bentuk pekerjaan yang sekarang ini dikerjakan oleh tenaga manusia, di masa yang akan datang bakal dikerjakan oleh robot/mesin pintar. Termasuk mungkin saja pekerjaan legislasi yang selama ini menjadi bagian tugas para wakil rakyat kita di bangku parlemen.

Sebuah kajian yang sempat dilakukan oleh Center for the Governance IE University, Madrid, Spanyol, beberapa waktu lalu, menghasilkan temuan bahwa sebagian besar warga Eropa kepingin melihat sejumlah anggota parlemen mereka digantikan oleh mesin berbasis kecerdasan buatan.

Para peneliti di Center for the Governance IE University mengajukan pertanyaan kepada 2.769 orang responden dari 11 negara di seluruh dunia ihwal bagaimana perasaan mereka terkait pengurangan jumlah anggota parlemen nasional di negara mereka dan memberikan kursi itu kepada mesin berbasis kecerdasan buatan yang akan mempunyai akses ke data mereka.

Hasilnya, 51 persen warga Eropa mengatakan bahwa mereka mendukung langkah tersebut. Di luar Eropa, sekitar 75 persen orang yang disurvei di Tiongkok menyatakan dukungan mereka terhadap ide tersebut.

Bagi mereka yang percaya pada teknologi, gagasan untuk mengganti wakil rakyat dengan mesin pintar sama sekali bukan sesuatu yang mustahil.

Oleh sebab itu, mesin demokrasi tak menutup kemungkinan bisa saja digantikan oleh mesin algokrasi, di mana keputusan-keputusan politik dirancang, diarahkan, dan diimplementasikan oleh suatu algoritma dan tak lagi dirancang, diarahkan, dan diimplementasikan oleh para politisi.

Lewat mesin algokrasi, algoritma komputer dan bahkan teknologi blockchain dapat kita manfaatkan untuk mengambil alih sebagian [mungkin pula seluruhnya] beban tata kelola negara. Dengan kata lain, kita menggunakan teknologi untuk menjalankan negara [Thomson, 2022].

Sekiranya mesin algokrasi kita adopsi dan para wakil rakyat kita digantikan oleh mesin pintar, maka kita akan menghemat uang lumayan besar. Pasalnya, tak perlu lagi kita menyelenggarakan pemilu yang menyedot ongkos politik tinggi untuk memilih para calon wakil rakyat.

Tak perlu pula negara menganggarkan gaji, tunjangan maupun beragam fasilitas untuk para wakil rakyat kita di parlemen.

Lewat mesin algokrasi, politik uang, suap maupun korupsi politik lainnya diyakini akan berkurang lantaran orang tidak harus lagi berburu dan mempertahankan jabatan-jabatan politik, yang selalu sarat kepentingan.

Meski mungkin dapat diwujudkan, setidaknya bagi mereka yang percaya akan teknologi, adopsi mesin algokrasi mengapungkan beberapa permasalahan.

Salah satunya yaitu siapa pihak atau otoritas yang paling memiliki wewenang dalam memprogram mesin pintar berteknologi kecerdasan buatan sebagai pengganti wakil rakyat untuk memastikan mereka benar-benar imparsial dan aspiratif dalam pengambilan keputusan serta senantiasa bersandar pada etika, moral, serta norma-norma yang telah disepakati.

Masalah lainnya yaitu terkait dengan security alias keamanan semisal perlindungan data pribadi, serangan dunia maya, maupun kesalahan komputasi maupun kesalahan-kesalahan lainnya.

Masalah-masalah tersebut sudah barang tentu perlu mendapatkan perhatian dan sekaligus dicarikan resep cespleng untuk mengatasinya jika memang akhirnya mesin algokrasi perlu diadopsi untuk menggantikan mesin demokrasi.***

--

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image