Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kirana Sulaeman

Menyingkap Ilusi AI, Merayakan Laju Ilmu Pengetahuan

Lomba | Friday, 18 Aug 2023, 09:42 WIB
Credit: Vithun Khamsong/Getty Images

"I am become death, the destroyer of worlds," ucap getir Oppenheimer, ilmuwan pengembang bom nuklir AS, selang beberapa waktu sebelum ajalnya yang penuh sesal. Usai bom rakitannya memorakporandakan Hiroshima-Nagasaki, dia baru sadar bagaimana otak jeniusnya membawa umat manusia pada kehancuran. Berawal dari penemuan soal pemecahan inti atom, dia telah mengantarkan kematian ratusan ribu orang tak bersalah.

Tragedi Oppenheimer dan perkembangan sains yang destruktif ini mengingatkan saya pada penemuan sains mutakhir dekade ini, yaitu AI. Secara kasat mata, AI memang bukan bom. Dia tidak mencabut nyawa manusia, apalagi meninggalkan bibit-bibit kanker hasil pancaran radiasi. Namun, cukup banyak orang melihatnya sebagai "the destroyer of worlds." Belum lama ini, Goldman Sachs melaporkan bahwa 300 juta pekerjaan akan hilang dan digantikan oleh AI karena skill-nya dalam mendiagnosis penyakit hingga mereplikasi cara kerja para akademisi.

Dengan segala kehebatan itu, manusia seakan menjadi subjek yang rapuh. Ada ketakutan jika premis film “Terminator” akan menjadi nyata. Elon Musk bahkan sampai menandatangani surat tuntutan untuk menghentikan perkembangan AI selama beberapa bulan untuk mencegah kekuasaan AI atas manusia.

Terjebak Glorifikasi Kekuatan AI

Di tengah gempuran informasi soal ancaman AI, barangkali kita perlu mengajukan pertanyaan skeptis ala para contrarian soal keberadaan AI.

Pakar filsafat UNPAR, Stephanus Djunatan, menjelaskan bahwa manusia punya satu hal otentik yang tidak mungkin direplikasi oleh AI, yaitu kecerdasan kontekstual dan asosiatif. Sistem AI dibangun dari "struktur biner" (on/off, benar/salah) yang membentuk garis dan gambar di layar komputer.

Alhasil, AI tidak bisa berpikir sesuai konteks spesifik dan personal yang muncul dari percakapan, observasi, dan pergulatan batin. Padahal, itulah yang mendorong manusia mencapai kematangan jiwa dan pencapaian intelektualitas seperti saat ini. Lihat bagaimana pemaknaan asosiatif Newton atas “apel” memantik teori gravitasi. Bagaimana mungkin "AHA moment" ini dialami oleh AI?

Selain itu, Direktur AI Now Institute, Amba Kak, mengungkap bahwa istilah AI adalah "buzzword", yaitu kata yang terlihat rumit namun nirsubstansi, yang dibuat oleh perusahaan untuk membangun hype atas produknya. AI sesungguhnya cuma algoritma yang menghimpun data dan memprosesnya agar bisa membantu pekerjaan manusia.

Kak pun menolak narasi Elon Musk yang bukan cuma bentuk fearmongering, tetapi juga menggeser perhatian masyarakat dari masalah yang lebih serius; yaitu bagaimana AI dapat disalahgunakan untuk kejahatan seperti cybercrime. Menurut laporan UNICRI, AI dapat memfasilitasi terorisme dengan menyebarkan ajakan kekerasan dengan lebih cepat dan efektif.

Kecerdasan AI tidak mampu menggantikan sifat intrinsik manusia, dan karenanya tidak harus mengalihkan fokus pada hal yang tepat.

Kita Tidak Bisa Mengerem Laju Ilmu Pengetahuan

Meskipun dampak AI tidak se-dramatis film “Terminator”, resiko yang kita hadapi juga harus diakui berbahaya. Jika AI menambah minyak pada api terorisme yang sudah terlanjur menjalar, bayangkan bagaimana umat manusia akan punah. Di Indonesia, kita sudah lihat bagaimana ajakan kekerasan berujung pada serangan bom di gereja-gereja.

Dampak negatif perkembangan teknologi ini tidak terelakkan. Ini pun memantik pertanyaan soal etika dalam penelitian sains, terutama setelah AS meluncurkan proyek ambisius “Manhattan Project” yang menggandeng Oppenhaimer untuk membuat bom atom. Kejahatan kemanusiaan dari proyek ini membuat orang berpikir apakah kita perlu mengerem laju sains dan teknologi.

Saya kira, dampak perkembangan sains tidak bisa mendiskreditkan laju ilmu pengetahuan. Meskipun “Manhattan Project” menciptakan destruksi, kritik kita seharusnya diarahkan pada AS yang menyalahgunakan buah pikir ilmuwan untuk membunuh warga sipil. Eksistensi bom tidak bisa membantah kegunaan nuklir sebagai energi alternatif ramah lingkungan. Begitu pula dengan AI. Risiko kejahatan siber dan terorisme tak bisa mengelak kegunaan AI, yaitu mempermudah pekerjaan manusia.

Tugas kita hanya satu: mencari solusi dari dampak tersebut. Mencari solusi tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi tidak pula sesulit mencium siku tangan sendiri. Kita hanya butuh kemauan dan kreativitas untuk mengentaskan masalah.

Pada akhirnya, AI tidak mesti membuat kita tercekam. Manusia memang terlahir untuk membuat hal-hal hebat, karena dengan begitulah intelektualitas kita tersalurkan untuk memajukan peradaban. Tentu kita tidak sudi kembali ke zaman purba di mana rasi bintang menjadi petunjuk arah jalan, alih-alih Google Maps yang bisa memprediksi kepadatan kendaraan dengan AI.

Laju kereta ilmu pengetahuan tetap harus melintas dengan segala borok yang ia bawa, karena selama kita masih menjadi manusia waras, borok tersebut akan mampu kita taklukkan. Kita tidak perlu menganggap AI sebagai "the destroyer of worlds," tetapi menyambutnya dengan hangat sebagai salah satu pencapaian paling menakjubkan di abad ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image