Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ayipudin

Humanisasi AI dan Kecemasan Eksistensi Manusia

Lomba | Monday, 14 Aug 2023, 17:34 WIB

Daya unggul manusia terletak pada perasaan, imajinasi, nilai etik dan otentisitas sesuatu yang membuat setiap orang menjadi unik. Perasaan seorang manusia tidak bisa disamakan dengan perasaan manusia lainya serta keseluruhan lanskap perasaan inilah yang ditangkap oleh jiwa. Bisa dikatakan bahwa manusia menjadi manusia karena ia memiliki daya cipta, karsa dan rasa.

Dengan merefleksikan seluruh pengalaman yang dimilikinya lalu tersimpan dalam memori untuk kemudian diolah melalui perenungan maka lahirlah sebuah karya. Karena perasaan penciptanya yang unik, maka berbeda dari perasaan pencipta lainnya. setiap karya pun bersifat unik. Semua orang unik, semuanya unik dan spesial dan precious. Demikianlah yang terjadi selama puluhan ribu tahun sejarah umat manusia. Namun kedatangan AI (Artificial Intelligence) agaknya membuyarkan itu.

ket. anak dan robot pixabay.com

Humanisasi AI

Perkembangan teknologi AI atau mesin berkecerdasan buatan selama dua dekade terakhir telah menunjukkan bahwa dalam mencipta dan pengetahuan ternyata daya etik tak begitu penting. Praktiknya bisa kita lihat di media sosial dengan penggunaan Algoritma di berbagai platform tersebut di desain sedemikian rupa agar pengguna betah lama-lama menggunakannya, sehingga hasrat pengguna lama-lama termodifikasi.

Contoh lain misalnya di bidang politik praktis mau pun ekonomi dengan bantuan algoritma begitu mudahnya menemukan konten yang berkaitan dengan isu atau memanipulasi pemilih dengan teknologi AI. Begitupun dalam berkesenian AI dapat berpikir dan mencipta karya seni tanpa perasaan, tanpa segi subjektif dari pengalaman, bahkan tanpa memiliki semacam diri atau individualitas.

Entitas-entitas artifisial ini mencipta tanpa perenungan atau apa yang dalam khazanah permenungan zaman lampau disebut sebagai ‘jiwa’. Di sini terlihat sekali dominasi estetika digantikan oleh statistika, semantik digantikan oleh sintaksis dan algortima. Di sini, individualitas dan keunikan hanya mungkin sebagai jargon otentisitas.

Karena penggunaan dan potensinya yang semakin mampu memanipulasi keinginan dan keputusan manusia, maka perlu mengintegrasikan hukum dan norma agar teknologi kecerdasan buatan lebih manusiawi AI yang harus lebih humanis. Dantara para intelektual yang sepakat dengan menghumanisasikan AI salah satunya adalah Yuval Noah Harari.

Harari mengasumsikan kecerdasan yang ada di dunia ini hanyalah milik manusia. Jika ada kecerdasan lain yang dalam hal ini berupa kecerdasan buatan maka perlu dibuat humanis atau cocok dengan karakter kecerdasan manusia.

Cara pandang manusia terhadap AI yang menuntut untuk menghumanisasikan dan mengintegrasikannnya dengan manusia ternyata dilandasi oleh kecemasan yang bisa saja AI akan mendehumanisasi manusia itu sendiri. AI dianggap sebagai ancamaman eksistensi manusia dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama lagi.

Sebelum mempersoalkan perlukah di AI di humanisasikan? kiranya perlu ada kejelasan terlebih dahulu tentang konsep Artificial Intellige. Sebab kecemasan kehadiran AI secara umum terlanjur dibayangkan sebagai teknologi yang bisa memanipulasi manusia, bersaing dan bahkan mengganti peran manusia dan narasinya AI dikemudian hari dapat mengambil alih semua sektor pekerjaan manusia. Karena kehadiran robot yang semakin cerdas dan AI akan menjadi ancaman serius bagi manusia.

Mendudukan Cara Pandang Terhadap AI

Jika pikiran manusia adalah sekumpulan data yang melalui proses evolusi yang unik akhirnya menjadi suatu bentuk memori data tertentu yang bisa berpikir cerdas maka, AI sebaiknya tidak dipahami sebagai kecerdasan tiruan yang terus diperbaiki agar mirip atau bahkan menyamai cara kerja otak manusia. Harus dipahami bahwa cara kerja AI adalah hal lain yang cara kerjanya pun akan berbeda dari manusia.

Hadirnya kecerdasan buatan bisa dibilang capaian daya imajinasi manusia yang sangat istimewa di masa sekarang. Dan persoalannya adalah kemampuan dan daya cipta manusia tidak mampu membuat dirinya tenang bahakan menyebabkan manusia itu sendiri gelisah. Ternyata, yang kita sebut sebagai cerdas dan kecerdasan itu tidak hanya terjadi di dalam kepala manusia semata dan tidak hanya muncul dari material organik seperti otak manusia dan hewan, tapi juga material inorganik atau benda mati. Kabel-kabel tembaga bisa cerdas.

Dengan demikian mestinya kita menerima dengan lapang dada bahwa banyak hal di dunia ini yang cara kerjanya tidak sesuai dengan perkiraan dan imajinasi manusia. Semesta ini tidak bekerja menurut kehendak manusia semata dan manusia bukan pusat alam semesta. Pemahaman ini memang akan membuat manusia seperti terdegradsi. Lantas, apakah kita sebaiknya mendukung dengan menanggapi ketersingkiran ini dengan ingin mendesain AI agar ramah manusia, mempunyai standar etik terhadap manusia dan bahkan ingin dibuat berpikir seperti manusia. Desain AI semacam ini bisa dengan mudah kita jumpai pada proyek dan produk yang cara kerjannya ingin membuat robot yang ramah, punya etika, dan menyentuh perasaan manusia.

Secara epistemologi AI, bukan hanya sekedar penerapan praktis saja misalnya soal perubahan iklim. Manusia, dapat mengetahui bahwa iklim sedang berubah signifikan ke arah yang mengancam eksistensi manusia, dengan kata lain karena ada kecerdasan di luar manusia yang bisa memahami itu. Dengan kemampuan kecerdasan yang berupa jaringan sensor mulai dari daratan dan lautan dari atmosfer sampai ke permukaan bumi, ia bisa memunculkan konsep perubahan iklim dan tanpa bantuam AI, jika hanya mengandalkan kecerdasan manusia, konsep perubahan iklim tidak akan bisa dibayangkan.

Pada bagian inilah secara etis, manusia harus tetap dapat memegang kontrol dengan regulasi dan aturan yang ketat agar teknologi yang dapat berkembang dengan sendirinya ini tetap dapat dikendalikan dan perkembangan AI semestinya diarahkan, yaitu menyikap tabir mister dunia dan merevisi konsep-konsep yang selama ini dipercaya manusia sebagai realita, padahal sejatinya semesta tidak beroperasi seperti yang manusia kira. Potensi ini tidak akan tercapai jika kita bersikukuh bahwa AI perlu dihumanisasikan bahkan memandang berlebihan AI adalah suatu ancaman eksistensi manusia yang sejatinya bisa berdampingan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image