Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Perempuan Indonesia dan Neoliberalisme

Politik | Wednesday, 19 Jul 2023, 03:33 WIB

Sudah sejak lama, yakni sejak kaum perempuan berpikir tentang emansipasi, persoalan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan lain-lain dianggap sebagai kondisi dasar yang diperlukan untuk memajukan perempuan. Kongres Perempuan pertama, pada 22 Desember 1928, misalnya, berbicara tentang perlunya pemberantasan buta huruf dan perluasan kesempatan perempuan untuk mengakses pendidikan.

Hal di atas sepenuhnya benar. Sebab, setiap orang hanya punya kesempatan mengembangkan kemampuan atau kapasitasnya jikalau ia punya prasyarat untuk berkembang: makanan yang cukup, kesehatan yang baik, tingkat pendidikan, dan kemerdekaan dalam mengambil keputusan. Bagaimana mungkin kita bisa mengembangkan diri jikalau kita lapar, sakit-sakitan, berpendidikan rendah, dan tidak merdeka dari dominasi orang atau pihak lain?

Akan tetapi, kita hidup dalam sebuah sistem yang tidak memberikan semua prasyarat itu: neoliberalisme. Banyak orang menyamakan neoliberalisme ini dengan praktek kolonialisme di masa lalu. Kita tahu, kolonialisme merupakan mata-rantai yang benar-benar menghambat perkembangan maju manusia Indonesia sebagai sebuah bangsa, termasuk kaum perempuan di dalamnya.

Neoliberalisme juga melakukan hal tersebut. Dominasi modal keuangan, liberalisasi perdagangan, dan perluasan rantai perdagangan global– yang didasarkan pada pemisahan proses produksi di lokasi yang berbeda-beda–telah mengubah struktur produktif dan pasar tenaga kerja di seluruh dunia. Ini ditandai dengan meluasnya gejala de-industrialisasi di negara-negara dunia ketiga. Sementara struktur tenaga kerja juga mengalami perubahan cepat: pengangguran terbuka telah meningkat, lapangan kerja di sektor formal dan teroganisir menurun, dan pekerjaan berupah rendah dan tidak aman juga makin meningkat.

Perempuan paling merasakan hal tersebut. Sebagian besar pekerja di sektor informal adalah kaum perempuan. Data resmi menyebutkan, hampir 64,43% dari angkatan kerja perempuan bekerja di sektor informal, lebih besar dari Kaum Adam yang 56,03% Bekerja di sektor Informal. Sebagian besar mereka bekerja di bawah situasi buruk: upah rendah, jaminan sosial kurang memadai, dan tidak ada perlindungan hukum.

Neoliberalisme juga meningkatkan apa yang disebut tenaga kerja yang tidak dibayar. Mereka umumnya adalah perempuan yang terpaksa mengambil pekerjaan-pekerjaan domestik di rumah tangga orang lain karena status menumpang atau karena masih dalam ikatan keluarga. akibat kehancuran sektor pertanian di desa-desa, banyak perempuan yang mengambil-alih peran sebagai kepala rumah tangga. Sedangkan suaminya kebanyakan dipaksa bekerja di tempat lain di luar daerah atau di kota untuk menopang ekonomi keluarga. Perempuan yang berperan sebagai kepala rumah tangga ini menjalankan tugas ganda: mengolah pertanian dan mengurus pekerjaan domestik di rumah tangga.

Dalam banyak kasus, ada banyak pula perempuan yang terpaksa menjadi tumpuan keluarga dengan menjadi buruh migran di luar negeri. Kita tentu sudah sering mendengar kisah pilu mengenai penderitaan pekerja migran perempuan Indonesia di berbagai negara. Mereka disebut “pahlawan devisa”, tetapi perlindungan negara terhadap keselamatan dan hak-hak mereka hampir tidak ada.

Neoliberalisme juga mempromosikan penghapusan subsidi dan menyerahkan layanan publik kepada mekanisme pasar. Hal ini membuat mayoritas rakyat Indonesia, termasuk kaum perempuan, kesulitan mengakses kebutuhan dasar: kesehatan, pendidikan, perumahan layak, dan lain-lain. Data BPS 2022 menyebutkan, 98,21 persen perempuan Indonesia hanya lulusan SD ke bawah, 91,71 persen lulusan SLTP dan 68,31 persen lulusan SLTA. Situasi itu makin diperparah, bahkan makin diakselerasi, oleh kebijakan neoliberal melemparkan dunia pendidikan pada mekanisme pasar.

Neoliberalisme juga melemparkan sejumlah tugas yang mestinya urusan negara menjadi kaum perempuan. Privatisasi, misalnya, tidak sekedar bermakna swastanisasi. Privatisasi pada hakekatnya—bagi kaum perempuan–adalah pemindahan tugas-tugas negara (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain) menjadi tugas-tugas ibu rumah tangga.

Sedangkan harapan perempuan untuk membuat perubahan melalui legislator mereka di parlemen juga tidak berbuah banyak. Kebanyakan legislator perempuan itu kurang bersuara lebih keras untuk menyuarakan penderitaan kaumnya. Bahkan, banyak diantara mereka menjadi pendukung neoliberal.

Demokrasi liberal (neo-liberal) juga membuat politik menjadi sesuatu yang sangat mahal. Hal tersebut membuat pupus harapan kaum perempuan, khususnya dari kalangan menengah ke bawah, untuk turut bertarung dalam arena-arena politik yang lebih tinggi. Kebanyakan perempuan yang bisa bermain di arena semacam itu adalah perempuan dari kalangan pengusaha atau elit-birokrat. Dan, dalam banyak kasus, kepekaan mereka terhadap isu-isu perempuan sangatlah kecil.

Kaum perempuan Indonesia tetap sulit mengejar kemajuan. Mayoritas perempuan Indonesia masih sulit mengakses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan layak dan hak-hak dasar lainnya. Padahal, seseorang akan sulit mengembangkan diri dan kapasitasnya jika ia tetap buta huruf, tidak sehat, lapar, dan tidak punya tempat tinggal yang layak.

Oleh karena itu, tidak ada jalan menuju kemajuan perempuan Indonesia tanpa membuka akses yang demokratis terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, dan hak-hak dasar lainnya.

Tidak ada pilihan lain bagi perempuan Indonesia selain menggabungkan diri dengan sektor rakyat marhaen yang lain untuk melawan neoliberalisme dan imperialisme. Kaum perempuan harus mampu memperjuangkan sistem politik SOSIALISME PANCASILA yang mempraktekkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sekaligus.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image