Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Komunitas Ujung Pena

Budaya Korupsi Harga Mati Kapitalisme

Politik | Tuesday, 27 Jun 2023, 22:22 WIB

 

Tri Maya

Baru saja publik dikejutkan dengan adanya temuan pungli di rutan KPK mencapai 4 M banyaknya. Menurut Menkopolhukam Mahfud MD, temuan pungli di KPK sangat ironis. Tapi, urusan pungli memang tak mengenal lembaga mana pun, dan bisa terjadi di mana saja.

Lebih lanjut, Mahfud menegaskan KPK adalah lembaga independen yang tak bisa diintervensi. Sebab itu ia menyerahkan sepenuhnya penyelidikan kasus ini kepada Dewas KPK. Sebelumnya, Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengungkapkan temuan dugaan pungli tersebut.

Dalam kurun waktu Desember 2021 hingga Maret 2022, nilainya mencapai Rp 4 miliar. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengungkap dugaan pungli di Rutan Cabang Merah Putih yang berlokasi di kawasan Kuningan, Jaksel, diduga telah terjadi lama. Namun, baru saat ini terungkap. Diduga pungli tersebut terkait perbuatan suap, gratifikasi dan pemerasan kepada tahanan KPK untuk mendapatkan keringanan dan penggunaan alat komunikasi.

Melansir dari kapanlagi.com, KPK merupakan salah satu lembaga negara yang dibentuk untuk memberantas korupsi. Korupsi seolah menjadi sebuah budaya yang massif saat ini. Kita akan menemukan begitu banyak kasus pemberitaan terkait korupsi terjadi nyaris disemua lembaga ataupun instansi.

Apa Sebab Korupsi Membudaya?

Salah satu teori korupsi menurut Jack Bologne Gone Theory menyebutkan bahwa faktor penyebab korupsi adalah keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan. Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi.

Dan menurut hasil analisa Kemendagri mengatakan, penyebab utama terjadinya korupsi dikarenakan celah yang memungkinkan untuk melakukan hal tersebut, termasuk juga di dalamnya mengenai sistem administrasi pemerintahan yang tidak transparan, politik berbiaya tinggi, dan dana imbalan pada rekrutmen aparatur sipil negara (ASN). Artinya disini kita bisa menarik sebuah kesimpulan terkait penyebab dari korupsi terletak di 3 faktor utama, yaitu minimnya ketakwaan individu, lemahnya kontrol dan terlalu ringannya sanksi yang diperoleh para koruptor. Dan tentu ketiga faktor ini menjadi tumbuh subur dikarenakan adanya sebuah sistem yang membuka celah besar korupsi, yaitu sistem kapitalis. Kapitalisme adalah ideologi ataupun paham ekonomi yang berasal dari ajaran Klasik-Neoklasik di mana didasarkan pada ajaran pasar bebas.

Saat ini, kapitalisme menjadi suatu sistem ekonomi global yang diterapkan di berbagai negara. Mengglobalnya kapitalisme ini dikarenakan runtuhnya Rusia pada tahun 1991 yang meniadakan sistem ekonomi timur (Marxisme-Leninisme). (Mubyarto, 2000:64—65). Kapitalisme di Indonesia adalah kapitalisme yang bersifat kapitalisme perkoncoan (crony capitalism). Disebut kapitalisme perkoncoan karena dapat dilihat hubungan erat antara pengusaha-pengusaha dengan pejabat-pejabat dalam menjalankan praktik kapitalisme.

Selain itu, kapitalisme perkoncoan nampak dengan banyaknya pejabat maupun anaknya yang menjadi pengusaha dan banyaknya pengusaha yang menjadi pejabat. (Baswir, 1999:30). Sistem kapitalisme perkoncoan ataupun oligarki membuka peluang yang besar bagi berkembangnya korupsi. Wajarlah korupsi senantiasa menggurita dan menjadi harga mati dalam sebuah sistem kapitalisme.

Islam Berantas Korupsi

Dalam pemerintahan islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat wali kota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118).

Fakta historis menyatakan, sejak Daulah Islam pertama kali tegak di Madinah, hingga runtuh di Turki Utsmani tahun 1924 hukum syariat Islam senantiasa ditegakkan. Penerapan hukum ini mampu meminimalisir kejahatan yang terjadi pada rentang waktu yang demikian panjang. Hal ini dikarenakan hukum Allah berfungsi sebagai pemberi efek jera bagi yang belum melakukan, dan menjadi penebus dosa bagi yang sudah melakukan tindakan kriminalitas (Al Anshari, 2006:287; Zallum, 2002).

Adapun cara strategi Khilafah dalam memberantas korupsi, dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut:

Pertama, menguatkan keimanan para penguasa, pejabat dan penegak hukum, serta rakyat akan pengawasan Allah (maraqabah), senantiasa merasa diawasi Allah, sehingga tidak sedikit pun kesempatan manusia untuk menerima suap sebab merasa senantiasa diawasi Allah. Mereka takut hanya kepada Allah dan tidak takut kepada selain Allah.

Kedua, penghitungan kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat jabatan yang diamatkan kepadanya. Hal demikian dilakukan dalam rangka tabayyun atau mencari tahu jumlah kekayaan seorang pemangku jabatan, yang memungkinkan rehabilitasi terhadap nama baik terhadap tindakan kejahatan berikutnya, misalnya suap dan korupsi (mencuri).

Ketiga, diberlakukannya seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh sistem yang diterapkan sekarang.

Keempat, untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.

Kelima, pilar-pilar lain dalam upaya pemberantasan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Bisa di ambil contoh, khalifah Umar Bin abdul aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Belaiu juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara.

Keenam, dalam Islam status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (musta’jir) adalah Negara yang di wakili oleh khalifah atau kepala Negara maupun penguasa selain khalifah, seperti Gubenur serta orang-orang yang di beri otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban diantara ajir dan musta’jir diatur dengan akad ijarah. Pendapatan yang di terima Ajir diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang diharamkan.

Maka jelaslah tidak ada aturan atau hukum selain Allah yang mampu memberantas kejahatan ataupun kemaksiatan, selain syari’at islam dalam bingkai institusi khilafah.

Wallahu a’lam bish showab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image