Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Natasyah delia febrianti

Keserentakan Pemilu dan Pemilihan

Politik | Saturday, 24 Jun 2023, 15:31 WIB
sumber :Ilustrasi - Pemilihan Umum serentak 2024. ANTARA/HO-Abdullah Rifai.

Republik Indonesia merupakan negara yang menerapkan demokrasi konstitusional dimana kedaulatan berada di tangan rakyat, namun dilaksanakan sesuai supremasi hukum. Demokrasi dan supremasi hukum saling berdampingan dan tidak mendahului satu sama lain. Konsep tersebut dilandasi berlakunya Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Konsep pemilihan umum wakil rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali sebagaimana mandat Pasal 22E ayat (1) UUD Tahun 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemilu yang demikian baru bisa terwujud bila pemilih memberi suaranya sesuai informasi yang memadai dan benar. Sebagaimana diketahui, pemilu serentak dan pemilihan kepala daerah (pilkada/pemilihan) selanjutnya akan dilaksanakan pada tahun 2024. Di mana dalam satu tahun, masyarakat akan menggunakan hak pilihnya dengan begitu banyak calon pejabat publik. Dalam pemilu sendiri akan terdapat pasangan calon presiden dan wakilnya; 575 anggota DPR, 2.207 anggota DPRD Provinsi; 17.610 anggota DPRD Kabupaten/Kota; dan 136 anggota DPD. Sedangkan dalam pilkada akan terdapat 33 gubernur, 415 bupati, dan 93 walikota yang dipilih. Pemilu 2024 tetap menggunakan UU Pemilu yang sama dengan penyelenggaraan Pemilu 2019, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menghadapi tantangan, kerumitan yang sama dengan yang dihadapi dalam Pemilu 2019. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa model pemilu serentak yang diterapkan pada Pemilu 2019, juga akan berlaku untuk Pemilu 2024. Hanya saja, untuk Pemilu 2024, juga berdampingan dengan Pilkada/Pemilihan Serentak Tahun 2024. Adapun model pemilihan umum serentak yang diatur pada UU Pemilu dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 14/PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014 yang menyatakan bahwa pelaksanaan pilpres dan pemilihan anggota lembaga perwakilan yang tidak serentak tidak sejalan dengan prinsip konstitusi yang menghendaki adanya efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan hak warga negara untuk memilih secara cerdas. Selaras dengan itu, UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, dan tiga kali perubahannya (UU Pilkada) masih tetap berlaku dalam Pemilihan Tahun 2024. Pada Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada disebutkan bahwa “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”. Artinya, akan terjadi irisan tahapan antara pemilu dan pilkada di tahun 2024 mendatang, dimana sementara berjalan tahapan pemilu, di suatu titik tahapan pemilu, akan dimulai juga tahapan pilkada. Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 merupakan pesta demokrasi terbesar yang akan menentukan perjalanan bangsa Indonesia dalam lima tahun ke depan. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu harus mempersiapkan secara baik dan matang. Jadwal dan tahapan Pemilu 2024 telah ditetapkan dan hari pemungutansuara jatuh pada 14 Februari 2024. Sedangkan untuk Pilkada pada 27 November 2024.

Beban Tugas Penyelenggara Pemilu

Salah satu unsur kesuksesan pemilu tak lepas dari peran penyelenggara pemilu. Dalam UU Pemilu disebutkan disebutkan bahwa penyelenggara pemilu terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketiga lembaga tersebut merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggara dengan porsi tugas yang berbeda. Terdapat perbedaan peranan antara penyelenggara. KPU memiliki fungsi sebagai pelaksana teknis tahapan pemilu. Bawaslu memiliki fungsi pengawasan dari semua pokok tahapan, dimana yang diawasi mulai dari peserta pemilu, masyarakat

maupun penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU. Sementara DKPP, memiliki fungsimenjaga etika penyelenggara pemilu baik KPU atau Bawaslu. Hal tersebut dilakukan agar penyelenggara pemilu terjaga integritasnya dan dipercaya masyarakat. Kode etik sebagai salah satu cara menjaga etika kita sebagai penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu diharapkan bisa melaksanakan dan menyelenggarakan Pemilu 2024 dengan baik, profesional, berintegritas dan transparan. Harus diakui penyelenggara pemilu akan menghadapi banyak kerumitan dalam Pemilu 2024. Kerumitan yang dimaksud, yaitu beban kerja akan meningkat. Pemilu 2019 lalu, merupakan pemilu serentak yang menggabungkan pemilihan DPR, DPD, Presiden, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota. Dengan format tersebut, Pemilu Indonesia bahkan dinobatkan sebagai pemilu satu hari tersulit yang pernahdilaksanakan. Pemilu 2019 juga diklaim sebagai pemilu yang damai, tetapi memakan korban jiwa, dengan meninggal dunianya para petugas karena kelelahan. Kondisi kelelahan ini sebetulnya bukan hanya dialami petugas dan penyelenggara, tetapi juga oleh para pemilih. Ada beberapa masalah yang timbul dan yang harus dievaluasi bersama.Pertama, terkait dengan beban tugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Mereka sudah bekerja sejak H-3 tiada henti sampai larut malam, bahkan sampai pagi. Kerja-kerja KPPS mulai dari mengedarkan surat pemberitahuan kepada pemilih, membuat Tempat Pemungutan Suara (TPS), sampai dengan penyelenggaraan pemungutan dan penghitungan suara dengan banyaknya jenis surat suara (5 jenis pemilihan). Hal ini membuat mereka kelelahan dan ada yang sampai tak mampu menyelesaikan pengisian Formulir C1 atau salah melakukanpengisian. Bahkan lebih buruk lagi, ada yang jatuh sakit dan bahkan meninggal dunia. Karenanya, KPU harus memperbaiki pelaksanaan teknis penghitungan suara di TPS, yang mana hal ini juga terkait dengan pengaturan waktu pelaksanaan tugas serta pendidikan dan pelatihan bagi petugas KPPS. Salah satu contoh adalah penerapan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang dilakukan secara elektronik (e-rekap) harus lebih optimal lagi bukan hanya sebagai rekapitulasi dan keakuratan data tapi juga dapat memudahkan tugas bagi badan ad hoc KPU. Kedua, banyaknya jumlah logistik yang harus diamankan dan distribusikan dengan waktu yang berdekatan dengan pelaksanaan hari pemungutan suara sehingga membuat penyelenggara ad hoc di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemilihan Setempat (PPS) di tingkat desa danKPPS agak kewalahan. Belum lagi ditambah dengan tugas monitoring dan membuat langsung Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang menambah tingkat kelelahan bagi penyelenggara di tingkat bawah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image