Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sucahyo adi swasono@PTS_team

Dialog Imajiner dengan Pak Presiden (Lanjutan)

Sastra | Saturday, 29 Apr 2023, 11:37 WIB
Sumber Gambar Ilustrasi: pngtree.com
quizizz.com

Saya: "Pun demikan halnya saya, Pak Presiden. Saya sebagai pribadi maupun sebagai bagian integral dari anak bangsa, sejak remaja hingga telah beranak pinak ini, selalu diselimuti rasa penasaran dan pertanyaan besar yang belum terjawab. 'Ada apa dengan Indonesia_Nusantara kita ini?' Bukankah negeri kita ini telah dikaruniai Tuhan Yang Maha Kuasa SDA yang melimpah ruah dan luar biasa? Namun kenapa yang namanya kehidupan masyarakat adil-sejahtera, koq tak kunjung tiba mewujud sejak kita menyatakan diri sebagai bangsa negeri merdeka, lepas dari belenggu penjajahan, Pak Presiden?"

Presiden: "Memang benar itu, apa yang sampeyan tuturkan itu, Mas. Dan, saya sendiri saja, maju menjadi presiden yang semula merintis dengan menapak mulai menjadi walikota, gubernur, adalah karena dihinggapi obsesi bagaimana mewujudkan Indonesia_Nusantara ini sebagai negeri yang adil-makmur-sejahtera lantaran SDA-nya yang real mumpuni dalam mendukung arah perwujudannya. Namun, fakta realitanya, koq masih begini-begini saja, ya? Boleh jadi, sampeyan menghadap saya ini, sudah punya konsep yang hendak disampaikan kepada saya sebagai solusi praktis atas tantangan besar bagi bangsa negeri ini? Monggo dikemukan, Mas. Tidak apa-apa, presiden pun manusia juga kan? Sama-halnya dengan sampeyan dan warga negara yang lainnya ..."

Saya: "Wah, saya jadi tak enak sendiri, Pak Presiden. Apalah artinya saya yang bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa ini, Pak Presiden?"

Presiden: "Tapi, sampeyan kan berupaya untuk menjadi apa-apa, kan? Dan, boleh jadi punya good willI untuk berkontribusi atas bangsa negeri ini sebagaimana perjalanan hidup sampeyan serta rasa penasaran sampeyan sejak remaja yang baru saja diungkapkan ini tadi? Iya, tidak?"

Saya: "Ya, memang, Pak Presiden. Hanya, sudah ada petimbangan tersendirikah, bila kita akan lakukan terobosan revolusioner tanpa harus mengabaikan dan meninggalkan falsafah bangsa kita, yakni Pancasila? Yang harus jujur kita katakan hingga saat ini, masih hanya pada batas di tatran idealistik, dan belum menyentuh pada tataran implementatif real atau belum membumi di Bumi sendiri, Indonesia_Nusantara ini? Itu dulu pertanyaan saya, Pak Presiden."

Presiden: "Lho, why not? Bukankah setiap pilihan yang harus kita ambil untuk dijalani, itu senantiasa dan pasti mengandung risiko? Itu sudah menjadi hukum alam, pasti alam, Mas. Tinggal bagaimana kita meminimalisir risiko itu dari pilihan yang kita ambil dan yang kita jalani. Sebab, pro-kontra pasti dan selalu akan terjadi. Koq, kita ini, Mas ... Nabi atau rasul yang sudah jelas sebagai utusan Tuhan, pilihan Tuhan yang mendapat amanah dari Tuhan saja, dalam sejarahnya kan menemui tentangan, di-kontra oleh yang tidak suka atas pesan ajakan dari Tuhan, yakni agar bagaimana hidup dalam tatanan yang dimaui oleh Tuhan semesta alam? Apalagi, kita ini? Iya, tidak?"

Saya: "Ya, benar, Pak Presiden. Fakta sejarah memang seperti itu tak bisa dipungkiri oleh siapapun juga. Baiklah, Pak Presiden ... Seperti halnya yang disinggung Pak Presiden tadi, yakni tentang Pancasila sebagai dasar negara, sebagai komitmen bangsa yang telah diletakdasarkan oleh para founding father yang telah mendahului kita dengan segala pengorbanannya, air mata, darah, harta dan jiwa dalam perjuangan membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan, sehingga bangsa negeri ini terbebas dari imperialisme-kolonialisme. Proklamasi kemerdekaan RI pun pada akhirnya berkumandang membelah atmosfer seantero Dunia. Agar kemerdekaan yang telah diprokalamirkan oleh Soekarno-Hatta sebagai representasi dari keinginan rakyat Indonesia_Nusantara bisa berdiri tegak dan kokoh, maka berkomitmenlah para founding father itu menjadikan Pancasila sebagai pondasi bangunan bangsa dan negara, menjadi weltanchauung, philosopisch grondslag yang di atasnya menjulanglah bangunan bangsa dan negara bernama: NKRI, membelah angkasa Dunia. Nah, itulah kilas sejarah yang tak boleh dibantah. Oleh karenanya, sudahkah kita sampai saat ini, telah berkonsekuensi logis dalam menjaga dan memelihara komitmen bangsa negara ini pada praktiknya? Harus berani jujur untuk mengatakan bahwa sepanjang 78 tahun hingga pada Agustus 2023 nanti kita merdeka, ternyata kita telah mengingkari sendiri terhadap komitmen luhur bangsa, yakni dalam mengimplementasikan, mengaktualisasikan Pancasila di Bumi kita sendiri, di Indonesia-Nusantara yang katanya tercinta dan kita cintai ini. Jujur saja, dan tak perlu tedeng aling-aling! Kalaupun kita selama ini menyuarakan, bahkan berteriak-teriak tentang Pancasila, maka teriakan yang lantang itu hanyalah kamuflase belaka. Artinya, dalam praktiknya Pancasila sebagai pijakan pandangan dan sikap hidup bangsa, dalam tataran real praktiknya, adalah Pancasila palsu, palsu dan palsu! Bapak sendiri, kan yang menyinggung tadi, dan belum menguap dari pembicaraan kita hari ini, bahwa aktualisasi Sila ke-4 sebagai satu dari the five of principles of nation building, yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, telah kita ingkari, dan justru tak berpendirian, dengan cara ikut-ikutan apa yang diterapkan oleh kalptalisme-liberalisme ataupun sosialisme-komunisme yang setali tiga uang itu, Pak Presiden yang masih saya hormati sebagai kepala negara yang akan berakhir pada 2024 nanti."

Presiden: "Ya, ya, ya, Mas ... Lantas, apa yang seharusnya saya lakukan sebagai wujud tanggung jawab saya sebagai kepala negara yang sudah tinggal menghitung hari akan segara berakhir, Mas?"

Saya: "Simpel saja, Pak Presiden. Saya tak perlu bertele-tele, karena pantang bagi saya untuk bersikap seperti itu. Bapak masih punya wewenang, Bapak masih punya kesempatan, dan tak ada kata terlambat bila kita mau memulai, better late than never ... Mari dimulai dari sekarang, tunggu apa lagi, mau kapan lagi? Sebelum nasi sudah menjadi bubur yang karena terpaku kaku pada kata 'telah terlanjur kepalang basah', dan selalu menunda-nunda. Sebelum Tuhan jadi murka atas komitmen bangsa ini, bahwa kemerdekaan yang kita capai ini adalah 'Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didiorongkan oleh keinginan luhur. Ingat, itu Pak Presiden! Sebelum Tuhan menjadi murka atas kelalaian kita yang telah nyata sebagai ingkar syukur nikmat atas anugerah karunia dari Yang Maha Kuasa, yakni pengingkaran kita terhadap sebuah komitmen luhur bangsa yang diridhai oleh Tuhan Yang Maha Esa ..."

Presiden: "Iya, paham saya, Mas. Langkah kongkret yang harus kita lakukan untuk saat ini apa? Beri saya masukan!"

Saya: "Baik, Pak Presiden. Segera panggil dan kumpulkan para tokoh yang mewakili kelompok, komunitas, profesi dan ahli masing-masing di seantero Indonesia_Nusantara, juga seluruh menteri dalam kabinet Bapak, untuk melakukan rembug nasional, musyawarah nasional dengan sebenar-benarnya dan sesunguh-sungguhnya. Dimana dalam musyawarah guna mencapai mufakat itu, sampaikan saja apa adanya, bahwa posisi, situasi dan kondisi bangsa ini adalah pada titik yang demikian mengenaskan, sebagai akibat dari kita telah mengingkari komitemen luhur bangsa yang telah diletakdasarkan oleh para pendahulu kita sejak merdeka sebagai bangsa yang dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, mari kita selamatkan bangsa dan negeri ini. Dan, mari dirumuskan jalan keluarnya, sebelum Tuhan menjadi murka atas sikap kita selama ini, yani menuju tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang seimbang di segala aspek kehidupannya. Itu saja, Pak Presiden ..."

Presiden: "Baiklah, akan segera saya tindaklanjuti, demi bangsa negeri ini agar terselamatkan dan terhindar dari murka Sang Ilahi ..."

Salam seimbang universal Indonesia_Nusantara ...

*****

Kota Malang, April di hari kedua puluh sembilan, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image