Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Suko Waspodo

Paradoks Keyakinan Eksternal dan Kesengsaraan Internal

Humaniora | 2024-05-08 08:21:38
Sumber gambar: Medium

Kepercayaan diri dan kekayaan mungkin menutupi kesengsaraan internal akibat tekanan masyarakat saat ini.

Poin-Poin Penting

· Keyakinan dapat menyembunyikan perjuangan kesehatan mental yang mendalam.

· Tekanan sosial dapat membuat generasi muda lebih rentan terhadap kecemasan dan ketidakpuasan.

· Penggunaan antidepresan telah melonjak, memperlihatkan ketergantungan yang berlebihan pada obat-obatan dan kesenjangan dalam perawatan komprehensif.

Usulan Carrie Fisher bahwa “mereka harus memberikan medali bersamaan dengan pemberian obat-obatan,” merangkum perjuangan yang kompleks dan sering kali tidak terlihat dari mereka yang hidup dengan penyakit mental. Sentimennya menunjukkan fakta bahwa orang-orang yang menjalani kehidupan dengan tantangan psikologis berhak mendapatkan pengakuan atas ketahanan mereka di tengah lingkungan yang keras dan menuntut. Meskipun pengobatan modern telah mencapai beberapa kemajuan dalam memahami dan mengobati penyakit mental, dan kesadaran masyarakat meningkat, kemajuan ini belum sepenuhnya meringankan perjuangan jutaan orang sehari-hari.

Tuntutan masyarakat modern yang serba cepat dan penuh tekanan menciptakan sebuah paradoks: Masyarakat diharapkan untuk menunjukkan rasa percaya diri, ketegasan, dan kekayaan, namun sering kali membawa beban internal berupa kesengsaraan, kecemasan, dan keraguan terhadap diri sendiri. Norma-norma dan harapan-harapan sosial memberikan penghargaan terhadap keberhasilan dan kepercayaan diri yang ditunjukkan secara eksternal, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk kerentanan atau realitas perjuangan kesehatan mental.

Meningkatnya Masalah Kesehatan Mental

Penyakit mental kini mendapat pengaruh dalam seni, film, dan sastra karena mencerminkan pengalaman hidup jutaan orang di seluruh dunia. Statistik terbaru menyoroti peningkatan penggunaan antidepresan yang mengejutkan sebesar 400% di AS, dengan sekitar 10% populasi kini bergantung pada obat-obatan ini dan Eropa juga mencerminkan pola ini. Namun, kurang dari sepertiga orang yang menggunakan antidepresan pernah menemui ahli kesehatan mental dalam satu tahun terakhir, yang tampaknya menunjukkan adanya kesenjangan serius dalam penyediaan layanan kesehatan mental yang komprehensif. Sayangnya tren ini tidak hanya mencerminkan ketergantungan yang berlebihan pada pengobatan tetapi juga perjuangan masyarakat yang lebih luas untuk mengatasi penyakit mental secara efektif dan holistik.

Disparitas yang Mencolok

Wanita berusia 40-an dan 50-an

Penggunaan antidepresan mencapai puncaknya sebesar 23% pada wanita dalam demografi ini, jauh melebihi kelompok usia lainnya. Prevalensi yang tinggi ini menunjukkan adanya tekanan unik yang dihadapi oleh perempuan paruh baya, kemungkinan terkait dengan tanggung jawab pengasuhan, tekanan karier, dan perubahan hormonal.

Disparitas Gender

Perempuan 2,5 kali lebih mungkin diberi resep antidepresan dibandingkan laki-laki, sehingga menunjukkan potensi perbedaan dalam perilaku mencari bantuan dan harapan masyarakat seputar ekspresi emosional.

Disparitas Ras

Orang kulit putih Amerika secara signifikan lebih mungkin menggunakan antidepresan (14%) dibandingkan dengan orang kulit hitam (4%) atau orang Meksiko Amerika (3%). Kesenjangan ini mungkin mencerminkan variasi sikap budaya terhadap kesehatan mental, aksesibilitas layanan, atau kesenjangan layanan kesehatan yang sistemik.

Dalam bukunya Generation Me, Jean Twenge menyatakan bahwa lingkungan sosial kontemporer memperburuk masalah kesehatan mental dan saya yakin hal ini benar. Meskipun generasi muda semakin percaya diri, tegas, dan tampak berhak, secara paradoks mereka justru mengalami peningkatan kecemasan, masalah hubungan, kurang tidur, dan masalah konsentrasi. Tekanan sosial seperti prestasi akademis, kerja berlebihan, tekanan media sosial, dan akses yang tidak memadai terhadap layanan kesehatan mental memperkuat perasaan rapuh dan ketidakpuasan di kalangan generasi muda dan juga sebagian populasi lanjut usia.

Mengejar kesuksesan lahiriah membuat banyak orang harus berjuang secara internal, karena norma-norma budaya juga tampaknya mengecilkan kerentanan sekaligus mendorong individu untuk mempertahankan penampilan kontrol dan kompetensi, yang terutama didasarkan pada keinginan untuk menghindari rasa malu atau bersalah karena merasa tidak mampu.

Perubahan Sosial dan Masyarakat yang Berpusat pada Diri Sendiri

Dunia kita yang semakin egois, terhubung secara digital namun terisolasi secara emosional telah memperburuk tantangan kesehatan mental dan beberapa perubahan sosial yang penting telah berkontribusi terhadap tren ini:

Mengubah Struktur Keluarga

Keluarga yang terfragmentasi, tingkat perceraian yang tinggi, dan jam kerja orang tua yang lebih panjang membuat beberapa anak tidak memiliki stabilitas keluarga yang erat.

Pergeseran Gaya Hidup

Meningkatnya mobilitas, ditambah dengan pencarian kepuasan pribadi, telah mengikis akar komunitas dan hubungan yang bermakna.

Kelebihan Teknologi

Prevalensi komputer, ponsel pintar, dan media sosial mendorong koneksi virtual dengan mengorbankan hubungan fisik yang mendukung.

Komersialisasi

Taktik pemasaran yang agresif, terutama terhadap anak-anak, memicu konsumerisme dan ekspektasi yang tidak realistis.

Perubahan Pendidikan

Fokus pada nilai dibandingkan pertumbuhan mendorong persaingan tidak sehat.

Solusi yang Kontradiktif

Banyaknya solusi kesehatan mental yang saling bertentangan menyebabkan kebingungan dan pengobatan yang tidak efektif.

Individualisme

Fokus yang tiada henti pada perbaikan diri menciptakan rasa tidak mampu dan membandingkan.

Ketergantungan yang berlebihan pada Obat

Meresepkan obat psikiatri secara berlebihan sering kali mengabaikan akar penyebab penderitaan.

Pahlawan dan Penjahat Kesehatan Mental

Narasi heroik yang sering digambarkan di media—dimana orang-orang mengalami transformasi dari depresi dan gagal menjadi sembuh dan sukses—terlalu menyederhanakan kenyataan. Meskipun antidepresan seperti Prozac dapat meredakan nyeri pada beberapa orang, efektivitasnya masih belum konsisten dan meningkatnya jumlah resep, terutama untuk anak-anak, masih mengkhawatirkan. Cerita tentang kesehatan mental juga semakin menjadi komoditas, sehingga menimbulkan ekspektasi yang tidak realistis dan sikap yang memberikan stigma. "Model medis", yang menganggap penyakit mental hanya disebabkan oleh faktor biologis, juga memperburuk stigma dan keputusasaan pada sebagian besar masalah. Sayangnya, pasien menginternalisasi narasi ini, merasa terisolasi dan tidak berdaya serta mengembangkan konsep diri dan gambaran kemampuan mereka yang semakin buruk, yang dapat menciptakan efek pemenuhan diri.

Dampak Pola Asuh

Pola asuh tampaknya menjadi salah satu kontributor permasalahan kesehatan mental di kalangan generasi muda. Orang tua yang terlalu protektif cenderung melindungi anak-anak mereka dari tantangan, sehingga menciptakan pedang bermata dua. Pesan kontradiktif kepada anak muda nampaknya kurang jelas dan seringkali disampaikan secara tidak sadar oleh orang tua di mana mereka tampak menyatakan dengan jelas dan terbuka bahwa “kamu bisa menjadi apa pun yang kamu inginkan,” namun kemudian perilaku yang ditunjukkan oleh orang tua tersebut membuat mereka ikut campur. memecahkan masalah anak-anak mereka, sehingga bertentangan dengan diri mereka sendiri, sehingga melemahkan kepercayaan diri dan kompetensi remaja, yang mengarah pada peningkatan rasa kerapuhan.

Efek yang merugikan mungkin termasuk:

· Anak-anak menerima imbalan apa pun upayanya, membuat mereka merasa istimewa tanpa akuntabilitas.

· Mereka percaya bahwa imbalan adalah hak mereka, yang sering kali menghasilkan hak dan harapan yang tidak realistis.

· Pola asuh yang berlebihan memperkuat ketergantungan, membuat mereka merasa tidak mampu mengatasi tantangan mereka sendiri.

Paradoks Kesehatan Mental

Dalam masyarakat yang semakin egois, individu menghadapi kekosongan psikologis. Penekanan pada kepuasan diri sendiri dan konsumsi telah mempersulit pencarian hubungan yang bermakna. Meningkatnya masalah perilaku, penyalahgunaan zat, gangguan makan, dan tindakan menyakiti diri sendiri mengungkap masalah sosial yang lebih dalam. Untuk meningkatkan kesehatan mental, kita harus menjauh dari budaya individualisme, narsisme, dan konsumerisme dan kita harus berupaya membina hubungan, meningkatkan keamanan emosional, dan mendorong ketahanan pada generasi muda yang akan membantu memutus siklus kerapuhan dan hak yang mereka rasakan saat ini. Dengan memahami kekuatan pribadi dan sosial yang membentuk kesehatan mental kita, kita dapat mulai membentuk jalan baru—jalan yang menghargai hubungan yang tulus, harga diri, dan komunitas dibandingkan materialisme dan validasi yang dangkal.

***

Solo, Rabu, 8 Mei 2024. 8:08 am

Suko Waspodo

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image