Fitur Like dan Comment : Ketika Validasi Menjadi Mata Uang Emosional
Edukasi | 2025-12-14 00:03:51
Pernahkah kamu merasa lega, bahagia, atau "cukup" setelah seseorang memberi komentar seperti "kamu hebat" atau "kerjamu bagus", atau ketika unggahanmu di media sosial mendapat banyak like dan respons positif? Namun ketika respons itu tidak muncul, perasaan nyaman itu perlahan hilang dan berubah menjadi kecemasan, keraguan, atau perasaan kurang. Jika kamu pernah merasakannya, kamu tidak sendirian, karena fenomena ini semakin banyak muncul terutama di era digital.
Validasi atau pengakuan dari orang lain adalah bagian dari kebutuhan sosial manusia. Kita ingin merasa diterima, dihargai, dan dilihat. Namun ketika media sosial hadir dalam keseharian, bentuk validasi pun ikut berubah. Like, comment, dan interaksi digital menjadi semacam tolok ukur nilai diri, seperti mata uang emosional yang menentukan bagaimana seseorang menilai dirinya sendiri.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa ketergantungan pada validasi digital ini dapat berdampak pada kesehatan mental. Penelitian berjudul Impact of Social Media and Self-Esteem on Young Adults: The Mediating Role of Resilience and Emotional Quotient oleh Meenakshi, Srivastava, Dhanoa, dan Singh (2025) menemukan bahwa semakin intens seseorang menggunakan media sosial, terutama ketika penggunaannya melibatkan perbandingan sosial, semakin rendah tingkat harga diri yang mereka laporkan. Penelitian terhadap 200 partisipan usia 18–25 tahun ini menunjukkan korelasi negatif yang signifikan secara statistik (p .001), menunjukkan bahwa fenomena tersebut bukan kebetulan, meskipun variabel seperti resiliensi dan kecerdasan emosional juga memengaruhi hasil.
Temuan lain dari Colak, Bingol, dan Dayi (2023) yang berjudul Self-Esteem and Social Media Addiction Level in Adolescents: The Mediating Role of Body Image menunjukkan pola yang serupa pada remaja usia 13 — 17 tahun. Semakin tinggi tingkat kecanduan media sosial, semakin rendah laporan harga diri yang diberikan remaja dalam penelitian ini.
Efek negatif tidak hanya berhenti di harga diri. Penelitian oleh Agustina dan Wardhani (2025) menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas penggunaan media sosial, semakin besar kecenderungan seseorang mengalami kecemasan, depresi, dan penurunan kesejahteraan psikologis. Dalam kondisi ini, validasi yang awalnya menjadi bentuk apresiasi berubah menjadi kebutuhan emosional yang tidak stabil. Kehadiran respons positif dapat membuat seseorang merasa berharga, tetapi ketiadaannya dapat menciptakan kekosongan emosional.
Media sosial seringkali menampilkan kehidupan secara selektif melalui pencapaian, visual yang menarik, dan momen yang sudah dipilih. Ketika realita pribadi dibandingkan dengan "versi terbaik" orang lain, tanpa sadar seseorang mulai menilai diri melalui standar eksternal yang tidak realistis. Pada akhirnya, validasi eksternal terasa lebih penting dibanding penerimaan diri.
Meski begitu, validasi eksternal tidak selalu berbahaya. Pujian tulus, dukungan emosional, dan apresiasi sehat tetap memiliki fungsi positif, seperti meningkatkan motivasi, memperkuat koneksi sosial, dan menumbuhkan rasa diterima. Tantangan muncul ketika validasi eksternal menjadi satu-satunya sumber nilai diri.
Untuk menjaga keseimbangan, proses membangun validasi internal menjadi penting. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1. Mengapresiasi proses dan usaha diri sendiri, bukan hanya hasil atau respons orang lain.
2. Mengurangi ketergantungan pada jumlah like atau comment sebagai tolok ukur harga diri, misalnya dengan membatasi waktu penggunaan media sosial.
3. Meningkatkan kesadaran diri bahwa identitas dan nilai diri berasal dari penerimaan diri, bukan dari penilaian eksternal.
4. Mengembangkan kecerdasan emosional agar mampu menghadapi tekanan sosial tanpa kehilangan rasa percaya diri.
Pada akhirnya, validasi dapat menjadi bentuk apresiasi yang menyenangkan, tetapi tidak seharusnya menjadi fondasi harga diri. Nilai diri yang sejati tumbuh dari dalam, bukan dari jumlah interaksi digital yang terlihat di layar. Sebelum menunggu tepuk tangan dari luar, penting untuk mampu mengatakan pada diri sendiri:
"Aku sudah cukup."
Daftar Referensi:
Agustina, T., & Wardhani, D. R. K. (2025). The Influence of Social Media Usage Intensity on Adolescent Mental Health: A Case Study in Indonesia.
Colak, M., Bingol, O. S., & Dayi, A. (2023). Self-esteem and social media addiction level in adolescents: The mediating role of body image.
Meenakshi, Srivastava, K., Dhanoa, S. K., & Singh, L. K. (2025). Impact of social media and self-esteem on young adults: The mediating role of resilience and emotional quotient.
Tentang Penulis :
Hasya Mardiyah Kosasih yang merupakan mahasiswa psikologi Universitas Airlangga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
