Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image liyanarm

Digital Intimacy: Ketika Fiksi Menyentuh dan Mengombang-Ambingkan Realitas

Drama | 2025-12-11 05:47:31

Di era yang semakin terkoneksi, keintiman tidak lagi terbatas pada tatap muka atau sentuhan fisik. Bagi banyak Gen Z, layar ponsel dan notifikasi menjadi “panggung” utama untuk merasakan kedekatan emosional, mengekspresikan perasaan, dan membangun hubungan baik persahabatan maupun cinta. Fenomena ini dikenal sebagai digital intimacy, yaitu interaksi daring tidak sekadar pelengkap komunikasi, tetapi sering menjadi inti dari relasi sehari-haSum

Sumber: Netflix_Drama Love Alarm

Berbeda dengan relasi tradisional, digital intimacy memberi ruang bagi ekspresi diri, terutama bagi mereka yang cemas atau kurang nyaman dengan kontak langsung. Namun, kedekatan melalui chat dan media sosial juga menghadirkan paradoks: intens dan terasa nyata, tetapi sekaligus rapuh dan mudah pudar ketika notifikasi berhenti. Fenomena ini membuka perbincangan menarik tentang bagaimana Gen Z membentuk hubungan, merawat emosi, dan menghadapi risiko psikologis dari dunia digital.

Digital Natives: Gen Z dan Relasi Digital

Gen Z tumbuh bersama internet, smartphone, dan media sosial, menyaksikan komunikasi bergeser dari tatap muka ke layar. Teknologi mempermudah interaksi, tetapi juga membawa tantangan psikologis. Sebuah studi di Yogyakarta menemukan bahwa dalam hubungan romantis, komunikasi melalui media sosial menjadi “bahasa cinta” baru, di mana ekspresi kasih sayang, perhatian, dan keterbukaan diwujudkan lewat pesan, emoji, story, atau reaksi online (Ully & Astari, 2025). Namun, kompleksitas muncul ketika interaksi digital menghadapi isu seperti privasi, ketidakjelasan komitmen, dan tekanan sosial dari platform daring (Lailia et al., 2025). Tidak hanya dalam hubungan romantis, digital intimacy juga memengaruhi persahabatan dan relasi sosial lain, bahkan dapat memengaruhi kesehatan mental.

Keuntungan dan Risiko Psikologis

Keuntungan:

 

  • Ruang ekspresi dan koneksi: Media daring memberi Gen Z kesempatan mengekspresikan diri, curhat, berbagi pemikiran, membangun identitas, dan menjalin relasi, termasuk dengan orang yang jauh secara geografis.

 

  • Fleksibilitas komunikasi: Digital intimacy memungkinkan koneksi kapan saja dan di mana saja, menjaga hubungan meski sibuk atau berjauhan.

Risiko dan tantangan:

  • Kedekatan semu: Intensitas chat atau interaksi online bisa memberikan perasaan dekat, tetapi belum tentu diiringi keintiman nyata. Pasangan yang bertemu lewat internet dilaporkan memiliki tingkat kepuasan dan cinta lebih rendah dibanding yang bertemu offline (Finkel et al., 2025).
  • Kecemasan emosional dan ketergantungan: Penggunaan aplikasi kencan atau media sosial untuk mencari keintiman dapat memicu kecemasan, rasa tidak aman, dan overthinking, terutama jika intensitas interaksi tidak diimbangi kejelasan komitmen (Gao et al., 2024).
  • Isolasi dan penurunan kualitas relasi nyata: Ketergantungan pada dunia maya bisa mengurangi interaksi fisik dan sosial nyata, berdampak pada kesejahteraan psikologis jangka panjang (Rinaldi et al., 2025).

Secara psikologis, digital intimacy tidak selalu dapat menggantikan kompleksitas relasi langsung, seperti kepekaan terhadap bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan kehadiran fisik, yang membentuk rasa aman, empati, dan kepercayaan.

Cerminan Nyata: Love Alarm

Drama Korea Love Alarm menghadirkan dunia di mana sebuah aplikasi memberi tahu pengguna jika seseorang di dekat mereka menyukai mereka. Premis ini memvisualisasikan digital intimacy secara ekstrem: cinta bisa “terdeteksi” melalui notifikasi, dan koneksi emosional seolah terukur. Karakter-karakter drama ini menghadapi dilema yang akrab bagi Gen Z: mendambakan keintiman tetapi takut kerentanan.

Menurut saya, Love Alarm menarik karena menyoroti paradoks digital intimacy. Teknologi memudahkan kita mengetahui perasaan orang lain, namun pengalaman emosional bisa menjadi lebih dangkal. Banyak penonton merasa “terlindungi” oleh notifikasi digital, padahal hal ini berpotensi menunda pembelajaran keintiman sejati, keberanian membuka diri, dan menerima ketidakpastian dalam hubungan nyata. Aplikasi mungkin mempertemukan orang, tetapi tidak bisa menggantikan kedalaman interaksi langsung.

Menyikapi Digital Intimacy dengan Bijak

Memahami fenomena digital intimacy bukan berarti menolaknya, tetapi mengenali potensi dan batasannya:

  1. Menyeimbangkan interaksi daring dan dunia nyata: Media sosial menjadi pelengkap, bukan pengganti komunikasi langsung. Keintiman sejati tumbuh dari kehadiran fisik, gestur, dan interaksi nyata.
  2. Sadar diri dan reflektif terhadap ekspektasi: Intensitas chat atau notifikasi tidak selalu indikator rasa. Jangan mudah menyamakan “sering ngobrol online” dengan “hubungan serius”.
  3. Bangun literasi emosional dan digital: Kenali konsekuensi psikologis interaksi daring, termasuk kecemasan, FOMO, atau ketergantungan pada validasi digital.
  4. Komunikasi terbuka dan kejujuran: Relasi memerlukan keterbukaan, kejelasan komitmen, dan pemahaman bersama. Tanpa ini, keintiman bisa rapuh.

Secara keseluruhan, digital intimacy menawarkan cara baru bagi Gen Z membangun hubungan dan mengekspresikan diri, tetapi juga membawa risiko seperti kedekatan semu, kecemasan, dan isolasi sosial. Drama seperti Love Alarm menjadi refleksi nyata: teknologi memudahkan koneksi, tetapi keintiman sejati tetap memerlukan interaksi langsung, keberanian membuka diri, dan empati. Menyadari batas dan potensi dunia digital memungkinkan Gen Z menikmati kemudahan teknologi tanpa kehilangan kedalaman relasi manusia.

Referensi

 

  • Negotiating love languages in digital romantic relationships: A phenomenological study of Generation Z couples in Yogyakarta. 
  • Pola komunikasi melalui aplikasi dating online dalam hubungan percintaan generasi Z. 
  • Meeting partners online is related to lower relationship satisfaction and love: Data from 50 countries
  • Online dating apps and the association with emotional reactions 
  • Loneliness as a moderator of partner phubbing and marital satisfaction.

Tertanda,

Liyana Rofizah Mumtaz
Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga 2025.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image