Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Totok Siswantara

Koalisi Besar, Antara David dan Goliath

Politik | Tuesday, 04 Apr 2023, 09:36 WIB

Koalisi besar untuk menghadapi Pemilu 2024 akhir-akhir digembar-gemborkan oleh elit parpol. Apakah koalisi besar itu bisa terwujud ? Atau hanya sebatas retorika koalisasi besar mulut semata. Praktik koalisi parpol di negeri ini masih semu dan amorfik alias tidak berbentuk. Koalisi yang terjadi selama ini hanya sebatas kulitnya, bukan kuning telurnya. Jika ada istilah koalisi partai penguasa, itupun kenntal dengan kepentingan praktis tanpa landasan ideologi dan visi. Yang tampak dimata publik hanyalah bagi-bagi kekuasaan.

Menurut nilai tradisi keIndonesiaan yang telah membumi berabad-abad, esensi koalisi adalah "holopis kuntul baris" yang identik dengan prilaku gotong royong ajaran nenek moyang negeri ini yang telah diformulasikan secara ideologis oleh Bung Karno. Koalisi mesti tulus memikul beban bersama, menikmati bersama secara murah meriah dan guyup seperti nikmatnya santap menu rakyat nasi liwet.

Koalisi nasi liwet adalah koalisi rakyat yang bermaksud memilih sosok pemimpin yang berkarakter walk the talk alias satunya kata dengan perbuatan. Karakter tersebut akan memperhebat jiwa gotong royong. Gotong-royong yang telah digali oleh para founding father bangsa Indonesia menggambarkan satu usaha, satu amal, satu karya, satu gawe.

Menurut Bung Karno gotong-royong merupakan pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua. Namun begitu, gotong-royong bukanlah sesuatu yang sudah jadi atau given. Gotong-royong memerlukan rekayasa dan pranata sosial yang sesuai dengan kemajuan zaman.

Ada model koalisi yang disodorkan sarat nafsu kemenangan dan kurang substansial bagi perjalanan bangsa. Akibatnya efektifitas pemerintahan baru nantinya sulit terwujud. Negeri ini bisa jadi akan terpelosok kembali dalam situasi dimana kepemimpinan nasional sibuk mengakomodasikan tuntutan sektarian elit parpol pendukungnya.

Sejak reformasi, kepemimpinan nasional di negeri ini penuh dengan hiruk pikuk dagang sapi. Padahal, sejarah telah menunjukkan bahwa memimpin itu sepi. Karena semua tanggung jawab akan berhenti di tangannya. Namun, dalam kesepian itu dirinya bisa lebih efektif menyelesaikan pilihan yang sulit serta menghasilkan kerja detail sebaik mungkin bagi negerinya. Sungguh menyedihkan jika para pemimpin di negeri ini tidak bisa mengatasi kesepian politik.

Padahal, kerja detail berteman sepi dan mencari solusi jitu menghadapi ekonomi dunia yang flutuatif merupakan prestasi dan bisa membuahkan simpati rakyat.Acap kali kondisi pemerintahan diwarnai oleh ketidakefektifan. Dengan mata telanjang rakyat menyaksikan para pejabat di negeri ini sering terlihat letih lesu akibat beban kerja di rumah dan di markas partai, bukan karena beban kerja resmi yang menjadi tanggung jawab jabatannya.Keterlibatan langsung anggota kabinet serta para kepala daerah dalam tarik menarik dan dagang sapi politik dalam Pemilu atau Pilkada justru membuat pemerintahan dalam berbagai tingkatan kehilangan efektivitasnya.

Bisa berakibat negeri ini tenggelam dalam situasi disinfluencing. Dalam persaingan global sekarang ini pemimpin pemerintahan mestinya sekuat daya mencegah hal-hal yang mengakibatkan situasi disinfluencing. Situasi itu dalam bahasa sederhana berarti kegagalan memberikan motivasi kebangsaan menghadapi masalah pelik. Serta memburuknya komunikasi yang tulus dengan rakyat yang sedang frustrasi.

Koalisi besar parpol tidak serta merta bisa memenangkan pemilu. Justru sebaliknya. Sejarah mencatat bahwa Pilkada DKI menunjukkan bahwa faktor kreativitas dan inovasi menjadi sangat penting untuk memenangkan pertarungan politik melawan koalisi besar. Faktor itu bisa mengalahkan kinerja mesin parpol.

Saat itu dalam Pilkada DKI, kubu Jokowi-Ahok berhasil membuat kesan bahwa dirinya merupakan koalisi nasi liwet alias koalisi rakyat, ibarat semut melawan gajah. Esensi koalisi rakyat itulah yang menstimulir timbulnya pasar Ideagora. Pasar itu semakin membesar berkat pemberitaan media masa dan jejaring sosial. Hakekat pasar Ideagora sesuai dengan teori Alexander Bard dalam bukunya yang berjudul “Netocracy : The New Power Elite and Life After Capitalism”. Yang pada prinsipnya telah terjadi proses transformasi demokrasi menuju kekuasaan jaringan atau netokrasi.

Saat Pilkada DKI, bisa diibaratkan pertarungan politik yang dianalogikan sebagai pertarungan antara David dan Goliath. Pasangan Jokowi-Ahok lebih pandai memerankan dirinya sebagai sosok David. Hal itu terlihat dengan bentuk kampanye yang sederhana namun faktor kekuatan perhatian publik bisa diwujudkan. Pasangan Jokowi-Ahok paling gencar melakukan tatap muka dan jabat tangan di pasar tradisional yang becek dan pemukiman kumuh. Hal itu cocok dengan teori mantan Presiden USA Lyndon Johnson yang mengatakan bahwa sekali jabat tangan yang tulus bernilai ratusan hingga ribuan suara. Dalam konteks marketing politik kontemporer, sosok David adalah sosok yang rendah hati, memiliki pesona, solusi dan mimpi masa depan yang kuat. Yang pada gilirannya sosok itu mampu mengakselerasi kehidupan rakyat menuju keadilan sosial.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image