Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Afidah Nur Aslamah, S.Pd, AWP

Perseteruan AS-Arab Saudi : Konflik Geopolitik Pemicu Tekanan Resesi

Politik | Tuesday, 25 Oct 2022, 12:22 WIB
Ilustrasi Produksi Minyak Dunia, Sumber: Pexels.com

Dunia belum benar-benar tuntas menyimak perkembangan kasus perang Rusia-Ukraina, kali ini muncul ketegangan antara Amerika dan Arab Saudi. Ketegangan terjadi akibat keputusan OPEC+ yang ingin mengurangi produksi minyak dua juta barel per hari mulai November mendatang. Pada awal September, OPEC+ mengumumkan pengurangan produksi 100 ribu barel per hari untuk Oktober untuk mendongkrak harga.

Selanjutnya, indeks dolar yang turun selama empat hari berturut-turut pada awal pekan ini dapat mengerek permintaan minyak dan mendukung harga. Harga minyak sempat tertekan beberapa waktu terakhir di tengah kekhawatiran akan kebijakan agresif bank-bank sentral utama demi menekan inflasi. Kondisi itu meningkatkan risiko resesi dan bisa menekan permintaan bahan bakar.

Ternyata, pemangkasan produksi minyak tersebut kian ditambah menuju November 2022. Pengurangan tersebut setara dengan sekitar 2% dari permintaan minyak global, yang akan mulai berlaku pada November 2022. Dalam sebuah pernyataan, OPEC+ menjelaskan bahwa keputusan untuk memangkas produksi minyak dilakukan "mengingat ketidakpastian yang mengelilingi prospek ekonomi dan pasar minyak global".

Menyusul berita pemangkasan produksi, harga minyak mentah Brent naik 1,5 persen menjadi lebih dari USD 93 per barel, menambah keuntungan menjelang pertemuan para menteri perminyakan dunia. OPEC dan sekutunya, yang mengendalikan lebih dari 40 persen produksi minyak dunia, berharap untuk mencegah penurunan permintaan barel mereka dari perlambatan ekonomi yang tajam di China, Amerika Serikat dan Eropa.

Keputusan ini dirancang untuk memacu pemulihan harga minyak mentah, yang telah turun menjadi sekitar US$ 80 per barel, padahal harganya sempat mencapai US$ 120 per barel pada awal Juni. Hal ini pun membuat AS kecewa. AS mengatakan Arab Saudi tidak memikirkan efek jangka panjangnya, terutama bagi negara berpenghasilan rendah dan menengah. Terlebih, tingkat inflasi sejumlah negara mengalami kenaikan akibat harga energi. Di mana AS mencatat inflasi mendekati level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Kekecewaan AS terhadap sikap itu tidak datang secara tiba-tiba. Negeri itu telah berkali-kali meminta agar produksi minyak digenjot untuk mengatasi krisis energi dan menurunkan harganya di hilir.

Sejumlah spekulasi adanya kolusi antara Arab Saudi dan Rusia pun muncul. Rusia diketahui sebagai salah satu pentolan di OPEC+. Senat AS sempat mengatakan menginginkan sanksi ke kerajaan itu. Termasuk menyetop penjualan senjata.

"Amerika seharusnya tidak memberikan kendali tak terbatas atas sistem pertahanan strategis seperti itu kepada sekutu musuh terbesar kita, pemeras bom nuklir (Presiden Rusia) Vladimir Putin," tegas senator AS Richard Blumenthal dan anggota Kongres Ro Khanna yang ditulis media Politico.

"Tidak akan memberi lampu hijau kerjasama dengan Riyadh sampai kerajaan menilai kembali posisinya sehubungan dengan perang di Ukraina," ungkap Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat Bob Menendez.

Merespon persepsi negatif tersebut, Riyadh menegaskan tak ada motif politik dalam keputusan OPEC+ dan murni karena faktor ekonomi. Negara OPEC lain yakni Uni Emirat Arab (UEA) juga mengatakan pemotongan murni persetujuan semua anggota.

"Saya ingin mengklarifikasi bahwa keputusan OPEC+ terbaru, yang disetujui dengan suara bulat, adalah keputusan teknis murni, tanpa niat politik apa pun," terang Menteri Energi UEA Suhail al-Mazrouei, dalam akun Twitter resmi yang dikutip Reuters.

Komentarnya sendiri mengikuti pernyataan dari pemasar minyak negara Irak SOMO. Lembaga Baghdad itu mengungkapkan bahwa manuver ini diperlukan untuk menjaga stabilitas energi.

"Ada konsensus lengkap di antara negara-negara OPEC+ bahwa pendekatan terbaik dalam menghadapi kondisi pasar minyak selama periode ketidakpastian dan ketidakjelasan saat ini adalah pendekatan pre-emptive yang mendukung stabilitas pasar dan memberikan panduan yang diperlukan untuk masa depan," bunyi pernyataan itu.

Negara OPEC+ lainnya seperti Oman dan Bahrain turut menghargai keputusan tersebut sebagaimana pernyataan Menteri Energi Aljazair Mohamed Arkab yang menyebut keputusan OPEC+ bersejarah. Ia dan Sekretaris Jenderal OPEC Haitham Al Ghais, yang mengunjungi Aljazair, mengungkapkan kepercayaan penuh terhadap keputusan itu.

Di lain sisi, beberapa analis mengatakan volatilitas di pasar minyak mentah bisa diatasi dengan pemangkasan produksi yang bakal membantu menarik investor ke pasar yang berkinerja buruk.

Faktor geopolitik dalam konflik AS-Arab Saudi digadang-gadang menjadi salah satu pemicu resesi global. Apabila kekecewaan AS terus berlarut-larut dengan memberikan sanksi pembatasan penjualan senjata seiring dengan pembatasan produksi minyak mentah, kehadiran resesi bagi negara-negara kecil dan menengah semakin didepan mata. Kekuatan diplomasi perlu ditingkatkan kembali dengan strategi yang menawarkan win-win solution bagi kedua pihak. Mau bagaimanapun kedua negara tersebutlah yang berperan penting sebagai poros penentu arah gerak perekonomian global saling membutuhkan satu sama lain.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image