Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Kalau Laki-laki Vs Perempuan Bertengkar, Siapa Pemenangnya?

Curhat | Monday, 08 Nov 2021, 09:58 WIB
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/bertengkar-dalam-pacaran-ilustrasi-_120710152301-776.jpg

Apapun jenis kelamin Anda, mari kita berspekulasi. Bayangkan di hadapan kita ada sepasang suami istri atau sepasang kekasih tengah bertengkar, mereka terlibat perdebatan hebat: perang kata-kata, kira-kira siapa yang akan memenangkan pertarungan? Saya khawatir, Anda semua kompak berkoor: Pasti perempuan yang menang! Apa pasalnya?

Lalu sebuah pameo popular pun akan diajukan sebagai jawaban. Pertama, perempuan pasti benar. Kedua, perempuan tidak pernah salah. Ketiga, kalau naga-naganya perempuan agak-agak salah dikit, maka kembalikan ke pasal pertama dan kedua. Atau kalaupun keduanya sama-sama salah, maka jawaban terburuk yang bisa memenuhi ambang batas (passing grade) mungkin berbunyi: kesalahan perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki.

Saya tidak bisa memastikan benar tidaknya pameo semacam ini. Atau kalau relasi laki-laki dan perempuan digambarkan sebagai persaingan kuasa sebagaimana bahasa kaum feminis, mungkin saja pameo tersebut adalah bagian dari narasi yang dimainkan kaum hawa untuk dianggap kuat. Entahlah, kadang dunia ilmu sosial bisa sedemikian ribetnya memberikan penjelasan soal gejala sosial seremeh apapun.

Dari studi gender, kita diberi tahu bahwa relasi laki-laki dan perempuan secara historis tak pernah setara dan ketidaksetaraan itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan hasil dari konstruksi sosial sepanjang sejarah peradaban manusia. Perempuan dianggap lemah, fisik maupun kecerdasannya, sehingga ditempatkan sebagai warga negara kelas dua. Perempuan cukup mengambil peran domestik (atau sebut saja dapur, sumur, kasur), sementara peran publik adalah dunianya laki-laki. Kaum laki-laki dianggap lebih kuat dan cerdas dibanding perempuan untuk bisa mengambil peran kepemimpinan di ruang publik. Sementara perempuan, secerdas apapun mereka, tetap saja dianggap lebih didominasi aspek emosionalnya dalam mengambil keputusan.

Intinya, perempuan dianggap makhluk lemah. Para penganut feminisme mengimani bahwa relasi laki-laki dan perempuan selamanya adalah perang perebutan kuasa yang masih dimenangi dunia lelaki. Pandangan yang lebih ekstrem menyebut kekalahan perempuan dalam relasi kuasa ini berpangkal dari balik ranjang, yakni ketika tubuh laki-laki berada di atas tubuh perempuan. Hahaha, dulu saya sering ketawa kalau membaca uraian semacam ini. Bukan soal saru tidak saru, tetapi seperti tembang yang dimainkan penuh vibra oleh Afgan: Terlalu sadis caramu.

Kenapa? Pertama, tentu saja zaman berubah sepaket dengan kesadaran manusia atas lingkungan alam dan sosialnya yang juga mengalami pergeseran. Meski mungkin belum benar-benar setara (ingat, setara ya, bukan sama), faktanya dunia telah memberi akses lebih luas bagi kaum perempuan untuk berkiprah. Anak-anak kita juga tidak terlampau kesulitan seandainya diminta menyebutkan tokoh-tokoh inspiratif perempuan saat ini.

Kedua, mari kembali pada pameo “perempuan yang selalu benar”. Misal suatu waktu istri Anda melakukan kesalahan dan Anda berniat memarahinya. Saya yakin Anda akan menyiapkan argument sebaik mungkin untuk meyakinkan bahwa istri Anda memang salah. Optimis logika Anda akan memenangi sidang dengan agenda dakwaan terhadap istri. Tetapi saat benar-benar sudah di hadapan istri, bisa jadi sederet narasi logis itu akan kalah dengan satu senjata pamungkas perempuan: tangisan. Mungkin kalau tangisan itu masih di fase awal, sesenggukan, Anda masih bisa membacakan dakwaan. Tetapi begitu tangisnya pecah dan mengeluarkan suara, saya yakin para suami mendadak melandaikan intonasi suara, lalu perlahan tapi pasti menyingkat pembicaraan. Puncaknya adalah saat tangis itu menjelma histeris dan istri Anda mengaum bak singa, maka langkah paling realistis adalah tutu mulutmu wahau suami! Dan endingnya bisa berupa pelukan suami yang mendarat di tubuh istrinya. Sambil mem- puk puk punggung atau membelai rambutnya, keluarlah bendera putih suami: Maafkan Ayah ya Mah, maaf kalau Ayah terlalu keras. Lalu kepala kita mendadak mengeja-eja pameo lainnya: apapun salah perempuan, laki-laki lah yang harus minta maaf. Perang Baratayuda pun berakhir ambyar.

Tentu saja tidak melulu seperti itu endingnya. Dalam beberapa kasus, karena kemarahan suami yang sudah kumulatif, maka dia ogah meminta maaf. Tetapi langkah yang mungkin hanyalah Anda pergi meninggalkan istri yang menangis, lalu setelahnya memilih perang dingin sekian waktu.

Terakhir, kenapa kita hanya mengenal istilah suami takut istri? Saya yakin praktiknya tidak sedikit istri yang amat takut dengan suaminya, tetapi tetap saja istilah ikatan istri takut suami tidak pernah popular.

Tetapi kalau Anda ditakdirkan memiliki istri yang cerewet dan superior, pun jangan berkecil hati. Karena pemimpin sehebat Umar bin Khatab juga mengalaminya. Dan kabar gembiranya untuk Anda, memiliki istri yang galak konon melapangkan jalan ke surga. Begitu keterangan yang pernah saya dengar dari seorang pimpinan pesantren di Jawa Timur. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image