Red Strings dan Jodoh: Ketika Intuisi Kita Salah Membaca Sinyal
Rubrik | 2025-12-19 12:08:07
Anda mungkin pernah mendengar kisah mengenai “red string” atau benang merah tak kasat mata yang diyakini menghubungkan dua orang yang berjodoh. Belakangan ini, media sosial penuh dengan cerita-cerita serupa. Cerita tentang pertemuan yang terasa kebetulan, rasa “klik” pada pertemuan pertama, hingga kebetulan-kebetulan kecil yang dianggap sebagai sinyal dari semesta. Romantis memang, terutama ketika semuanya terlihat seperti bagian dari takdir.
Namun, menurut sudut pandang Ilmu Psikologi, pengalaman ini bisa dipahami tanpa perlu melibatkan hal-hal mistis. Myers dan Dewall (2015) menjelaskan bahwa manusia punya dua cara berpikir, yaitu cara berpikir intuitif yang cepat dan otomatis, serta cara berpikir lambat dan terkontrol. Ketika bertemu seseorang yang terasa menarik, biasanya otak kita menggunakan cara berpikir intuitif. Cara berpikir ini terbentuk dari pola-pola lama yang sudah kita alami sebelumnya, seperti memori tentang orang-orang yang pernah kita sukai. Itulah sebabnya kita langsung merasa “klik” dengan orang tersebut. Bukan karena garis takdir, melainkan karena otak memproses sesuatu dengan cepat, bahkan sebelum kita sempat menyadarinya.
Masalahnya, intuisi yang tidak dipertimbangkan lebih dahulu bisa menuntun kita pada bias. Salah satunya adalah confirmation bias, dimana kita hanya memperhatikan hal-hal kecil yang terlihat seperti ‘tanda istimewa’, tapi mengabaikan tanda bahaya. Selain confirmation bias, memungkinkan juga terjadi representativeness heuristic, yaitu kecenderungan kita menyimpulkan seseorang sebagai sosok yang “ideal” atau “cocok” hanya karena sesuai dengan gambaran pasangan idaman kita. Tanpa disadari, kedua bias ini membuat kita terjebak dalam hubungan yang terburu-buru, irasional, atau bahkan berbahaya.
Untungnya, Psikologi tidak hanya menjelaskan penyebabnya, tetapi juga memberikan tips untuk menggunakan intuisi secara bijak. Salah satunya melalui pendekatan dua langkah yang dikemukakan oleh Kahneman (2011). Biarkan intuisi memberikan kesan awal, lalu verifikasi melalui refleksi rasional. Refleksi ini dapat dilakukan dengan menuliskan pengalaman atau dinamika relasi yang kita jalani. Catat apa yang terjadi, bagaimana perasaan kita, dan hubungan seperti apa yang kita butuhkan. Selain itu, memiliki konsep diri yang kuat dapat membantu membedakan kesenangan sementara dari kecocokan jangka panjang.
Dengan memahami cara kerja otak, kita dapat melihat rasa “klik” bukan sebagai takdir mutlak, tetapi sebagai reaksi kognitif yang wajar. “Red string” mungkin tetap ada, tetapi lebih sebagai rangkaian pengalaman, preferensi dan pola pikir yang membentuk cara kita merasa terhubung. Pada akhirnya, hubungan yang sehat tidak lahir dari kebetulan dramatis, melainkan dari kesadaran, pilihan yang matang dan hubungan yang dibangun perlahan. Jadi, ketika anda merasa seolah semesta memberi sinyal, mungkin itu saat yang tepat untuk berhenti sejenak dan menilai dengan kepala dingin, karena justru di sanalah awal hubungan lebih baik bisa di mulai.
Artikel ini dituliskan secara bersama dan merupakan hasil diskusi antara Prof. Dr. Wilis Srisayekti, Psikolog; Bunga Alodia Isfara, S.Psi; dan Dirta Wardatul Ula, S.Psi dari Program Magister Psikologi Universitas Padjadjaran.
Sumber
Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. Farrar, Straus and Giroux.
Myers, D. G., & Dewall, C. N. (2015). Psychology (11th ed.). Worth Publishers.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
