Gender dalam Bahasa: Jejak Ketimpangan yang Sering Dianggap Wajar
Humaniora | 2025-12-22 00:20:27
Bahasa kerap dipahami sekadar sebagai alat komunikasi yang netral dan objektif. Kita menggunakannya setiap hari tanpa banyak bertanya dari mana makna dan nilai yang dikandungnya berasal. Namun, jika dicermati lebih jauh, bahasa sesungguhnya tidak pernah benar-benar bebas nilai. Di dalamnya tersimpan cara pandang masyarakat, termasuk cara memaknai relasi antara laki-laki dan perempuan.
Dalam kajian linguistik gender, bahasa tidak hanya berfungsi menyampaikan pesan, tetapi juga membentuk persepsi sosial. Melalui pilihan kata, intonasi, dan gaya bertutur, bahasa merefleksikan norma, harapan, serta pembagian peran gender yang hidup di masyarakat.
Pelabelan Gender dalam Bahasa Sehari-hari
Perbedaan gender sering kali tampak jelas dalam pelabelan bahasa. Perempuan yang berbicara lugas dan tegas kerap disebut “emosional” atau “terlalu perasa”, sementara laki-laki dengan perilaku serupa justru dipandang “rasional” dan “berwibawa”. Dalam banyak situasi, penilaian tersebut tidak didasarkan pada isi tuturannya, melainkan pada siapa yang berbicara.
Bahasa, dalam hal ini, tidak sekadar mendeskripsikan realitas, tetapi memberi penilaian. Pelabelan yang berulang kemudian membentuk cara pandang kolektif tentang bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki bersikap di ruang sosial.
Maskulinitas sebagai Standar Bahasa
Dalam praktik berbahasa, maskulinitas kerap menjadi ukuran umum yang tidak disadari. Istilah seperti “pemimpin”, “tokoh masyarakat”, atau “ilmuwan” sering diasumsikan merujuk pada laki-laki. Ketika perempuan menduduki posisi tersebut, muncul penanda tambahan: “pemimpin perempuan” atau “ilmuwan perempuan”.
Penanda ini tampak sederhana, tetapi mengandung makna simbolik yang kuat. Ia menempatkan laki-laki sebagai norma, sementara perempuan sebagai pengecualian. Bahasa dengan demikian ikut mencerminkan ketimpangan representasi gender di ruang publik.
Bahasa dan Gender dalam Praktik Pelayanan Publik
Perbedaan bahasa pria dan wanita juga dapat diamati secara nyata dalam konteks pelayanan publik. Studi kasus sederhana dapat dilihat pada interaksi antara staf dan pelanggan di gerai ritel modern seperti Indomaret Fresh.
Dalam situasi pelayanan, staf pria cenderung menggunakan bahasa yang singkat, langsung, dan berorientasi pada efisiensi. Ungkapan seperti “Barangnya ada di rak belakang” atau “Silakan langsung ke kasir” dianggap cukup untuk menyampaikan informasi yang dibutuhkan pelanggan.
Sebaliknya, staf wanita lebih sering menggunakan bahasa yang bersifat ramah dan solutif, seperti “Mohon ditunggu sebentar, saya bantu cek ya” atau “Kalau produk ini sedang kosong, boleh saya rekomendasikan yang lain?”. Bahasa tidak hanya berfungsi menyampaikan informasi, tetapi juga membangun kenyamanan dan kepercayaan.
Perbedaan gaya bahasa ini kerap disalahartikan. Bahasa wanita dianggap bertele-tele atau kurang efektif, sementara bahasa pria dianggap lebih unggul karena efisien. Padahal, kedua gaya bahasa tersebut memiliki fungsi komunikatif yang berbeda dan sama-sama penting, tergantung pada konteks dan tujuan komunikasi.
Meluruskan Miskonsepsi tentang Bahasa dan Gender
Masih banyak miskonsepsi yang berkembang di masyarakat, misalnya anggapan bahwa perempuan lebih banyak berbicara dibanding laki-laki. Sejumlah penelitian justru menunjukkan bahwa laki-laki lebih dominan berbicara di ruang publik dan lingkungan kerja formal, sementara perempuan lebih aktif dalam komunikasi relasional.
Anggapan bahwa bahasa wanita lemah juga tidak sepenuhnya tepat. Bahasa wanita memiliki fungsi sosial yang kuat, terutama dalam membangun kerja sama dan mengelola hubungan interpersonal. Sebaliknya, bahasa pria yang lebih langsung sering efektif dalam situasi yang menuntut ketegasan dan keputusan cepat.
Dengan demikian, efektivitas bahasa tidak ditentukan oleh gender, melainkan oleh kesesuaian gaya bahasa dengan situasi dan kebutuhan komunikasi.
Bahasa sebagai Cermin Sejarah Sosial
Bias gender dalam bahasa tidak muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan hasil dari proses sosial dan sejarah yang panjang. Struktur masyarakat patriarkal yang lama mendominasi ruang pendidikan, politik, dan kebudayaan turut membentuk cara bahasa berkembang dan digunakan.
Bahasa berfungsi sebagai arsip sosial yang merekam relasi kuasa. Ketika suatu cara bertutur dilegitimasi sebagai “normal” dan yang lain dianggap menyimpang, bahasa ikut menjaga ketimpangan tersebut tetap hidup.
Sebagai penutup, membicarakan gender dalam bahasa bukanlah upaya memperumit komunikasi, melainkan usaha memahami bagaimana bahasa bekerja dalam kehidupan sosial. Kesadaran berbahasa dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan komunikasi yang lebih setara dan adil.
Dengan merefleksikan pilihan kata dan cara bertutur yang kita gunakan sehari-hari, kita tidak hanya memperbaiki cara berbicara, tetapi juga cara memandang sesama. Karena pada akhirnya, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan cermin nilai yang kita bangun bersama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
