Bahasa Kita Masih Seksis, Lho!
Gaya Hidup | 2025-12-25 10:43:43
Pernahkah Anda mendengar kalimat, “Cewek matre itu red flag,” atau “Cowok kok cengeng, sih?” Kalimat-kalimat semacam ini terdengar biasa, bahkan sering muncul di linimasa media sosial kita. Namun, tahukah Anda bahwa ini adalah bentuk seksisme yang terselubung dalam bahasa? Ya, bahasa bisa jadi alat yang sangat halus namun tajam dalam mereproduksi ketimpangan gender
Dalam kajian sosiolinguistik, para ahli seperti Janet Holmes, Ronald Wardhaugh, dan Robin Lakoff mengungkap bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga cermin budaya. Lewat bahasa, nilai-nilai gender ditanamkan secara turun-temurun. Artinya, jika budaya patriarkal masih kuat, bahasa pun akan mencerminkannya.
Coba perhatikan: dalam bahasa Inggris, kata seperti “master” bermakna keahlian dan wibawa, sementara pasangannya, “mistress,” sering diasosiasikan dengan selingkuhan. Dalam bahasa Indonesia pun tak kalah timpang. Julukan seperti “cewek matre,” “bucin banget,” atau “cowok lemah” adalah contoh bagaimana stereotipe gender dilekatkan secara tidak adil pada satu pihak, sementara pihak lain biasanya laki-laki justru dilebihkan atau dibela.
Media sosial, terutama TikTok, Twitter (X), dan Instagram, jadi ruang bebas yang sayangnya justru memperparah normalisasi bahasa seksis. Istilah seperti “cewek harus bisa masak, cowok harus sukses” menunjukkan betapa pembagian peran tradisional terus direproduksi tanpa disadari.
Yang lebih mengkhawatirkan, seksisme dalam bahasa sering dianggap sebagai hal yang “wajar” atau “sudah biasa.” Padahal, inilah akar dari banyak ketimpangan sosial yang lebih besar. Ketika perempuan terus-menerus diasosiasikan dengan kelembutan, kepatuhan, atau penampilan fisik, maka peluangnya untuk dipandang setara dalam ruang publik ikut terhambat. Sebaliknya, laki-laki yang menunjukkan emosi justru dianggap lemah, tidak jantan.
Lalu, apakah solusinya? Bukan berarti kita harus menjadi “polisi bahasa” yang mengatur kata demi kata. Tapi kita bisa mulai dengan kesadaran kritis. Sadari bahwa kata-kata yang kita pakai bisa membentuk cara pandang. Ubah “cewek matre” menjadi “setiap orang punya preferensi pasangan,” atau ganti “cowok kok nangis” menjadi “semua orang berhak mengekspresikan emosi.”
Bahasa yang adil bukan sekadar urusan tata kata, tapi juga cermin dari cara kita memperlakukan satu sama lain. Jika kita ingin dunia yang lebih setara, mari mulai dari hal kecil yakni dari kata-kata.
Karena pada akhirnya, bahasa bukan hanya tentang apa yang kita ucapkan, tapi juga tentang siapa yang kita biarkan didiamkan, dan siapa yang terus kita tekan lewat bahasa itu sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
