Buku Koleksi Syifka
Sastra | 2022-06-27 20:36:10Buku koleksi yang menumpuk tinggi itu dikembalikan ke rak-rak lemari. Tangan Syifka memungut dan menata buku dengan cekatan, namun wajahnya tak dapat lepas dari modem yang baru saja terpasang oleh dua orang pria dengan pakaian dinas berlogo Telkom Group tadi.
Benda itu berwarna putih. Berdiri di salah satu rak yang dulunya tempat menyimpan buku-buku koleksi miliknya. Syifka bingung memastikan apakah boks dengan logo IndiHome itu memiliki bentuk dasar persegi panjang atau jajaran genjang? Ia juga menghitung terdapat enam lampu indikator memiliki dua warna berbeda. Satu diantaranya berkedip-kedip cepat.
“Kok, yang ini berkedip sendiri, bunda?” tanya gadis itu kepada wanita di depannya.
“Ooh, itu tandanya internet rumah kita sudah bisa dipakai ya, sayang,” jawab bundanya dengan lembut.
“Kalau ada internet rumah, aku bisa cari kisah Ratamsari kan, bun?” tanya lagi.
Syifka berumur enam tahun. Baru tahun pertama memasuki sekolah dasar. Namun dirinya memiliki hobi membaca buku. Koleksinya pun banyak. Ada kisah tentang para Nabi, cerita-cerita dongeng, buku-buku doa, dan lain sebagainya. Semuanya berjumlah kurang-lebih 50 buku.
Semenjak batita, gadis itu sering dibacakan kisah-kisah keteladanan para pelaku sejarah oleh ibunya. Suatu ketika, diumurnya yang keempat tahun, Syifka menarik buku itu dan meminta ibunya mengajarkannya membaca. Tidak sulit mengajarkannya kala itu. Hanya dalam waktu setengah tahun, ia benar-benar mampu membaca dengan cepat.
Beberapa waktu lalu, Syifka meminta kepada orangtuanya carikan buku tentang Ratamsari. Gurunya di sekolah sempat menceritakan kisahnya sekilas di depan kelas. Ia jadi penasaran. Ditanyanya di mana ia bisa mengakses kisah lengkap Ratamsari kepada gurunya. Jawabannya cukup mengecewakan Syifka, karena buku koleksi milik sekolah tidak sebanyak yang dibayangkan olehnya.
Mendengar itu, muncul ide dari sang bunda untuk memasang internet rumah. Ayahpun setuju. Berharap anaknya dapat mengakses bacaan yang tidak tersedia di lemari perpusatakaan sekolah.
Kini jaringan internetnya Indonesia memancar di sudut-sudut rumah. Ibunya membukakan laptop. Dengan cepat layarnya menampilkan katalog buku-buku digital yang dijual secara daring. Setelah melakukan pembayaran online, buku kisah tentang Ratamsi terbuka di layar monitor. Mata Syifka berbinar memandangnya.
“Bacanya pelan-pelan ya, sayang. Kalau mata kamu mulai merasa Lelah, jangan dipaksa. Nanti sakit,” pesan bunda yang dijawab dengan anggukan kepala Syifka.
Kisah Ratamsi ternyata berhubungan dengan penguasa Kesultanan Mataram, Sultan Agung. Di dalam pikirannya terbayang sosok yang gagah-perkasa berdiri didepan pria yang tengah bersimpuh di lantai, yang memerintahkannya menyerang pasukan VOC di Batavia.
Pria yang bersimpuh itu bernama Joko Bahu, atau lebih dikenal sebagai Bahurekso. Kisahnya dengan Ratamsi tidak mendapat restu sang sultan. Maka dikirimnya ia ke Batavia memerangi penjajah.
Lama tak terdengar kabar Bahurekso, Ratamsi semakin kalut. Berita pun datang mengabarkan pria yang dikasihinya itu gugur di medan pertempuran. Namun, jasadnya tak kunjung datang. Ratamsi nekat berangkat mencari kebenarannya.
Di lokasi yang diduga menjadi tempat terakhir Bahurekso bertugas, ia merahasiakan identitasnya. Demi mencari kebenaran berita yang didapat, perempuan itu menyamar sebagai penari dari sebuah sanggar ternama.
Kelompok sanggarnya berkeliling dari kampung ke kampung menampilkan pertunjukan seni. Namun penonton sangat menanti aksi tarian Ratamsi yang dikenal gemulai dan cantik.
Hari demi hari, pekan demi pekan, hingga bulan demi bulan berlalu. Tiap mampir di suatu kampung, Ratamsi selalu menanyakan Bahurekso kepada warga sekitar. Hingga disuatu waktu, datang seorang pria mendekatinya kala tengah fokus menari. Dipanggil namanya. Suara itu sangat khas di kupingnya. Begitu juga sapu tangan yang dibawa pria itu. Ratamsi pun jatuh pingsan karena menyadari pria tersebut Bahurekso.
Kisah yang dibaca Syifka diyakini sebagai asal mula seni budaya Sintren. Seni budaya ini berkembang dari pesisir pantai utara, mulai dari Demak hingga ke Cirebon. Melalui kisah yang dibacanya tersebut, keinginan Syifka membuka lebih banyak kisah-kisah rakyat Indonesia makin tak terendung.
“Aku sudah baca kisah Ratamsi, bun.”
“Alhamdulillah. Yuk makan dulu, agar energi kamu terisi kembali,” ajak bunda.
“Habis itu aku boleh cari kisah yang lain ya, bun?”
“Insyaallah, boleh banget. Banyak loh, buku koleksi yang tersedia melalui internet.”
Mendengar hal itu, raut wajah Syifka makin berbinar, dan beranjak ke meja makan untuk kemudian mengakses kembali internet rumah miliknya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.