Megawati, Minyak Goreng dan Selera Pangan Kita
Eduaksi | 2022-03-30 22:20:09Beberapa waktu lalu viral pernyataan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terkait kelangkaan minyak goreng. Mega turut menanggapi kelangkaan minyak goreng yang meresahkan emak-emak ini dengan sudut pandang berbeda.
Dikutip dari media, Megawati mengatakan "Saya tuh sampai mikir jadi setiap hari ibu-ibu apakah hanya menggoreng sampai begitu rebutannya apa tidak ada cara untuk merebus lalu mengukus atau seperti rujak"
Tak ayal ini memantik reaksi netijen. Sebagian besar respon yang saya lihat bernuansa negatif terhadap pernyataan mantan presiden kelima ini. Ada yang berpendapat, Megawati tidak peka terhadap persoalan masyarakat, seharusnya beliau lebih fokus menekan pemerintah untuk menstabilkan pasokan dan harga minyak goreng. Bukan malah terkesan menyalahkan masyarakat yang kebanyakan makan minyak.
Terlepas dari apakah ada kepentingan politik yang mungkin melatarbelakangi pernyataan tersebut, ada baiknya kita melihat substansi pernyataannya. Apalagi konteks Megawati menyampaikan kalimat tersebut adalah dalam webinar "Cegah Stunting untuk Generasi Emas". Untuk mewujudkan generasi yang sehat, aktif, dan produktif tentu saja salah satunya melalui asupan makanan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman.
Para ahli kesehatan mengemukakan makanan yang digoreng mengandung lemak dan kolesterol dalam jumlah yang sangat tinggi. Mengonsumsi makanan digoreng secara rutin atau berlebih semakin memperbesar risiko mengalami masalah kesehatan seperti jantung, kolesterol, hingga stroke.
Untuk menghindari hal itu, ada banyak alternatif seperti kukus, rebus, atau pepes seperti yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara di masa lampau. Ini juga yang ditekankan oleh Megawati sebagai solusi dari kelangkaan minyak goreng saat ini.
Selera Goreng Menggoreng
Indonesia tercatat bukan saja negara dengan produksi minyak goreng sawit (CPO) terbesar di dunia yang mencapai 46,88 juta ton pada 2021, tetapi juga menjadi negara terbesar pengonsumsi minyak goreng yang mencapai 15,3 juta ton, di atas India 8,5 juta ton dan Tiongkok 7 juta ton (okezone.com 2022)
Umumnya masyarakat Indonesia memang tidak bisa terlepas dari yang namanya goreng menggoreng. Gorengan seolah menjadi identitas budaya kuliner orang Indonesia baik di kota maupun di desa. Di semua sudut negeri ini tukang gorengan selalu ada. Begitu juga hampir dipastikan setiap rumah tangga punya minyak goreng. Kemudahan mengolah makanan untuk digoreng menjadi salah satu faktor mengapa gorengan digemari. Tinggal panaskan minyak, celupkan makanan ke dalamnya.
Padahal teknik menggoreng diadopsi dari Tiongkok. Dikutip dari historia.co.id (2020), awalnya orang Nusantara mengolah makanan dengan cara dibakar, dikukus, atau direbus. Tidak ada tahun pasti kapan teknik menggoreng ini masuk ke Indonesia, namun dilaporkan sudah dihidangkan di Indonesia dalam sajian upacara pernikahan di Keraton Surakarta menurut Serat Centhini (1814). Gorengan berbahan daging dihidangkan bersama sayuran yang ditumis (stir fry), sebuah teknik memasak menggunakan sedikit minyak, yang juga berasal dari Tiongkok.
Tantangan Mengubah Selera
Mengubah selera masyarakat terhadap gorengan bukan hal mudah, apalagi sudah berakar ratusan tahun. Didukung dengan produksi minyak goreng yang jauh lebih besar daripada konsumsinya. Namun demikian, terlepas dari dinamika minyak goreng yang saat ini ramai, edukasi terhadap konsumsi pangan yang sehat harus terus disuarakan agar masyarakat memiliki referensi terhadap pola pangan yang lebih menyehatkan.
Tentu perubahan tersebut tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Karena itu, membutuhkan keterlibatan dari banyak pihak untuk mengubah mindset masyarakat terkait penggunaan minyak goreng. Tidak bisa juga selera terhadap gorengan diubah sepenuhnya. Solusi terbaik adalah memberikan alternatif-alternatif penggunaan minyak goreng secara lebih sehat. Misalnya dengan teknik menumis yang dapat meminimalisir penurunan nutrisi dan risiko radikal bebas daripada menggoreng. Ini juga akan menurunkan volume konsumsi minyak goreng rumah tangga. Pada akhirnya, jika ini dapat dilakukan secara massif, akan hadir keseimbangan-keseimbangan baru dalam dinamika produksi dan konsumsi minyak goreng.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.