Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wina Nur Nabila

Perceraian yang Kini Normal di Mata Masyarakat

Agama | 2025-12-23 18:56:44
Ilustrasi perceraian. Sumber: Freepik

Perceraian kini bukan lagi isu yang dianggap tabu dalam kehidupan masyarakat. Jika dulu perceraian dipandang sebagai kegagalan besar dalam membangun rumah tangga, hari ini ia justru sering dianggap sebagai pilihan yang wajar, bahkan normal. Perubahan cara pandang ini terlihat dari meningkatnya angka perceraian, terutama di kalangan pasangan muda, serta respons publik yang semakin permisif terhadap perpisahan suami istri.

Fenomena ini tentu tidak muncul tanpa sebab. Tekanan ekonomi, perbedaan prinsip hidup, kurangnya komunikasi, hingga pengaruh media sosial menjadi faktor yang sering disebut sebagai pemicu utama perceraian. Namun, di balik faktor-faktor tersebut, ada persoalan yang lebih mendasar, yakni melemahnya ketahanan keluarga dan bergesernya makna pernikahan itu sendiri.

Di era modern, pernikahan kerap dipahami sebatas hubungan emosional antara dua individu. Ketika rasa nyaman itu hilang, maka berpisah dianggap sebagai solusi paling cepat. Padahal, pernikahan sejatinya bukan hanya soal perasaan, melainkan juga komitmen, tanggung jawab, dan kesediaan untuk bertumbuh bersama dalam kondisi apa pun. Ketika konflik muncul, alih-alih diselesaikan melalui dialog dan kesabaran, perceraian sering dijadikan jalan keluar yang dianggap paling praktis.

Normalisasi perceraian juga diperkuat oleh media sosial. Kisah perpisahan selebritas atau figur publik sering disajikan tanpa ruang refleksi yang cukup. Perceraian ditampilkan sebagai bentuk “keberanian memilih kebahagiaan diri sendiri”, tanpa diimbangi pembahasan tentang dampaknya, terutama bagi anak dan lingkungan sosial. Akibatnya, masyarakat terutama generasi muda dengan secara tidak sadar menyerap pesan bahwa berpisah adalah hal lumrah ketika pernikahan tidak lagi sesuai harapan.

Dalam perspektif Islam, perceraian memang diperbolehkan, tetapi ia bukan sesuatu yang dianjurkan. Bahkan, talak disebut sebagai perbuatan halal yang paling dibenci Allah. Pesan ini menunjukkan bahwa perceraian adalah jalan terakhir setelah berbagai upaya perbaikan dilakukan. Islam menekankan pentingnya musyawarah, kesabaran, dan kehadiran pihak penengah sebelum keputusan berpisah diambil. Nilai ini semakin terasa relevan di tengah budaya instan yang cenderung menghindari proses panjang dan melelahkan.

Namun demikian, membahas perceraian juga tidak boleh dilakukan dengan sikap menghakimi. Tidak semua rumah tangga dapat dipertahankan, terlebih jika di dalamnya terdapat kekerasan, ketidakadilan, atau penderitaan yang berlarut-larut. Dalam kondisi tertentu, perceraian justru menjadi jalan untuk menyelamatkan martabat dan kesehatan mental pihak yang terlibat. Di sinilah pentingnya membedakan antara perceraian sebagai kebutuhan darurat dan perceraian sebagai bentuk pelarian dari masalah yang sebenarnya masih bisa diselesaikan.

Yang patut menjadi perhatian bersama adalah bagaimana masyarakat mulai kehilangan semangat untuk memperjuangkan pernikahan. Kesabaran sering dianggap sebagai kelemahan, sementara kompromi dipersepsikan sebagai pengorbanan yang merugikan diri sendiri. Padahal, keluarga adalah fondasi utama dalam membangun masyarakat yang sehat. Ketika institusi keluarga rapuh, dampaknya akan terasa luas, mulai dari kondisi psikologis anak hingga kohesi sosial di lingkungan sekitar.

Oleh karena itu, upaya menekan angka perceraian tidak cukup hanya dengan nasihat moral. Diperlukan edukasi pranikah yang lebih matang, pendampingan rumah tangga yang berkelanjutan, serta ruang dialog yang aman bagi pasangan untuk menyelesaikan konflik. Masyarakat juga perlu membangun kembali budaya saling menasihati dengan empati, bukan dengan stigma atau penghakiman.

Perceraian memang semakin terlihat normal di mata masyarakat, tetapi normalisasi ini tidak seharusnya membuat kita abai terhadap akar persoalannya. Pernikahan tetaplah sebuah ikatan sakral yang layak diperjuangkan dengan kesungguhan. Menjaga rumah tangga bukan berarti menutup mata dari masalah, melainkan berani menghadapi dan menyelesaikannya bersama. Di tengah zaman yang serba mudah melepaskan, mungkin yang paling dibutuhkan adalah keberanian untuk bertahan dan memperbaiki.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image