Dulu Puasa Ditunggu, Kini Datang Begitu Saja
Etcetera | 2025-12-22 13:45:39
Dulu, datangnya bulan Ramadhan terasa seperti momen istimewa yang ditunggu-tunggu. Anak-anak menghitung hari menuju puasa pertama, senang mendengar cerita tarawih, dan antusias bangun sahur meski masih pusing. Suasana Ramadhan hadir bukan sekedar sebagai kewajiban agama, namun sebagai pengalaman emosional yang hangat dan menyenangkan. Namun, ketika seseorang beranjak dewasa, perasaan itu perlahan berubah. Puasa tetap datang setiap tahun, tetapi sering kali terasa biasa saja datang tanpa euforia, pergi tanpa banyak kesan.
Perubahan ini bukan hanya dirasakan oleh satu atau dua orang. Banyak orang dewasa, pelajar terutama dan pekerja di kota besar, mulai menyadari bahwa Ramadhan kini hadir di tengah jadwal yang padat, tenggat waktu pekerjaan, tuntutan akademik, dan arus informasi yang nyaris tak pernah berhenti. Alhasil, momen yang dulu terasa sakral kini sering kali terasa seperti agenda rutin tahunan yang harus dijalani.
Ramadhan yang Kini Terasa Biasa
Saat masih kecil, pengalaman religius sering kali dibangun melalui suasana. Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat ikut menciptakan rasa istimewa Ramadhan. Ada cerita sebelum tidur, kebersamaan saat berbuka, hingga pujian kecil ketika berhasil menyelesaikan puasa seharian. Semua itu membentuk kesan bahwa Ramadhan adalah momen yang berbeda dari bulan lainnya.
Ketika dewasa, suasana tersebut tidak lagi hadir dengan cara yang sama. Ramadhan tetap ada, tetapi konteks kehidupan berubah. Tidak ada lagi libur panjang atau jadwal yang disesuaikan sepenuhnya dengan ibadah. Banyak orang justru harus bekerja lebih keras, tetap produktif, dan memenuhi kebutuhan sosial di tengah kondisi fisik yang menahan lapar dan haus. Dalam kondisi ini, Ramadhan mudah terasa “biasa”, bukan karena maknanya berkurang, melainkan karena ruang untuk merasakannya semakin menyempit.
Kesebukan Dewasa yang Mengubah Suasana Puasa
Salah satu faktor utama yang membuat Ramadhan terasa berbeda saat dewasa adalah kesibukan. Rutinitas orang dewasa sering kali tidak memberi jeda untuk refleksi. Pagi dimulai dengan pekerjaan, siang diisi rapat atau tugas, dan malam dihabiskan untuk memulihkan energi. Ibadah pun sering dilakukan di sela-sela aktivitas, bukan sebagai pusat perhatian.
Di sisi lain, praktik keagamaan bisa terasa lebih mekanis. Puasa dijalani karena kewajiban, bukan karena perasaan menunggu atau kegembiraan. Tarawih dikejar waktunya, bukan suasananya. Sahur sekadar makan cepat sebelum kembali tidur. Tanpa disadari, kesibukan ini membuat pengalaman religius kehilangan dimensi emosionalnya. Ramadhan tetap dijalani, namun tidak benar-benar “dirasakan”.
Apakah Kita Menjadi Kurang Religius?
Pertanyaan yang sering muncul dari kondisi ini adalah: apakah menjadi dewasa berarti menjadi kurang religius? Jawabannya tidak meratakannya. Perubahan cara memaknai Ramadhan bukanlah selalu tanda menurunnya iman, melainkan perubahan fase kehidupan. Saat dewasa, seseorang dituntut untuk lebih rasional, mandiri, dan bertanggung jawab. Fokus hidup pun bergeser dari pengalaman emosional ke peran sosial.
Selain itu, budaya modern dan arus informasi digital juga mempengaruhi cara seseorang mengalami Ramadhan. Media sosial, notifikasi tanpa henti, dan gaya hidup serba cepat membuat perhatian mudah terpecah. Ramadhan hadir disertai dengan konten hiburan, iklan, dan tren digital yang terus mengalir. Akibatnya, momen refleksi sering kalah karena gangguan.
Namun, hal ini tidak berarti pengalaman keagamaan hilang sepenuhnya. Ia hanya berubah bentuk. Bagi sebagian orang dewasa, religiusitas tidak lagi terwujud melalui antusiasme lahiriah, tetapi melalui pemaknaan yang lebih sunyi dan personal. Ramadhan mungkin tidak lagi terasa meriah, namun bisa menjadi ruang refleksi yang lebih dalam jika diberi kesempatan.
Menemukan Kembali Makna di Tengah Rutinitas
Mungkin yang perlu dibahas bukanlah “mengapa Ramadhan terasa biasa”, tetapi “bagaimana kita memberi ruang agar Ramadhan kembali bermakna”. Kedewasaan memang membawa kesibukan, namun juga membawa kesadaran. Dengan menyadari perubahan ini, seseorang dapat mulai membangun kembali hubungan pribadi dengan Ramadhan bukan dengan memaksakan rasa seperti masa kecil, melainkan dengan cara yang sesuai dengan fase hidup saat ini.
Pada akhirnya, Ramadhan tidak kehilangan maknanya. Kita hanya perlu menyesuaikan cara memaknainya. Di tengah rutinitas dan dunia yang serba cepat, Ramadhan tetap bisa menjadi momen jeda bukan karena suasananya yang meriah, tetapi karena kesadaran kita untuk benar-benar hadir di dalamnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
