Generasi Muda di Persimpangan Zaman: Antara Algoritma dan Ketaqwaan
Agama | 2025-12-17 10:21:46
Arus informasi digital yang begitu deras telah menjadi tantangan besar bagi generasi muda abad ke-21. Di Indonesia, fenomena mindless scrolling atau menggulir tanpa tujuan di media sosial telah disebut sebagai hambatan serius dalam upaya meningkatkan minat baca dan kualitas berpikir kaum muda (Antara News, 16 Mei 2025). Statistik lain menunjukkan bahwa penggunaan internet oleh anak muda sangat intens—sebagian besar pengguna internet Indonesia aktif di media sosial, dengan sebagian besar menghabiskan waktu per hari di dunia maya tanpa pengawasan literasi yang memadai (Jurnal Sewagati, September 2025). Meningkatnya screen time ini tak hanya memakan waktu produktif mereka, tetapi berpotensi melalaikan mereka dari peran nyata kehidupan sebagai hamba Allah yang harus bermuamalah, beribadah, dan berkontribusi secara sosial di dunia nyata.
Fenomena algoritma digital yang menjerat pengguna dalam echo chamber, memberi ruang bagi konten yang memicu emosi dan mempertahankan perhatian tanpa memikirkan dampak moralnya, bukan hanya sekadar ancaman hipotesis. Dalam kajian literasi digital, para ahli mengingatkan bahwa information overload atau kelebihan informasi menurunkan kemampuan analisis dan meningkatkan kecenderungan menerima konten berdasarkan prasangka awal tanpa verifikasi yang sahih. Di sinilah jebakan dunia maya bekerja—menjauhkan pemuda dari pemikiran kritis yang bertakwa kepada Allah dan menjadikannya konsumen pasif dari nilai-nilai sekuler dan liberal yang sangat banyak beredar.
Bagi mereka yang kritis terhadap kezaliman penguasa atau ketidakadilan sosial, arus digital dapat jadi wadah aspirasi. Namun tanpa arah pandang yang benar, kecenderungan ini berakhir pada ekspresi emosional semata, bukan tindakan strategis yang dibangun di atas fondasi ideologi yang sahih. Generasi muda seharusnya tidak sekadar rindu perubahan, tetapi menanamkan pandangan hidup yang berakar pada Al-Qur’an dan Sunnah, bukan sekadar solusi parsial yang justru menciptakan aktivis prematur yang mudah tergiur oleh jabatan dan kekuasaan duniawi.
Generasi muda memiliki potensi yang besar sebagai ciptaan Allah: mereka diberi garizah fitrah, hajatul udhawiyah (kebutuhan sosial), dan akal untuk berpikir, yang apabila diarahkan kepada Allah akan menghasilkan insan yang bertakwa dan tangguh. Namun, potensi ini hanya bisa berkembang optimal dalam lingkungan yang kondusif—yakni lingkungan yang dibangun atas jawil iman (suasana keimanan yang kuat), didukung oleh keluarga yang mendidik, masyarakat yang peduli, dan institusi yang menjaga nilai moral.
Dalam konteks ini, sinergi seluruh elemen umat menjadi keharusan. Keluarga harus menjadi madrasah pertama yang mengajarkan disiplin penggunaan teknologi digital, bukan hanya sekadar larangan. Sekolah dan komunitas masyarakat harus melibatkan literasi digital berbasis nilai—menanamkan kemampuan memilah dan menilai konten menurut kriteria syara’, bukan sekedar popularitas atau viralitas. Negara juga memiliki peran besar dalam menciptakan regulasi yang mendukung perlindungan generasi muda dari dampak negatif digital tanpa menghilangkan ruang produktif mereka (berita rencana pembatasan penggunaan media sosial untuk anak 13–16 tahun di Indonesia diumumkan oleh Menkomdigi pada Desember 2025).
Lebih jauh lagi, partai politik Islam ideologis punya tugas strategis sebagai tulang punggung pembinaan umat—bukan hanya sekadar kontestan kekuasaan. Partai yang berpegang pada nilai Islam harus mengembangkan ruang yang inklusif bagi suara kritis kaum muda: memberi mereka tempat untuk berdiskusi, berdebat, berkegiatan, sekaligus membekali mereka dengan pemahaman dunia yang bersumber dari Allah. Ini bukan sekadar pembinaan teoretis, tetapi pembentukan watak, fikrah (cara pandang), dan aksi nyata yang selaras dengan maqasid syariah. Partai ideologis juga harus aktif dalam muhasabah lil hukam—mengajak pemimpin umat untuk introspeksi, bukan sekadar menjalankan politik praktis yang seringkali terjebak pada pragmatisme kapitalistik.
Kalau generasi muda terus dibiarkan tanpa arah hidup yang sahih, mereka hanya akan menjadi duplikasi aktivis-aktivis liberal—walaupun berlabel muslim, namun tetap menjadi “bemper kapitalisme” yang mempertahankan status quo tanpa perubahan fundamental. Sebaliknya, bila sinergi umat dimulai dari keluarga, masyarakat, partai politik ideologis, hingga negara yang bertanggung jawab, generasi muda akan menjadi pilar ummat yang bertakwa dan tangguh, siap menghadapi tantangan era digital dengan imannya kepada Allah, bukan sekadar tergantung pada popularitas algoritma.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
