Etika dan Privasi dalam Penggunaan Big Data
Teknologi | 2025-12-17 09:25:13
Di era digital yang kian masif, aktivitas manusia tidak lagi sekadar interaksi fisik, melainkan telah bermigrasi menjadi rangkaian data digital yang tak terputus. Setiap klik, unggahan foto, hingga swipe layar yang kita lakukan meninggalkan jejak digital abadi. Jejak-jejak ini, ketika dikombinasikan dari berbagai perangkat gawai, aplikasi layanan, dan platform media sosial, menciptakan volume informasi raksasa yang kita kenal sebagai big data.
Fenomena ini ibarat dua sisi mata uang. Di tangan yang tepat, big data adalah kunci emas untuk mendorong inovasi, mulai dari peningkatan kualitas layanan publik, reformasi sistem kesehatan yang lebih presisi, hingga membantu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memahami perilaku pelanggan mereka. Namun, narasi optimisme ini sering kali melupakan satu sisi gelap yang mengintai: tanpa mekanisme pengelolaan yang etis dan perlindungan privasi yang kokoh, manfaat teknologi ini berisiko bermutasi menjadi ancaman serius bagi hak asasi individu dan kepercayaan publik.
Beberapa lama lalu, isu keamanan siber pernah mencuat ke permukaan dan menyentak kesadaran kolektif bangsa. Rentetan kasus dugaan kebocoran data, baik di sektor pemerintahan maupun swasta, menjadi sinyal darurat bahwa kedaulatan data kita sedang diuji. Di Indonesia, peningkatan penetrasi internet dan adopsi layanan digital secara otomatis menempatkan jutaan warga negara sebagai produsen sekaligus sumber data. Ironisnya, posisi strategis ini justru menempatkan warga pada posisi paling rentan.
Ditinjau dari realitas lapangan, kondisi Indonesia memang sedang "tidak baik-baik saja". Data aktual dari Surfshark, sebuah perusahaan keamanan siber global, dalam laporannya pada kuartal III-2023 sempat menempatkan Indonesia di peringkat ke-4 dunia sebagai negara dengan jumlah akun yang mengalami kebocoran data terbanyak. Jutaan data warga, mulai dari NIK hingga riwayat belanja, terhambar di dark web. Laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga mencatat ratusan juta anomali trafik yang mengindikasikan serangan siber sepanjang tahun. Ini adalah bukti nyata bahwa infrastruktur digital kita masih rapuh, sementara nafsu untuk mendigitalkan semua layanan publik begitu menggebu.
Masalah mendasar yang sering terjadi adalah ilusi persetujuan. Dalam interaksi digital sehari-hari, masyarakat sering disuguhi formulir persetujuan syarat dan ketentuan yang panjang serta rumit. Dokumen ini sering kali hanya menjadi formalitas belaka. Pengguna, yang terdesak kebutuhan akan layanan aplikasi, cenderung mengklik tombol "setuju" tanpa benar-benar memahami ruang lingkup penggunaan data mereka. Ketidaktahuan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk melakukan praktik data hoarding (penimbunan data) yang berlebihan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, praktik menjual atau membagikan data ke pihak ketiga sering dilakukan tanpa transparansi yang memadai. Hal ini menempatkan informasi sensitif pengguna mulai dari preferensi politik, kondisi kesehatan, hingga data finansial pada posisi yang sangat rentan tereksploitasi. Ketika data diproses untuk tujuan yang kabur atau digunakan untuk menjustifikasi keputusan otomatis (algoritmik) tanpa pertimbangan kemanusiaan, dampaknya bisa jauh melampaui sekadar pelanggaran privasi; ia bisa mencederai rasa keadilan sosial.
Pemerintah merespons tantangan ini melalui pengesahan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Regulasi ini merupakan langkah monumental dalam lanskap hukum digital Indonesia. Namun, keberadaan payung hukum semata tidak serta-merta menjamin keamanan data. Hukum tidak akan cukup bertaji jika praktik pengumpulan, pemrosesan, dan penyimpanan data di lapangan masih dijalankan secara longgar dan amatir.
Pendekatan Privacy by Design dan Budaya Etis
Untuk memastikan big data memberi benefit, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan teknologi, budaya organisasi, dan literasi publik. Dari sisi teknologi, konsep privacy by design harus menjadi standar baku dalam setiap pengembangan sistem digital.
Artinya, standar privasi tidak boleh lagi menjadi fitur tempelan yang dipikirkan belakangan. Sejak tahap perancangan awal, pengembang sistem harus mempertimbangkan risiko privasi, menerapkan enkripsi data standar tinggi, membatasi akses hanya kepada pihak yang berkepentingan, dan menyediakan fitur penghapusan atau anonimisasi data secara otomatis ketika data tersebut tidak lagi diperlukan. Implementasi kontrol akses dan pencatatan jejak audit (logging) yang baik juga akan membantu memastikan akuntabilitas dalam setiap rantai pengelolaan data.
Di sisi lain, masyarakat sebagai pemilik data juga tidak bisa bersikap pasif. Literasi data bagi publik harus terus ditingkatkan secara masif. Pengguna perlu diberdayakan agar mengetahui hak-hak mereka, mengerti cara memeriksa pengaturan privasi, mampu membaca ringkasan kebijakan dengan kritis, dan berani memilih opsi yang memberikan kontrol lebih besar atas data mereka.
Kampanye edukasi yang singkat, sederhana, dan relevan misalnya melalui tips visual di media sosial atau modul singkat di platform pendidikan dapat sangat membantu mengurangi kebiasaan memberikan persetujuan tanpa pertimbangan. Selain itu, tanggung jawab individu juga meliputi kehati-hatian dalam membagikan informasi sensitif di ruang publik digital. Mempertanyakan transparansi dari layanan yang digunakan adalah langkah konkret yang bisa dilakukan setiap individu untuk melindungi diri sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
