Flexing Bukan Sekadar Pamer, tapi Soal Validasi
Trend | 2025-12-16 23:43:52
Di media sosial, flexing sering kali dianggap sebagai hal yang wajar. Unggahan barang baru, tempat nongkrong mahal, hingga gaya hidup serba “kelihatan jadi” mudah ditemui di linimasa. Sekilas terlihat biasa saja, tetapi jika dicermati lebih jauh, flexing bukan hanya soal pamer. Ada kebutuhan akan pengakuan yang ikut bermain di dalamnya.
Bagi sebagian orang, flexing menjadi cara untuk menunjukkan hasil kerja keras. Tidak ada yang salah dengan merayakan pencapaian. Masalah muncul ketika flexing berubah menjadi standar sosial. Ketika apa yang ditampilkan di layar mulai memengaruhi cara orang menilai dirinya sendiri, maka media sosial tidak lagi menjadi ruang berbagi, melainkan ruang pembanding.
Fenomena ini terasa kuat di kalangan generasi Z. Tekanan untuk terlihat sukses, mapan, dan “on track” datang dari berbagai arah. Tanpa disadari, flexing menciptakan ilusi bahwa semua orang sedang melaju cepat, sementara yang lain tertinggal. Padahal, yang ditampilkan hanyalah potongan terbaik dari kehidupan seseorang, bukan keseluruhan cerita.
Ironisnya, flexing sering kali dilakukan di tengah kondisi yang belum tentu stabil. Ada yang memaksakan gaya hidup, ada pula yang merasa cemas ketika tidak bisa mengikuti tren. Validasi berupa like dan komentar memang datang cepat, tetapi rasa puasnya sering kali singkat. Setelah itu, muncul dorongan untuk mengunggah hal yang lebih “wah” agar tetap diperhatikan.
Media sosial sejatinya tidak salah. Ia hanya menjadi cermin dari kebutuhan manusia untuk diakui. Namun, ketika validasi eksternal menjadi tujuan utama, nilai diri perlahan bergeser. Hidup terasa seperti panggung, dan kebahagiaan diukur dari respons orang lain.
Mungkin sudah saatnya flexing dilihat dengan lebih jujur. Bukan untuk dihakimi, tetapi untuk dipahami. Tidak semua pencapaian perlu diumumkan, dan tidak semua kebahagiaan harus dibuktikan. Ketika media sosial digunakan sebagai ruang ekspresi, bukan ajang validasi, kita bisa kembali memakainya dengan lebih sehat dan manusiawi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
