Reformasi 1998: Ketika Krisis, Intelektual, dan Rakyat Bertemu
Politik | 2025-12-16 21:16:33
Menjelang akhir kekuasaannya, Orde Baru menghadapi krisis legitimasi yang serius. Selama lebih dari tiga dekade, pemerintahan Presiden Soeharto membangun stabilitas politik melalui kontrol ketat terhadap kebebasan berpendapat, pembungkaman oposisi, dan dominasi kekuasaan negara atas masyarakat. Di balik stabilitas semu tersebut, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) mengakar kuat, menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi yang makin terasa oleh masyarakat.
Situasi ini memburuk ketika krisis moneter Asia melanda Indonesia pada pertengahan 1997. Nilai tukar rupiah jatuh drastis, inflasi melonjak, harga kebutuhan pokok naik, dan pengangguran meningkat tajam. Krisis ekonomi bukan hanya menghantam dompet rakyat, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap kemampuan negara mengelola kehidupan bersama. Dalam istilah Crane Brinton, kondisi ini menciptakan pra-revolusioner: masyarakat merasa bahwa hidup dalam tatanan lama sudah tidak lagi tertahankan.
Di tengah situasi tersebut, kampus-kampus menjadi ruang lahirnya perlawanan intelektual. Mahasiswa, dosen, dan akademisi mulai menggelar diskusi, kajian kritis, dan aksi solidaritas yang membicarakan krisis nasional secara terbuka. Dari ruang-ruang inilah gagasan reformasi politik, penegakan hukum, dan pemberantasan KKN disusun dan disebarluaskan.
Gerakan mahasiswa 1998 bukanlah sekadar luapan emosi sesaat. Ia merupakan hasil konsolidasi pemikiran yang matang. Mahasiswa bertindak sebagai juru bicara keresahan rakyat, menerjemahkan penderitaan ekonomi dan ketidakadilan politik ke dalam tuntutan yang jelas dan terarah. Dalam kerangka teori Brinton, kaum intelektual memang berfungsi sebagai katalis revolusi: mereka mengartikulasikan ketidakpuasan, memberi bahasa pada kemarahan, dan mengarahkan energi massa menuju tujuan politik tertentu.
Dukungan terhadap gerakan ini meluas. Media massa mulai memberitakan krisis dan protes dengan lebih berani, sementara tokoh masyarakat sipil, LSM, dan kelompok profesional ikut menyuarakan perubahan. Terbentuklah aliansi longgar antara mahasiswa dan masyarakat luas yang sama-sama menuntut reformasi total.
Puncak ketegangan terjadi pada 12 Mei 1998 dalam peristiwa Tragedi Trisakti. Aksi damai mahasiswa Universitas Trisakti berakhir tragis ketika aparat keamanan melepaskan tembakan peluru tajam. Empat mahasiswa tewas, dan puluhan lainnya luka-luka. Peristiwa ini mengguncang nurani publik dan menjadi simbol kekerasan negara terhadap rakyatnya sendiri.
Kematian mahasiswa Trisakti memicu gelombang kemarahan nasional. Dalam hitungan hari, Jakarta dan sejumlah kota besar dilanda kerusuhan hebat. Penjarahan, pembakaran, dan kekerasan sosial terjadi di berbagai tempat, dengan kelompok masyarakat Tionghoa menjadi korban paling rentan. Kerusuhan ini menunjukkan sisi gelap dari ledakan sosial: kemarahan yang bercampur frustrasi ekonomi dan sentimen primordial.
Namun, justru di titik inilah rezim Orde Baru kehilangan sisa legitimasi moralnya. Tindakan represif negara tidak lagi mampu meredam protes, melainkan mempercepat keruntuhan kekuasaan. Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri.
Jika ditinjau melalui teori Crane Brinton, Reformasi 1998 dapat dipahami sebagai bentuk revolusi politik. Ia tidak mengubah struktur kelas secara radikal seperti Revolusi Rusia, tetapi berhasil menggulingkan rezim yang kehilangan legitimasi melalui tekanan massa yang dipimpin kaum intelektual.
Krisis ekonomi melemahkan fondasi material rezim, represi politik memperdalam kebencian rakyat, dan mahasiswa memberikan arah ideologis bagi perubahan. Ketiga faktor ini saling berinteraksi dan menciptakan mekanisme kausal yang lengkap. Pendekatan multidimensional ala Sartono Kartodirdjo membantu melihat bahwa peristiwa Mei 1998 bukanlah hasil satu sebab tunggal, melainkan pertemuan berbagai dimensi ekonomi, politik, sosial, dan kultural.
Reformasi memang membuka jalan bagi demokratisasi: kebebasan pers, pemilu multipartai, dan ruang partisipasi publik yang lebih luas. Namun, ia juga meninggalkan pekerjaan rumah besar, terutama dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Sejarah menunjukkan bahwa revolusi tidak pernah menjadi akhir dari perjuangan, melainkan awal dari bab baru yang penuh tantangan.
Kerusuhan Mei 1998 membuktikan bahwa sejarah tidak bergerak secara acak. Ia digerakkan oleh rangkaian sebab-akibat yang melibatkan krisis struktural dan kekuatan gagasan. Mahasiswa dan intelektual Indonesia pada 1998 menunjukkan bahwa ide dapat menjadi kekuatan nyata yang mengubah arah bangsa. Dalam konteks filsafat sejarah, peristiwa ini menegaskan bahwa perubahan besar lahir ketika penderitaan material bertemu dengan kesadaran intelektual dan keberanian kolektif rakyat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
