Ketika Anak Tidak Mendapat Perawatan: Masalah dalam Pelayanan Kesehatan
Info Terkini | 2025-12-16 19:31:35
Anak merupakan kelompok yang sangat rentan dalam sistem pelayanan kesehatan karena kondisi fisik dan psikologisnya yang masih berkembang. Tanpa perawatan medis yang tepat waktu, anak berisiko mengalami gangguan perkembangan serta ancaman serius terhadap keselamatan hidupnya. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua anak memiliki akses yang setara terhadap layanan kesehatan yang aman dan berkualitas. Permasalahan ini tidak hanya berkaitan dengan aspek medis, tetapi juga mencerminkan kemampuan sistem kesehatan dalam melindungi kelompok paling rentan.
Cerminan dari kegagalan sistem dalam melindungi kelompok rentan ini terjadi di RSUD Embung Fatimah, Kota Batam. Seorang anak yang seharusnya mendapatkan prioritas penanganan karena kondisi fisiknya yang memburuk, justru diduga menjadi korban penolakan layanan yang berujung pada konsekuensi tragis hilangnya nyawa. Kasus ini menjadi indikator betapa rapuhnya perlindungan kesehatan bagi kelompok rentan dan menimbulkan pertanyaan besar terhadap komitmen fasilitas publik terhadap keselamatan pasien. Insiden ini bukan hanya sekedar kegagalan manajerial tetapi kegagalan dalam menjalankan landasan hukum dan etika dalam menjalankan kewajiban atas pelayanan kesehatan.
RSUD Embung Fatimah, Kota Batam menjadi sorotan masyrakat setelah diduga menolak seorang anak kecil berusia 12 tahun bernama Alif hingga berujung pada hilangnya nyawa anak tersebut. Awalnya, Alif datang ke rumah sakit dengan kondisi demam tinggi dan berharap untuk mendapatkan pertolongan medis melalui perawatan inap. Namun, pihak rumah sakit tidak memberikan layanan yang dibutuhkan terhadap anak tersebut. Kondisi Alif yang mengalami demam tinggi membuat situasi semakin memburuk. Ditambah lagi, ia tidak mendapatkan kamar perawatan inap dan kemudian dilaporkan telah meninggal dunia.
Peristiwa ini mengejutkan banyak pihak, salah satunya Anggota Komisi XIII DPR RI, Anisah Syakur. Ia mengatakan bahwa dalam kasus ini terdapat dugaan pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak anak atas pelayanan kesehatan yang layak. Oleh karena itu, Anisah mendesak Komnas HAM untuk segera melakukan penyeldikan untuk mencari tau akan persoalan yang terjadi, mulai dari peran tenaga medis, manajemen RSUD Embung Fatimah, hingga pihak terkait lainnya. Selain itu, Kementrian Kesehatan juga didorong untuk melakukan evaluasi terhadap standar operasional prosedur (SOP) pelayanan pasien di rumah sakit pemerintah guna mencegah terjadnya kejadian serupa.
Dalam konteks hukum di Indonesia, hak atas pelayanan kesehatan dijamin sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ketentuan ini menempatkan negara dan seluruh penyelenggara pelayanan kesehatan pada posisi bertanggung jawab untuk memastikan terpenuhinya hak tersebut, khususnya bagi kelompok rentan seperti anak-anak.
Secara lebih spesifik, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau (Pasal 5 ayat 2). Selain itu, Pasal 32 ayat (2) UU Kesehatan secara tegas menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan tanpa menolak pasien dan tanpa meminta uang muka. Ketentuan ini menegaskan bahwa pertimbangan administratif, termasuk status kepesertaan jaminan kesehatan, tidak boleh menghambat pemberian layanan medis, terutama pada kondisi yang berpotensi mengancam keselamatan jiwa.
Di perkuat dengan standar operasional pelayanan gawat darurat diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit serta ketentuan terkait pelayanan kegawatdaruratan. Regulasi ini menegaskan bahwa Instalasi Gawat Darurat (IGD) wajib memberikan pelayanan segera untuk mencegah kematian dan kecacatan, serta menjamin keselamatan pasien. Dalam praktiknya, kondisi seperti demam tinggi pada anak harus dipandang sebagai keadaan yang berisiko tinggi dan memerlukan observasi serta penanganan intensif, mengingat anak memiliki kerentanan terhadap perburukan kondisi secara cepat.
Dengan demikian, apabila rumah sakit menunda atau menolak pelayanan medis yang seharusnya diberikan dengan alasan keterbatasan administrasi atau kuota rawat inap, maka tindakan tersebut berpotensi bertentangan dengan standar pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kasus Alif di RSUD Embung Fatimah menunjukkan adanya kesenjangan antara norma hukum dan praktik pelayanan di lapangan. Hal ini menegaskan pentingnya penguatan implementasi standar pelayanan kesehatan agar prinsip keselamatan pasien, keadilan, dan perlindungan hak anak benar-benar terwujud dalam sistem pelayanan kesehatan nasional.
Kasus tragis Alif di RSUD Embung Fatimah menyoroti secara kritis bagaimana birokrasi yang kaku dapat menghambat penanganan medis darurat, yang dalam kasus ini terjadi saat Alif menderita demam tinggi di atas 40°C. Keluarga korban melaporkan adanya keterlambatan fatal karena proses administrasi dan verifikasi dokumen asuransi (KIS/BPJS Kesehatan) berlarut-larut. Hambatan ini diperparah oleh adanya pembatasan kuota kamar rawat inap harian yang diterapkan manajemen rumah sakit. Kebijakan rumah sakit tipe C yang mensyaratkan konfirmasi asuransi, bahkan hingga 2-3 jam sebelum rawat inap, jelas bertentangan dengan mandat UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mewajibkan layanan darurat tanpa kendala birokrasi.
Masalah yang menimpa Alif bukan insiden tunggal, mengingat Kementerian Kesehatan mencatat 30% pengaduan pasien di rumah sakit daerah tahun 2024 terkait hambatan administratif. Pengaturan kuota kamar oleh pimpinan RSUD Embung Fatimah juga dikritik karena memicu penolakan rawat inap, meskipun ruang IGD seharusnya diprioritaskan. Pengamat seperti Anisah Syakur menilai bahwa kegagalan administratif ini merupakan kegagalan sistem secara keseluruhan, di mana aturan yang kaku mengabaikan hak hidup pasien. Kasus ini kini memicu antisipasi penyelidikan oleh Komnas HAM untuk mengungkap dugaan kelalaian, baik pada pelatihan petugas maupun pengabaian Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 mengenai Pelayanan Darurat.
Keterbatasan fasilitas dan tenaga medis merupakan persoalan struktural yang memiliki peran penting dalam terjadinya penolakan pelayanan kesehatan, sebagaimana terlihat pada kasus meninggalnya seorang anak setelah tidak memperoleh layanan rawat inap di RSUD Embung Fatimah. Sebagai institusi rujukan, rumah sakit seharusnya didukung oleh sarana, prasarana, serta sumber daya manusia yang memadai, terutama untuk menangani kondisi kegawatdaruratan. Namun, dalam pelaksanaannya, keterbatasan jumlah tempat tidur, ruang perawatan, dan fasilitas penunjang medis kerap menjadi pertimbangan tersembunyi dalam pengambilan keputusan pelayanan.
Keterbatasan tersebut semakin diperparah oleh tekanan administratif dan tingginya volume pasien, khususnya di rumah sakit daerah yang melayani sebagian besar peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam situasi kapasitas rawat inap yang terbatas, rumah sakit cenderung menerapkan kriteria kegawatdaruratan secara kaku sebagai mekanisme seleksi pasien. Akibatnya, pertimbangan klinis sering kali bergeser dari penilaian risiko medis ke arah keterbatasan sumber daya dan prosedur administratif. Hal ini menegaskan bahwa keterbatasan fasilitas tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga berdampak langsung pada pemenuhan hak pasien atas layanan kesehatan yang layak.
Di samping itu, kekurangan tenaga medis menjadi tantangan serius dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Ketidakseimbangan antara jumlah tenaga kesehatan dan beban pasien berpotensi menurunkan kualitas pengambilan keputusan klinis. Tenaga medis yang bekerja dalam kondisi tekanan kerja tinggi cenderung melakukan penilaian yang singkat dan kurang mendalam, terutama di unit gawat darurat. Dalam kasus pasien anak, situasi ini dapat berimplikasi pada tidak optimalnya evaluasi medis, meskipun secara klinis anak memiliki risiko perburukan kondisi yang lebih cepat.
Keterbatasan jumlah tenaga medis juga berdampak pada rendahnya kualitas komunikasi antara rumah sakit dan keluarga pasien. Waktu dan sumber daya yang terbatas sering menyebabkan informasi mengenai kondisi pasien, potensi risiko, serta pilihan penanganan tidak disampaikan secara menyeluruh. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, melemahkan posisi keluarga dalam proses pengambilan keputusan, dan meningkatkan risiko terjadinya keputusan yang membahayakan keselamatan pasien.
Dengan demikian, persoalan keterbatasan fasilitas dan tenaga medis mencerminkan masalah sistemik yang berkaitan erat dengan tanggung jawab negara dalam menjamin hak atas kesehatan. Tanpa dukungan sumber daya yang memadai, rumah sakit akan kesulitan mewujudkan prinsip keselamatan pasien, keadilan, dan non-diskriminasi. Oleh karena itu, penguatan kapasitas fasilitas kesehatan serta pemerataan distribusi tenaga medis harus dipahami sebagai bagian penting dari upaya perlindungan hak asasi manusia dalam bidang pelayanan kesehatan.
Dalam kasus penolakan pasien Alif mencerminkan masalah struktural yang kompleks, terutama penolakan rawat inap didasarkan pada interpretasi administratif BPJS, dimana kondisi Alif tidak dianggap gawat darurat. Namun, dari perspektif medis, demam tinggi pada anak bisa berkembang menjadi kondisi serius seperti sepsis atau meningitis jika tidak ditangani tepat waktu. Faktor ekonomi keluarga (kemiskinan) semakin memperburuk keadaan, karena tidak mampu dalam membayar biaya rawat inap mandiri. Hal ini mencerminkan kegagalan sistemik di mana prioritas administratif mengalahkan kebutuhan kesehatan riil, seperti yang disoroti oleh Komisi XIII DPR RI. Secara keseluruhan, kasus ini menunjukkan bahwa aspek administratif dan pembiayaan masih sering mengalahkan prinsip kemanusiaan dan hak pasien atas pelayanan kesehatan yang layak.
Kasus tragis yang menimpa Alif (12 tahun) meninggal setelah ditolak untuk dirawat inap oleh RSUD Embung Fatimah Kota Batam memberikan dampak serius, tidak hanya bagi pasien tetapi juga bagi keluarganya.
1. Hilangnya Nyawa dan Trauma Keluarga
Alif akhirnya meninggal dunia setelah tidak bisa dirawat inap meskipun kondisi kesehatannya memburuk. Bagi keluarga, kehilangan seorang anak tentu merupakan pengalaman yang sangat menyakitkan secara emosional dan psikologis. Keluarga tidak hanya berduka, tetapi juga mengalami trauma karena proses yang tidak semestinya mereka hadapi saat mencari pertolongan medis.
2. Rasa Ketidakadilan dan Kekecewaan
Keluarga korban pasti merasa bahwa hak atas layanan kesehatan telah diabaikan. Dalam kasus ini, keluarga merasa dipaksa membawa pulang Alif karena rumah sakit menilai kondisinya “tidak gawat darurat” sehingga BPJS tidak bisa digunakan untuk rawat inap. Ini menimbulkan rasa ketidakadilan, apalagi ketika nyawa menjadi taruhannya.
3. Kerugian Finansial dan Ketidakpastian Perlindungan
Penolakan layanan kesehatan membuat keluarga harus menghadapi ketidakpastian biaya dan upaya mencari fasilitas lain. Ketakutan akan biaya dan pengurusan administrasi seperti aturan BPJS menjadi beban tambahan di tengah situasi darurat. Ini dapat menciptakan tekanan ekonomi, terutama bagi keluarga yang tidak mampu secara finansial.
4. Dampak Sosial dan Kepercayaan Terhadap Sistem Kesehatan
Kejadian ini juga dapat berdampak luas pada kepercayaan publik terhadap sistem pelayanan kesehatan nasional. Keluarga dan masyarakat mungkin semakin ragu untuk mencari pertolongan medis karena takut ditolak atau dipersulit, yang pada akhirnya dapat mengancam keselamatan pasien lainnya di masa depan.
5. Kebutuhan Akan Perubahan Sistemik
Keluarga korban dan masyarakat kini mendesak adanya investigasi dan perbaikan sistem pelayanan kesehatan, termasuk evaluasi prosedur rumah sakit dan sistem jaminan seperti BPJS, agar tragedi serupa tidak terulang. Desakan ini menunjukkan bahwa dampaknya tidak hanya bersifat pribadi tetapi mendorong perubahan sosial dan kebijakan.
Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan pelayanan kesehatan di rumah sakit berjalan sesuai standar, terutama pada fasilitas kesehatan milik negara. Melalui Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan setempat, pemerintah berperan mengawasi penerapan SOP rumah sakit agar setiap pasien, khususnya anak-anak, mendapatkan penanganan medis yang tepat dan layak. Selain pengawasan, pemerintah juga berkewajiban melakukan pemeriksaan serta penindakan apabila ditemukan indikasi kelalaian atau pelanggaran dalam pelayanan kesehatan.
Untuk mencegah terjadinya permasalahan serupa, pemerintah perlu melakukan peninjauan dan penyempurnaan SOP secara berkala, meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan melalui pelatihan berkelanjutan, serta memperketat sistem pengawasan dan audit rumah sakit. Di samping itu, penyediaan saluran pengaduan yang mudah diakses dan peningkatan pemahaman masyarakat mengenai hak pasien dan hak anak menjadi langkah penting dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang aman, adil, dan bertanggung jawab.
Berdasarkan analisis kasus penolakan layanan kesehatan kepada anak bernama Alif di RSUD Embung Fatimah, Kota Batam, yang berujung pada kematiannya akibat demam tinggi, solusi praktis diperlukan untuk mengatasi masalah struktural seperti hambatan administratif, keterbatasan fasilitas, kekurangan tenaga medis, dan prioritas sistemik yang mengabaikan hak anak atas kesehatan. Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan dan lembaga terkait, harus segera melakukan evaluasi dan penyempurnaan standar operasional prosedur pelayanan darurat berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2020, memastikan bahwa kondisi seperti demam tinggi pada anak selalu dianggap sebagai keadaan darurat yang memerlukan penanganan segera tanpa kendala verifikasi administrasi yang berlarut-larut. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan audit rutin terhadap rumah sakit, memberikan sanksi tegas jika ditemukan pelanggaran, serta mengalokasikan anggaran untuk memperluas kapasitas fasilitas kesehatan, menambah jumlah tenaga medis, dan melakukan redistribusi sumber daya melalui program seperti Nusantara Sehat. Reformasi sistem jaminan kesehatan seperti BPJS juga krusial, dengan penyederhanaan proses verifikasi untuk kasus darurat, prioritas pada anak-anak dan keluarga miskin, serta kampanye edukasi masyarakat tentang hak atas kesehatan. Lebih lanjut, pemerintah harus mendorong investigasi mendalam oleh Komnas HAM dan penegakan hukum jika terbukti ada kelalaian, untuk memberikan efek jera dan mencegah insiden serupa.
Sementara itu, tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat harus memprioritaskan etika medis dengan mengikuti pelatihan berkelanjutan tentang penanganan darurat anak, memastikan penilaian klinis didahulukan daripada birokrasi, dan memberikan layanan segera dalam situasi kritis dengan memanfaatkan ruang IGD sebagai alternatif sementara jika kuota kamar terbatas. Komunikasi yang efektif dengan keluarga pasien juga penting untuk menghindari kesalahpahaman, serta melaporkan hambatan internal ke atasan agar sistem dapat diperbaiki. Pihak terkait lainnya, termasuk manajemen rumah sakit, harus fleksibilisasikan kebijakan kuota kamar rawat inap dan mengintegrasikan sistem administrasi dengan BPJS untuk verifikasi yang lebih cepat. Keluarga dan masyarakat dapat berkontribusi dengan meningkatkan kesadaran melalui kampanye edukasi dan memanfaatkan saluran pengaduan, sementara organisasi seperti Komisi XIII DPR RI, Komnas HAM, dan UNICEF perlu mendorong investigasi, rekomendasi kebijakan, serta kolaborasi untuk perlindungan anak. BPJS sebagai penyedia jaminan kesehatan harus menyederhanakan proses dan menyediakan mekanisme banding cepat jika terjadi penolakan. Implementasi solusi ini memerlukan kolaborasi lintas sektor dengan timeline yang jelas dan monitoring berkala untuk memastikan efektivitasnya.
Secara keseluruhan, artikel ini mengungkap kegagalan sistem pelayanan kesehatan nasional melalui kasus tragis kematian Alif, yang melanggar hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam undang-undang kesehatan, dengan faktor utama seperti hambatan administratif, keterbatasan sumber daya, dan prioritas sistemik yang mengabaikan kebutuhan klinis anak-anak rentan. Dampaknya meliputi hilangnya nyawa, trauma keluarga, rasa ketidakadilan, kerugian finansial, dan erosi kepercayaan publik, menegaskan urgensi reformasi untuk memastikan akses kesehatan yang setara, mencegah tragedi serupa, dan mewujudkan perlindungan hak asasi manusia yang adil serta bertanggung jawab. Dengan tindakan kolektif dari semua pihak, sistem kesehatan dapat menjadi lebih aman dan manusiawi.
Sumber :
UNICEF. (2021). The state of the world’s children 2021: On my mind – Promoting, protecting and caring for children’s mental health. United Nations Children’s Fund.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
