Nilai-Nilai Pancasila sebagai Penangkal Budaya Konsumtif di Media Sosial
Pendidikan | 2025-12-15 00:08:32
Cepat, gegas, dan tanpa jeda. Begitulah ritme kita saat menggulirkan media sosial hari ini. Setiap iklan baru, video unboxing barang mewah, atau endorsement yang tampak menarik sering kali membuat kita merasa bahwa kebahagiaan ada pada pembelian berikutnya. Fenomena seperti FOMO, budaya flexing, influencer marketing, hingga live shopping semakin memperkuat dorongan untuk membeli sesuatu meski sebenarnya tidak dibutuhkan. Tanpa disadari, kita ikut terhanyut dalam budaya konsumtif. Banyak orang membeli barang bukan karena benar-benar membutuhkan, tetapi karena sekadar ingin. Kehadiran e-commerce yang semakin agresif juga membuat kita mudah berpikir mengikuti flash sale demi hadiah, terpikat pada kemasan menarik, atau bahkan merasa perlu menjaga gengsi melalui barang tertentu. Ada pula yang memilih membeli barang mahal hanya karena mengikuti influencer yang mempromosikannya. Pada akhirnya, keputusan membeli lebih banyak dipengaruhi tren dan citra daripada manfaat sebenarnya.
Perilaku membeli barang hanya karena keinginan dan bukan kebutuhan memberikan dampak yang cukup besar dalam kehidupan seseorang. Gaya hidup menjadi lebih boros karena muncul perasaan tidak pernah cukup dengan apa yang sudah dimiliki. Perbandingan sosial juga semakin jelas terlihat ketika kita menilai diri sendiri berdasarkan apa yang ditampilkan orang lain di media sosial. Perlahan-lahan, kesadaran diri dan kontrol finansial ikut menurun. Hal ini tampak pada kebiasaan mengikuti barang yang sedang viral. Derasnya promosi dan ulasan membuat kita mudah mengambil hingga akhirnya tanpa membeli pertimbangan yang matang. Pola tersebut terus berulang seiring munculnya tren baru yang dianggap perlu untuk diikuti.
Di tengah dinamika tersebut, nilai-nilai Pancasila sebenarnya bisa menjadi pegangan agar kita tetap sadar dan tidak mudah terseret arus konsumtif. Setiap sila memberikan cara pandang yang berbeda, tetapi semuanya mengarah pada satu tujuan yang sama, yaitu menjaga keseimbangan dalam media sosial dan dalam pengambilan keputusan sebagai konsumen.
A. Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sebagai Etika Konsumen
Sila kedua mengingatkan kita untuk menjadi konsumen yang beradab, yaitu mereka yang mempertimbangkan hati nurani dan akal sehat saat membeli sesuatu. Di tengah promosi yang terus bermunculan dan tren yang terus berganti, kita sering menyadari dampak etika dan sosial dari pola konsumsi yang serba cepat di luar layar. Contohnya terlihat pada maraknya produk yang dipopulerkan melalui influencer yang terkadang tidak menampilkan proses produksi di belakangnya. Tren yang cepat dan harga yang murah bisa saja berkaitan dengan kondisi kerja yang tidak layak atau proses produksi yang merusak lingkungan. Ketika kita membeli tanpa mempertimbangkan hal-hal seperti ini, kita secara tidak langsung ikut membela ketidakadilan tersebut. Sila kedua menjadi pengingat agar kita tidak hanya memikirkan kepuasan pribadi, tetapi juga memastikan bahwa pilihan kita selaras dengan nilai kemanusiaan dan keadilan.
B. Sila Kelima: Keadilan Sosial dan Sikap Anti Boros
Setelah membahas masalah etika, sila kelima menuntun kita untuk lebih bijaksana dalam menggunakan sumber daya agar tidak terjebak dalam gaya hidup yang berlebihan. Hal ini terasa sangat relevan ketika kita melihat budaya pamer yang begitu kuat di media sosial, mulai dari unboxing barang mahal hingga konten yang menonjolkan kemewahan. Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang berbeda-beda, pola konsumsi seperti itu sering menimbulkan ketimpangan dan tekanan sosial. Sila kelima secara tegas mengingatkan bahwa Keadilan Sosial tidak akan tercapai jika kita terus mendorong perilaku boros dan hedonisme yang hanya fokus pada citra. Dengan menerapkan sikap sederhana dan bertanggung jawab, kita tidak hanya menjaga kondisi finansial pribadi, tetapi juga ikut membangun lingkungan sosial yang lebih merata dan tidak terjebak dalam materialisme yang memecah perhatian masyarakat.
Untuk menghadapi tren konsumtif di media sosial, kita tidak harus membatasi ruang digital, tetapi memperbaiki cara menggunakannya. Nilai-nilai Pancasila bisa menjadi penyaring agar kita lebih tenang dan sadar sebelum terbawa arus. Kita bisa mulai membiasakan diri memahami perbedaan antara kebutuhan dan keinginan yang muncul karena tren. Prinsip hidup sederhana dalam sila kelima juga perlu dijaga agar keuangan tetap stabil dan penggunaan sumber daya lebih merata. Pada akhirnya, kita bisa bertanya pada diri sendiri sebelum membeli apakah barang itu benar-benar dibutuhkan dan apakah proses di baliknya sudah menghargai nilai kemanusiaan. Kebiasaan sederhana ini dapat menjadi pengingat agar kita lebih bijaksana dalam menghadapi budaya konsumtif di dunia digital.
Pada akhirnya, Pancasila bisa menjadi pegangan yang membuat kita tetap jernih di tengah derasnya arus konsumtif di media sosial. Jika nilainya benar-benar diterapkan, ruang digital bisa menjadi lebih sehat dan tidak hanya memicu dorongan untuk membeli. Budaya konsumtif mungkin tetap ada, tetapi bisa lebih terkendali ketika kita mau berhenti sejenak, mempertimbangkan, dan tidak membiarkan tren suatu saat mengarahkan kehidupan kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
