Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Imam Septiana Mutaqin

Teknologi yang Melaju, Desa yang Menunggu

Teknologi | 2025-12-14 19:33:25

Transformasi digital di Indonesia berjalan dengan kecepatan tinggi. Layanan publik berbasis aplikasi, transaksi non-tunai, hingga aktivitas ekonomi digital kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, terutama di kota-kota besar. Pemerintah pun kerap menegaskan komitmennya terhadap digitalisasi sebagai pendorong efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik narasi kemajuan tersebut, ada kelompok masyarakat yang belum sepenuhnya ikut bergerak: masyarakat desa.

Bagi banyak warga desa, digitalisasi masih terasa sebagai janji yang belum sepenuhnya hadir dalam kehidupan nyata. Akses internet yang tidak stabil, keterbatasan perangkat, dan rendahnya literasi digital membuat berbagai layanan berbasis teknologi sulit dimanfaatkan secara optimal. Padahal, banyak kebijakan publik kini dirancang dengan asumsi bahwa masyarakat telah “siap digital”.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara akses internet di wilayah perkotaan dan perdesaan. Meski penetrasi internet nasional terus meningkat, proporsi rumah tangga di desa yang memiliki akses internet masih tertinggal dibandingkan kota. Ketimpangan ini bukan sekadar soal koneksi, tetapi juga menyangkut kesempatan ekonomi dan akses terhadap layanan dasar.

Di kota, digitalisasi membuka banyak peluang. Pelaku usaha dapat memasarkan produk melalui platform daring, pekerja mengakses peluang kerja fleksibel, dan masyarakat menikmati layanan publik yang lebih cepat. Sementara itu, di desa, pelaku UMKM kerap kesulitan menjangkau pasar digital karena keterbatasan jaringan dan kemampuan teknis. Akibatnya, mereka tetap bergantung pada pasar lokal dengan daya serap yang terbatas.

Kondisi ini berdampak langsung pada ekonomi masyarakat desa. Program digitalisasi UMKM, misalnya, sering kali tidak berjalan optimal karena tidak disertai pendampingan yang memadai. Banyak pelaku usaha desa memiliki produk yang potensial, tetapi tidak mampu bersaing di platform digital yang menuntut konsistensi produksi, kualitas visual, serta pengelolaan pesanan berbasis teknologi. Digitalisasi yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan justru berisiko memperlebar kesenjangan.

Kementerian Komunikasi dan Informatika memang mencatat pembangunan infrastruktur digital terus dilakukan, termasuk melalui perluasan jaringan dan program desa digital. Namun, tantangan di lapangan menunjukkan bahwa infrastruktur saja tidak cukup. Tanpa penguatan kapasitas masyarakat, teknologi cenderung menjadi simbol, bukan solusi. Akses ada, tetapi pemanfaatannya terbatas.

Ketimpangan ini juga terlihat dalam layanan publik digital. Banyak layanan administrasi kini berpindah ke platform daring, dari pendaftaran bantuan sosial hingga layanan kesehatan. Bagi masyarakat desa yang tidak terbiasa dengan teknologi atau memiliki keterbatasan akses, proses ini justru menjadi hambatan baru. Alih-alih mempermudah, digitalisasi berpotensi menciptakan eksklusi bagi mereka yang tertinggal.

Laporan Bank Dunia dalam beberapa tahun terakhir menekankan bahwa kesenjangan digital berkontribusi pada ketimpangan ekonomi dan sosial, terutama di negara berkembang. Tanpa intervensi kebijakan yang inklusif, digitalisasi cenderung menguntungkan kelompok yang sudah memiliki modal—baik ekonomi maupun pengetahuan—sementara kelompok lain semakin tertinggal. Indonesia tidak terkecuali dari risiko ini.

Masalahnya bukan pada teknologi itu sendiri, melainkan pada cara digitalisasi dirancang dan diterapkan. Pendekatan yang terlalu berorientasi kota membuat kebutuhan dan realitas desa sering kali terabaikan. Program digital sering diperlakukan sebagai proyek teknis, bukan proses sosial yang membutuhkan adaptasi, edukasi, dan pendampingan jangka panjang.

Padahal, desa memiliki potensi besar dalam ekonomi digital, mulai dari produk pertanian, kerajinan, hingga pariwisata berbasis komunitas. Dengan pendekatan yang tepat, teknologi justru dapat menjadi alat pemerataan. Namun, hal itu hanya mungkin jika digitalisasi disertai kebijakan afirmatif yang berpihak pada wilayah tertinggal.

Ke depan, tantangan utama digitalisasi nasional bukan lagi soal kecepatan inovasi, melainkan soal keadilan akses. Pemerintah perlu memastikan bahwa transformasi digital tidak berhenti pada pembangunan aplikasi dan jaringan, tetapi juga menyentuh aspek literasi, pendampingan, dan keberlanjutan ekonomi masyarakat desa. Tanpa itu, digitalisasi berisiko memperlebar jurang antara kota dan desa.

Teknologi seharusnya menjadi jembatan, bukan sekat. Jika desa terus menunggu sementara teknologi terus melaju, maka tujuan besar digitalisasi—yakni pemerataan dan kesejahteraan—akan sulit tercapai. Di sinilah refleksi perlu dilakukan: kemajuan digital tidak cukup diukur dari seberapa cepat inovasi hadir, tetapi dari seberapa banyak masyarakat yang benar-benar dapat merasakan manfaatnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image