Lonjakan Kasus Bullying: Tanda Bahaya yang Diabaikan Sekolah dan Pemerintah
Info Terkini | 2025-12-12 12:36:07
Lonjakan kasus perundungan di Indonesia menunjukkan bahwa dunia pendidikan sedang berada dalam situasi genting yang tidak boleh terus diabaikan. Berdasarkan data Polri, jumlah kasus meningkat tajam dari 285 pada tahun 2023 menjadi 573 kasus pada 2024. Kenaikan dua kali lipat ini bukan hanya deretan angka, tetapi sinyal serius bahwa ruang belajar yang seharusnya aman bagi anak justru berubah menjadi tempat yang rawan kekerasan.
Sekitar sepertiga kasus terjadi di lingkungan sekolah, baik negeri maupun swasta, di berbagai wilayah. Penyebabnya beragam, mulai dari konflik antarsiswa, perbedaan latar belakang, hingga minimnya pengawasan. Kondisi ini menunjukkan bahwa sekolah belum optimal menjalankan peran utamanya sebagai lingkungan yang aman, pembentuk karakter, dan penanam nilai moral.
Memasuki tahun 2025, keadaan justru semakin memprihatinkan. Dalam waktu singkat, sedikitnya sembilan kasus besar mencuat secara nasional dan menjadi sorotan publik. Mulai dari penganiayaan berat terhadap siswi SMP di Muratara pada 15 Oktober 2025, dugaan perundungan sistematis di MTS Konawe, hingga kematian tragis seorang siswa SMP di Grobogan pada 19 Oktober 2025 akibat perkelahian yang berulang. Kasus lain seperti pengeroyokan di Palopo, perundungan berkepanjangan di asrama MTS Purwakarta, serta kasus ekstrem di Lampung yang berujung pembunuhan akibat bullying juga semakin mempertegas betapa serius situasi ini.
Fenomena perundungan pun tidak berhenti di jenjang sekolah, perguruan tinggi juga mengalaminya. Kasus di Universitas Udayana menandai bahwa masalah ini telah mengakar dalam budaya pendidikan di semua jenjang pendidikan.
Dampaknya pun sangat besar. Korban tidak hanya mengalami luka fisik, tetapi juga trauma mental jangka panjang seperti ketakutan, hilang percaya diri, kecemasan, hingga depresi. Yang memperburuk keadaan, mekanisme pelaporan di sekolah sering kali lambat dan tidak efektif. Banyak orang tua merasa aspirasinya diabaikan, dan sebagian institusi pendidikan terlihat lebih fokus menjaga reputasi daripada melindungi siswanya.
Untuk menghentikan tren mengkhawatirkan ini, diperlukan langkah reformasi nyata. Pendidikan anti-bullying harus diintegrasikan ke dalam kurikulum, bukan hanya berupa slogan. Guru harus dibekali kemampuan mendeteksi dini perilaku perundungan, sementara orang tua harus dilibatkan secara aktif dalam komunikasi dan pengawasan. Di sisi lain, sekolah wajib menyediakan sistem pelaporan yang aman, cepat, serta memastikan perlindungan bagi korban.
Bullying bukan sekadar persoalan antara pelaku dan korban, ini mencerminkan keruntuhan lingkungan pendidikan itu sendiri. Jika kekerasan dibiarkan, karakter generasi muda akan terdistorsi, dan masa depan bangsa terancam dibentuk oleh kebencian dan rasa takut. Karena itu, darurat bullying harus dipandang sebagai ujian moral bagi kita semua.
Inilah saatnya berhenti menganggap kekerasan di sekolah sebagai sesuatu yang biasa. Sudah saatnya sekolah benar-benar menjadi tempat yang aman, dan masyarakat mengambil peran aktif, bukan menunggu tragedi berikutnya terjadi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
