Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Fatoni

Menyelami Ajaran Sang Pembaharu dari Catatan Muridnya

Sejarah | 2025-12-11 23:05:24

Ada sebuah keunikan tersendiri pada gerakan Muhammadiyah yang jarang dimiliki organisasi modern lainnya. Pendirinya menggerakkan perubahan besar tanpa meninggalkan banyak tulisan. Sang pendiri, Kiai Haji Ahmad Dahlan, dikenal sebagai man of action yang lebih memilih memperlihatkan ajaran Islam melalui tindakan ketimbang deretan narasi panjang. Itu sebabnya, catatan salah satu murid beliau ini menjadi sangat berharga.

Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah salah satu pintu paling otentik untuk memahami batin gerakan pembaruan yang beliau rintis. Buku ini bukan semata biografi. Ia lebih mirip cermin jiwa yang memantulkan falsafah-falsafah dasar yang terus dihidupi Kiai Dahlan sepanjang hidupnya. Di tangan KRH. Hadjid, ajaran tersebut dirapikan menjadi dua bagian besar; 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat yang ditafsirkan Kiai Dahlan.

Judul : Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an

Penulis : KRH. Hadjid

Penyunting : Budi Setiawan & Arief Budiman Ch.

Penerbit : Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah

Tebal : x + 204 halaman

ISBN : 979-3602-23-6

Peresensi : Ahmad Fatoni, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang

Membaca ajaran falsafah Kiai Dahlan terasa seperti duduk bersila di serambi masjid, mendengar seorang guru tua penuh kahrisma yang sedang bercerita apa adanya, namun menggetarkan. Seolah setiap kalimatnya mengetuk pintu hati yang paling sunyi dan memanggil kita untuk kembali menjadi manusia yang sebenar-benarnya.

Bagian pertama buku ini membahas “tujuh falsafah ajaran” Kiai Dahlan, yang oleh Hadjid dianggap sebagai inti paling murni dari bimbingan gurunya. Menariknya, falsafah ini tidak disampaikan sebagai teori besar, tetapi sebagai rangkaian nasihat sederhana yang justru memukul tepat di jantung persoalan manusia.

Pelajaran pertama misalnya, menegaskan bahwa manusia “hidup di dunia hanya sekali untuk bertaruh.” Kalimatnya sederhana, namun Kiai Dahlan memadatkan seluruh kesadaran keagamaan dalam satu pesan: jangan hidup dengan lengah. Hidup hanya sekali, tetapi akibatnya kekal.

Nasihat itu kemudian berkembang menjadi refleksi tentang keangkuhan manusia, kebiasaan yang membutakan, hingga bagaimana seseorang harus mengosongkan diri agar mampu menerima kebenaran. Ada satu adegan menarik ketika Kiai Dahlan sering menuliskan peringatan untuk dirinya sendiri di papan tulis di samping meja kerja yang membuat pembaca merasa sangat dekat dengan pergulatan batin beliau.

Di sinilah kekuatan buku ini. Ajaran besar disampaikan melalui detail-detail kecil yang justru membentuk sebuah gambaran besar tentang disiplin spiritual seorang pembaharu. Kita mengenal Kiai Dahlan lewat banyak kisah keteladanan, terutama tentang pengajaran Surat Al-Ma’un. Namun buku ini memperlihatkan sisi lain Kiai Dahlan yang sangat keras, terlebih kepada dirinya sendiri.

Salah satu bagian paling menarik adalah saat Kiai Dahlan mengakui di hadapan para ulama bahwa ia termasuk “ulama’us-su’”, ulama yang merusak agama jika tidak segera bertobat. Tidak banyak tokoh agama yang berani melakukan pengakuan sejujur itu, terlebih di depan publik. Tetapi, itulah inti metode dakwah beliau dengan cara memperbaiki diri sambil memperbaiki masyarakat. Buku ini mempertegas bahwa pembaruan tidak lahir dari keberanian intelektual belaka, tetapi dari keberanian moral.

Bagian kedua buku ini mengurai berbagai ajaran berdasarkan ayat-ayat pilihan. Hadjid mencatat ayat-ayat Al-Qur’an yang paling sering dibaca, direnungkan, dan diajarkan Kiai Dahlan. Ada 17 kelompok, dimulai dari ayat tentang membersihkan diri, melawan hawa nafsu harta, hingga kelompok ayat yang berfokus pada iman, amal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, serta jihad.

Bagi Kiai Dahlan, ayat-ayat tersebut bukan materi kajian, melainkan “peta jalan” pembangunan masyarakat. Beliau membaca Al-Qur’an seolah ia hidup, bergerak, dan menuntut tindakan. Karena itu, tafsir beliau seringkali diarahkan pada praktik sosial dengan melawan kemiskinan, memberantas kebodohan, membela kaum lemah, dan membangun solidaritas.

Ada bagian penting dalam buku ini ketika Hadjid menyatakan inti ajaran Kiai Dahlan terletak pada “Isytirakiyah Islamiyah”, sebuah konsep yang kerap disalahtafsirkan sebagai sosialisme, padahal tujuannya adalah keadilan sosial berbasis iman.

Di tengah arus modernisasi dan banjir wacana keislaman kontemporer, buku ini hadir sebagai jangkar. Ia mengembalikan pembaca pada ajaran gama sebagai jalan memperbaiki diri dan masyarakat, bukan sebagai simbol, identitas, atau slogan.

Selain itu, buku ini juga memperlihatkan metode pendidikan Kiai Dahlan yang relevan hingga kini. Pendidikan senyatan dilakukan secara bertahap, bertindak sebelum berbicara, mempraktikkan sebelum mengajarkan, dan selalu memulai dari apa yang benar-benar dibutuhkan umat.

Bagi warga Muhammadiyah, buku ini diibaratkan rumah kecil tempat kembali pulang ke persyarikatan. Bagi masyarakat umum, buku ini adalah pengingat tentang kejujuran spiritual sebagai pondasi pembaruan agama.

Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan bukan buku tebal dengan bahasa akademik yang rumit. Justru kesederhanaannya itulah yang membuat buku ini tajam dan mendalam. Ia mengajak pembaca kembali ke falsafah hidup yang paling dasar, yaitu untuk apa kita hidup, siapa yang kita ikuti, dan apakah kita sungguh-sungguh hendak menjadi manusia yang selamat.

Dalam keheningan kata-kata yang mengalir lembut, pembaca seakan mendengar suara lirih Kiai Dahlan begitu jernih dan penuh kasih. Beliau ingin menuntun kita untuk kembali kepada sumber ajaran Islam yang otentik dengan hati yang bersih. Akhir kata, ini adalah sebuah buku yang tidak hanya layak dibaca, tetapi juga patut menjadi bahan renungan dalam menghadapi ganasnya ombak kehidupan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image