Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image anggun dwi novita

Ketika Museum Mulai Dilupakan: Alarm Nasionalisme untuk Generasi Muda

Edukasi | 2025-12-09 23:55:14

Di tengah derasnya arus globalisasi, generasi muda semakin terampil dalam memanfaatkan teknologi. Namun fenomena ini justru membuat mereka semakin berjarak dari sejarah bangsanya sendiri. Media sosial, hiburan instan, dan budaya digital kini menjadi sumber utama informasi sekaligus ruang pembentuk opini publik. Sayangnya, seiring perkembangan zaman museum sering kali dipandang sebagai ruang yang usang, monoton, dan kurang relevan bagi kehidupan modern. Padahal, museum memiliki peran strategis dalam menjaga memori kolektif serta menanamkan nilai-nilai kebangsaan melalui dokumentasi perjalanan sejarah bangsa.

Pengalaman saya bersama Kelompok 9 dalam kegiatan Field Study di Museum Pendidikan Surabaya membuktikan bahwa pandangan negatif tersebut tidak sepenuhnya tepat. Kunjungan langsung ke museum menunjukkan bahwa ruang edukatif ini justru memiliki potensi besar untuk memperkuat pemahaman generasi muda mengenai sejarah, identitas, dan perkembangan Pendidikan di Indonesia. Museum tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan artefak, tetapi juga sebagai sarana pembelajaran kontekstual yang mampu memupuk rasa cinta tanah air apabila dimaknai secara mendalam.

Museum Pendidikan Surabaya, yang terletak di Jl. Genteng Kali, menyimpan koleksi sejarah pendidikan Indonesia dari masa praaksara hingga kemerdekaan. Beragam artefak seperti meja sekolah kayu, mesin tik, buku-buku klasik yang tersusun rapi, hingga replika ruang kelas tempo dulu menggambarkan perjalanan panjang pendidikan nasional. Namun, fakta lapangan yang kami temukan yakni museum ini masih sepi pengunjung. Data observasi memperlihatkan bahwa kunjungan harian bahkan tidak mencapai 50 orang. Sebagian besar pengunjung yang kami temui adalah mahasiswa yang datang karena tugas kuliah, bukan individu yang secara sadar ingin mengenal sejarah bangsanya.

Kondisi ini menunjukkan adanya problem yang lebih luas yakni menurunnya rasa cinta tanah air di kalangan generasi muda. Anak muda cenderung lebih familiar dengan budaya luar seperti content creator asing, hingga sejarah negara lain dibandingkan memahami bagaimana pendidikan dan identitas bangsanya sendiri terbentuk. Museum yang seharusnya menjadi ruang pembelajaran, justru tertinggal oleh derasnya arus budaya lain yang popular secara digital. Menurut kami, fenomena ini merupakan bentuk dekadensi moral yang perlahan tetapi pasti mengikis identitas kebangsaan. Rasa memiliki terhadap sejarah bangsa menjadi semakin lemah, padahal pemahaman sejarah adalah fondasi dari terbentuknya karakter nasional. Melalui kegiatan Field Study yang telah dilakukan, kami belajar bahwa museum sebenarnya memiliki kekuatan besar untuk menumbuhkan rasa nasionalisme asal kita memberikan perhatian yang layak.

Wawancara kami dengan petugas museum, Ansari Lidya Putri menunjukkan bahwa pihak museum terus berupaya berinovasi mulai dari memperbaiki fasilitas hingga mengadakan program edukatif seperti “Museum Goes to Campus.” Upaya ini menunjukkan komitmen museum untuk tetap relevan, meskipun minat masyarakat belum sebanding dengan usaha yang telah dilakukan. Pandangan pengunjung yang telah kami wawancarai juga menunjukkan hal serupa. Aliya Putri Nabila, menilai bahwa melihat koleksi secara langsung memberikan kesan yang jauh lebih mendalam dibandingkan belajar melalui buku atau internet. Nashwa menambahkan bahwa kunjungan ke museum membuatnya memahami perjuangan para pendidik masa lalu sehingga rasa nasionalismenya tumbuh lebih kuat.

Sementara itu, Rizky Anugrah Efendi menegaskan bahwa pendidikan adalah bentuk cinta tanah air paling nyata, dan museum Pendidikan merupakan saksi perjalanan panjang pendidikan bangsa. Pandangan-pandangan ini menegaskan bahwa sesungguhnya museum mampu menghadirkan pengalaman historis yang tidak dapat digantikan oleh teknologi modern. Kesadaran inilah yang kemudian menegaskan bahwa museum bukan sekadar tempat menyimpan benda-benda kuno. Museum adalah ruang yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Pengalaman belajar langsung yang ditawarkan museum tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh teknologi. Hal ini sejalan dengan teori "Hooper-Greenhill dan Hein", yaitu museum menghadirkan pembelajaran kontekstual dan konstruktivis yang membangun pemahaman berdasarkan pengalaman nyata, bukan sekadar hafalan saja. Sayangnya, museum belum sepenuhnya menjadi bagian dari gaya hidup generasi muda.

Tantangan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pengelola museum, tetapi juga lembaga pendidikan dan masyarakat, termasuk kita sebagai mahasiswa sebagai bagian dari generasi penerus bangsa. Sudah saatnya kita mengubah cara pandang bahwa museum ialah ruang yang membosankan. Sebaliknya, museum harus dipahami sebagai ruang edukasi yang dapat memperkaya identitas dan memperluas wawasan sejarah. Kampus perlu menjalin kerja sama yang lebih intensif dengan pihak museum Pendidikan. Tidak hanya dalam rangka penyelesaian tugas tetapi sebagai upaya berkelanjutan dalam membangun karakter bangsa.

Beberapa langkah dapat dilakukan untuk mengoptimalkan peran museum. Pertama, museum perlu menghadirkan inovasi seperti storytelling interaktif, pemandu profesional, serta digitalisasi koleksi agar lebih menarik bagi generasi muda. Kedua, pemerintah dan lembaga pendidikan perlu mengintegrasikan kunjungan museum ke dalam kurikulum pendidikan secara lebih bermakna. Ketiga generasi muda harus menumbuhkan kesadaran bahwa mencintai tanah air tak selalu harus dilakukan melalui aksi besar, cukup dengan mengenal sejarah sendiri kita telah berkontribusi dalam menjaga identitas bangsa. Kegiatan Field Study di Museum Pendidikan Surabaya membuka pandangan saya bahwa, cinta tanah air bukan sekadar tentang upacara atau simbol formal lainnya, tetapi tentang memahami bagaimana bangsa ini tumbuh dan berkembang.

Melihat langsung artefak Pendidikan di masa lalu membuat saya merasa lebih dekat dengan perjuangan para tokoh pendidikan yang telah berkontribusi bagi bangsa. Kunjungan yang telah kami lakukan tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran moral bahwa sejarah adalah bagian penting dari identitas nasional Jika generasi muda terus mengabaikan museum, kita sesungguhnya sedang melupakan bagian penting dari jati diri bangsa. Museum bukan sekadar ruang untuk masa lalu, tapi merupakan fondasi untuk masa depan. Masa depan hanya dapat kita jaga jika kita benar-benar memahami dari mana kita berasal.

Surabaya, 9 Desember 2025

Ditulis oleh: Anggun Dwi Novita Sari (Mahasiswa Universitas Airlangga)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image