Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Teungku Afif Ahmad

Memperjuangkan Bahasa: Merefleksi Identitas di Tengah Arus Globalisasi

Sastra | 2025-12-08 08:20:15
Sumber: FREEPIK

Stigma bahwa bahasa lokal hanya sekadar alat komunikasi sehari-hari dan tidak memiliki nilai strategis dalam kehidupan modern telah menjadi kesimpulan yang keliru di tengah masyarakat. Bahkan, sebagian orang tua merasa cukup ketika anaknya fasih berbahasa asing, seolah kemampuan itu telah menjamin masa depan mereka. Namun jika kita cermati lebih jauh, apakah benar bahasa ibu tidak lagi relevan? Apakah identitas budaya bisa dipertahankan tanpa keberlanjutan bahasa yang menjadi pondasinya?

Dalam banyak penelitian kebahasaan, para pengamat kerap mengungkapkan keheranan ketika menemukan masyarakat yang justru mulai meninggalkan bahasa leluhur mereka demi dianggap modern. Fenomena itu menunjukkan ironi: di satu sisi, masyarakat membanggakan budayanya, tetapi di sisi lain, bahasa yang membentuk identitas budaya tersebut tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Aneh rasanya membayangkan komunitas yang mengaku berpegang pada akar tradisinya, namun perlahan menjauh dari bahasa yang menjadi nyawa tradisi itu sendiri.

Sumber: FREEPIK
Bahasa dan identitas

Fakta-fakta tersebut dapat menjadi pelajaran bahwa ada perbedaan besar antara “bahasa sebagai alat komunikasi” dan “bahasa sebagai identitas”. Pada mulanya, bahasa dianggap hanya sebagai sarana untuk menyampaikan pesan. Tetapi, seiring waktu, makna bahasa melebar dan menjelma menjadi simbol yang mewakili cara pandang, pola pikir, dan jati diri kelompok pemiliknya. Sering kali seseorang hanya dianggap bagian dari suatu komunitas ketika ia masih menggunakan bahasanya.

Namun berbeda dengan identitas yang tumbuh secara alami, penggunaan bahasa lokal di tengah masyarakat modern sering kali memunculkan dilema, terutama bagi generasi muda. Mereka menghadapi dinamika sosial yang cepat, ditambah tekanan akademik yang sangat pragmatis. Akibatnya, bahasa lokal dianggap tidak memberikan keuntungan langsung. Banyak dari mereka akhirnya memilih meninggalkan bahasa ibu yang seharusnya menjadi sumber kekuatan identitasnya.

Karakter pejuang bahasa

Upaya mempertahankan bahasa ternyata bukan dimulai dari seberapa fasih seseorang berbicara, tetapi dari sikap dan komitmen yang ia miliki. Tugas pejuang bahasa di tengah masyarakat tidak hanya membahas tata bahasa atau kosakata. Ia juga harus mampu menjawab kegelisahan sosial, terutama ketakutan masyarakat akan kehilangan arah budaya. Seorang pejuang bahasa diharapkan memberikan keteduhan melalui penjelasan yang sederhana namun menenangkan.

Kemampuan ini menuntut kedewasaan dalam menyikapi perubahan. Tidak mungkin seseorang mampu membangkitkan kembali penghargaan masyarakat terhadap bahasa leluhur jika ia sendiri tidak menunjukkan ketegasan sikap. Sebagaimana seorang tokoh dihormati bukan karena ilmunya semata, pejuang bahasa dihargai karena kesabaran, keteguhan, dan konsistensinya membangun kesadaran linguistik.

Di sinilah terlihat bahwa memperjuangkan bahasa bukan perkara pengetahuan teknis semata. Yang lebih penting adalah kemampuan membangun hubungan emosional dengan masyarakat sehingga mereka merasakan urgensi mempertahankan bahasa yang hampir hilang. Ketika masyarakat dapat menerima dan mengamalkan ajakan itu dengan tulus, maka perjuangan bahasa menjadi terasa nyata.

Sumber: FREEPIK
Sifat karismatik dalam perjuangan bahasa

Lalu mengapa hanya sedikit tokoh yang berhasil menjadi simbol perjuangan bahasa di mata masyarakat? Banyak ahli kebudayaan berpendapat bahwa keunggulan seorang pelestari bahasa tercermin dari kemampuannya membangkitkan “emosi kolektif” yang membuat masyarakat merasa dekat dengan bahasa tersebut. Ada dua syarat utama: kemampuan individu untuk memantik kesadaran, dan kesediaan masyarakat untuk menerima pengaruh itu.

Namun penulis memiliki pandangan sedikit berbeda. Memahami keresahan masyarakat tidak selalu cukup untuk membuat mereka peduli pada bahasa sendiri. Perlu langkah yang lebih mendasar: mengubah persepsi yang selama ini salah kaprah. Termasuk persepsi bahwa bahasa lokal adalah penghambat modernitas atau tidak relevan di era global.

Contohnya tampak di beberapa daerah. Ada sekolah yang setiap minggu mengadakan malam budaya, di mana siswa menyanyikan lagu-lagu daerah dengan iringan alat musik modern. Kegiatan sederhana itu perlahan mengubah pandangan masyarakat: bahasa dan budaya lokal tidak harus dipertentangkan dengan teknologi atau gaya hidup kekinian. Justru keduanya bisa saling menguatkan.

Inilah bentuk karisma pejuang bahasa: bukan pada seberapa banyak teori linguistik yang ia kuasai, tetapi pada cara ia mengemas bahasa agar terasa dekat dan menyenangkan. Banyak orang memiliki wawasan luas tentang budaya, namun tidak mampu menyampaikannya dengan bahasa yang mudah dipahami. Karena itu, tokoh yang berhasil memperjuangkan bahasa biasanya adalah mereka yang mampu memberi kenyamanan dan rasa bangga kepada masyarakat ketika menggunakan bahasa sendiri.

Bahasa tidak hanya soal tata bahasa dan kosakata, tetapi soal penghargaan. Menjadi pejuang bahasa bukan perkara melestarikan kata-kata lama, melainkan merawat identitas bersama. Dan semua itu bermula dari kemampuan mendengarkan, memahami, dan menghargai setiap suara yang tumbuh dari akar kebudayaan kita sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image