Hidup di Bali Memang Indah, Tapi Kenapa Rasanya Mahal Sekali?
Gaya Hidup | 2025-11-25 09:02:49
Saya selalu membayangkan hidup di Bali seperti tinggal di kartu pos: bangun pagi dengan aroma laut, kerja dari kafe estetik, lalu tutup hari dengan sunset berwarna keemasan. Nyatanya, setelah beberapa kali tinggal dan bolak-balik ke Bali, ada satu hal yang konsisten saya dengar dari banyak orang: “Tinggal di Bali itu mahal.”
Pertanyaannya, benar nggak sih? Dan kalau benar, kenapa bisa begitu?
Setelah mengamati cukup lama, berbincang dengan pekerja lokal, anak rantau, hingga digital nomad, saya menyimpulkan: Bali itu indah, tapi biaya hidupnya terbentuk oleh banyak faktor yang seringkali tidak terlihat dari luar.
1. Bali Bukan Cuma Temat Wisata Tapi "Martket Global"
Bali bukan sekadar pulau loh. Bali itu layaknya “ekosistem ekonomi berskala internasional” yang kebetulan berada di Indonesia. Di satu sisi, ini jadi berkah. Tapi di sisi lain malah harga pasar ikut terdongkrak.
Ribuan digital nomad yang dibayar dalam dolar otomatis menaikkan standar harga dari sewa tempat tinggal, makanan, sampai jasa barbershop.
“Kalau bule sanggup bayar 150 ribu untuk es kopi susu, kenapa saya harus jual 25 ribu?” Begitu kira-kira logika sebagian pelaku usaha.
Masuk akal sih, tapi berat buat warga lokal yang gajinya mengikuti UMR.
2. UMR Bali Bukan Jakarta Tapi Harga Hidupnya Bisa Setara
Ini ironi terbesar. UMR Bali tahun 2024 ada di kisaran Rp 2,9 juta sangat jauh di bawah kota besar seperti Jakarta atau Surabaya. Tapi harga sewa kos Canggu? Bisa Rp 4–7 juta per bulan. Bahkan sewa motor bulanan bisa setingkat cicilan motor di Jawa.
Akhirnya banyak pekerja lokal memilih tinggal jauh dari pusat turistik, karena mustahil ngepasin gaji dengan biaya hidup di zona premium.
3. Budaya Nongkrong di Bali itu "Memanggil"
Bali itu jago banget menggoda. Kafe estetik ada di tiap sudut, dari jalan kecil sampai pinggir sawah. Engga ada tuh namanya sulit buat kita tergoda jajan setiap hari. Apalagi dengan menu-menu brunch cantik yang harganya ikut cantik.
Engga salah memang. Tapi gaya hidup ini pelan-pelan membentuk standar biaya hidup baru. Bahkan orang yang awalnya hemat pun bisa ikut hanyut.
4. Transportasi Publik Minim, Motor Jadi Nafas Sehari-Hari
Hidup di Bali tanpa motor itu seperti snorkeling tanpa kacamata.
Karena transportasi umum tidak sekuat kota besar lain, biaya hidup otomatis bertambah dari: sewa motor, bensin (yang cepat habis karena jarak antardaerah cukup jauh), servis, biaya parkir di area wisata.
Kalau setiap hari keluar masuk kawasan turistik, pengeluaran kecil-kecil itu akhirnya jadi besar.
5. Barang Kebutuhan Banyak yang Didatangkan dari Luar Pulau
Bali itu destinasi internasional, tapi tidak punya kapasitas produksi pangan sebesar Jawa. Banyak kebutuhan pokok sayur, telur, bahkan bahan bangunan harus dikirim dari luar pulau.
Biaya distribusi itu akhirnya masuk ke harga barang. Jadilah harga sembako naik mengikuti ritme pariwisata: ketika wisata ramai, harga cenderung ikut merangkak.
Jadi, Memang Tinggal di Bali Mahal? Iya dan Tidak
Kalau kamu tinggal di Seminyak, Canggu, Uluwatu dan rutin nongkrong di kafe, biaya hidup Bali bisa bikin kaget. Tapi kalau tinggal di Denpasar, Gianyar, atau Mengwi dan makan di warung lokal, Bali bisa terasa jauh lebih murah.
Hidup di Bali pada dasarnya fleksibel tapi kalau ingin mengikuti ritme “tropis ala Instagram”, siap-siap dompet ikut panas.
Pada akhirnya, Bali itu pulau yang menawarkan “surga”. Dan seperti banyak surga lain, ada harga yang harus dibayar untuk tinggal di dalamnya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
