Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image alvina qurrotuayun

Stop Self-Diagnose: Ketika TikTok Menjadi Terapis, Benarkah Kita Baik-Baik Saja?

Kultura | 2025-11-19 07:30:16

Dalam era digital saat ini, platform seperti TikTok telah bertransformasi menjadi lebih dari sekadar tempat hiburan, ia kini sering dijadikan sebagai 'terapis' dadakan oleh jutaan pengguna yang mencari jawaban atas masalah kesehatan mental mereka. Dari video singkat yang menjelaskan gejala gangguan kecemasan hingga tips cepat untuk mengatasi depresi. Konten-konten ini tampaknya menawarkan solusi instan, membuat kita merasa bahwa self-diagnose melalui layar ponsel terlihat sebagai cara yang aman dan efektif. Namun, benarkah kita benar-benar baik-baik saja?

Artikel ini berpendapat bahwa fenomena ini justru berbahaya karena menggantikan nasihat profesional dengan informasi yang sering kali tidak akurat dan saatnya kita berhenti mengandalkan TikTok sebagai pengganti terapi yang sesungguhnya.

source: prompt ai

Salah satu bahaya utama dari fenomena self-diagnose di TikTok adalah penyederhanaan dan miskonsepsi terhadap istilah-istilah psikologi klinis, yang sering kali mengaburkan pemahaman yang sebenarnya tentang kondisi kesehatan mental. Istilah seperti gaslighting, trauma bonding, ADHD, dan OCD sering kali direduksi menjadi konsep sederhana yang mudah dicerna dalam video pendek, sehingga kehilangan nuansa kompleksnya. Misalnya gaslighting yang seharusnya merujuk pada bentuk manipulasi psikologis sistematis untuk membuat korban meragukan kenyataan mereka, sering disederhanakan menjadi sekadar "berbohong" atau "membuat orang bingung" tanpa menjelaskan dampak jangka panjangnya pada kesehatan mental. Begitu pula dengan narcissism, yang sering disalahartikan sebagai "cinta diri berlebihan" atau "sombong". Padahal dalam konteks klinis, ini adalah pola gangguan kepribadian yang melibatkan kurangnya empati dan kebutuhan akan pengakuan yang berlebihan. Akibat dari hal inilah istilah-istilah tersebut kehilangan makna klinisnya dan digunakan secara sembrono dalam percakapan sehari-hari, seperti mengatakan "Aku lagi gaslighting diri sendiri" untuk menggambarkan kesalahan kecil, yang justru menormalisasi masalah serius dan menghambat diagnosis yang tepat. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Medical Internet Research pada tahun 2022, penyederhanaan seperti ini di platform media sosial dapat meningkatkan risiko misdiagnosis karena pengguna cenderung mengadopsi label tanpa konsultasi profesional, sehingga memperburuk stigma dan kesalahpahaman kolektif tentang kesehatan mental.

Selain penyederhanaan istilah, bahaya utama dari self-diagnose melalui checklist viral di TikTok terletak pada risiko yang lebih dalam terhadap kesehatan individu dan masyarakat yang sering kali diabaikan oleh para pengguna yang tergiur oleh kesederhanaan konten tersebut. Ketika seseorang mendiagnosis diri sendiri berdasarkan daftar gejala yang tersebar luas di platform ini, mereka mungkin mengabaikan masalah kesehatan fisik atau mental lain yang lebih mendesak dan memerlukan intervensi profesional, seperti kondisi medis yang tersembunyi atau gangguan yang saling terkait. Misalnya, seseorang yang mengira dirinya menderita depresi ringan berdasarkan video TikTok mungkin melewatkan diagnosis penyakit tiroid atau masalah hormonal yang sebenarnya, sehingga pengobatan yang tepat tertunda dan kondisi memburuk. Lebih lanjut, fenomena over-identification di mana individu terlalu cepat mengadopsi label seperti "aku pasti ADHD" tanpa evaluasi ahli bisa menjadi hambatan produktivitas karena label tersebut dijadikan alasan untuk menghindari tanggung jawab atau upaya perbaikan diri. Padahal tanpa diagnosis resmi, hal ini hanya memperkuat siklus ketidakpastian. Akhirnya ketika semua orang mulai mengaku mengidap kondisi tertentu, ini menciptakan stigma baru yang meremehkan penderitaan nyata mereka yang benar-benar didiagnosis secara klinis, sehingga mengurangi empati sosial dan membuat masyarakat kurang peka terhadap kebutuhan terapi yang sesungguhnya. Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Affective Disorders pada tahun 2020 menunjukkan bahwa self-diagnosis melalui media sosial seperti TikTok dapat meningkatkan risiko misdiagnosis hingga 30%, yang pada gilirannya memperburuk stigma dan kesenjangan akses ke perawatan kesehatan mental yang berkualitas.

Dalam menghadapi arus informasi kesehatan mental yang deras di TikTok, penting untuk mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab atas fenomena ini dan bagaimana kita seharusnya menyikapinya agar tidak semakin memperburuk masalah. Terutama para konten kreator yang bukan ahli profesional seperti psikolog atau psikiater, memiliki tanggung jawab besar untuk lebih berhati-hati dalam membagikan informasi. Konten edukasi seputar kesehatan mental harus selalu disertai disclaimer yang jelas dan kuat, seperti pernyataan bahwa "Ini hanyalah informasi umum untuk meningkatkan kesadaran, bukan pengganti diagnosis atau terapi profesional," untuk mencegah penonton menganggapnya sebagai nasihat medis. Di sisi lain, audiens juga perlu aktif menumbuhkan literasi digital dengan tidak mengandalkan satu sumber saja. Sebaliknya, mereka harus mencari verifikasi dari sumber yang kredibel seperti psikolog bersertifikat, psikiater, jurnal ilmiah, atau lembaga resmi seperti Kementerian Kesehatan untuk menghindari jebakan informasi yang menyesatkan.

Dengan pendekatan ini, media sosial seperti TikTok dapat berfungsi sebagai jembatan yang efektif untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental, bukan sebagai arena diagnosis dadakan yang berpotensi membahayakan. Penelitian dari JAMA Network Open pada tahun 2023 menegaskan bahwa peningkatan literasi digital di kalangan pengguna media sosial dapat mengurangi risiko misinformasi kesehatan hingga 25%, sehingga mendorong penggunaan platform ini sebagai alat pendidikan yang bertanggung jawab.

Dalam era dimana TikTok memudahkan akses informasi kesehatan mental, kita harus mengakui bahwa meskipun platform ini dapat meningkatkan kesadaran kolektif. Penyederhanaan istilah psikologi dan praktik self-diagnose melalui checklist viral justru membawa risiko serius seperti misdiagnosis, pengabaian masalah mendasar, dan munculnya stigma baru yang meremehkan penderitaan sejati. Oleh karena itu, penting untuk menegaskan kembali bahwa menghentikan kebiasaan ini bukan sekadar soal kehati-hatian, melainkan upaya krusial untuk menjaga validitas isu kesehatan mental dan memastikan keselamatan individu agar kita tidak terjebak dalam ilusi pemahaman yang dangkal yang bisa memperburuk kondisi psikologis jangka panjang. Mari kita ubah peran TikTok dari "ruang diagnosis" menjadi "ruang validasi" atau tempat kita merasa didukung dan didorong untuk mencari bantuan profesional yang tepat jika memang diperlukan, bukan malah mendiagnosis diri sendiri berdasarkan konten yang tidak bertanggung jawab. Pada akhirnya, kesehatan mental kita layak diperlakukan dengan serius, bukan sebagai tren yang mudah dikonsumsi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image