Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syarifah Mughniyah Tahir

Kebengisan Zionis Masih Berlanjut, Normalisasi dengan Zionis Tak Kunjung Surut

Politik | 2025-11-12 12:20:02

Kazakhstan melalui kementerian luar negerinya pada Jumat (7/11/2025) mengonfirmasi bahwa mereka telah bergabung dalam Abraham Accords (Perjanjian Abraham), sebuah perjanjian perdamaian dan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Adapun Amerika Serikat berperan sebagai mediator dalam perjanjian tersebut. Abraham Accords dimulai pada tahun 2020 dan sejumlah negara Arab sudah terlebih dahulu ikut berpatisipasi, sebut saja Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Perjanjian tersebut digadang-gadang akan meningkatkan kesejahteraan di bidang ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan.

Kementerian Luar Negeri Kazakhstan menyebutkan bahwa keputusan bergabung dalam Abraham Accords disebut penting bagi kepentingan Kazakhstan sendiri dan konsisten dengan karakter kebijakan luar negerinya yang seimbang, konstruktif, dan damai. Selanjutnya kementerian juga menjelaskan posisi Kazakhstan yang tegas berjuang untuk menyelesaikan konflik di Timur Tengah berdasarkan hukum internasional. Hamas kemudian menilai langkah yang diambil oleh Kazakhstan adalah upaya yang tidak dapat diterima dan memalukan. Hubungan Kazakhstan dan Israel sebenarnya bukanlah hal baru, sejak 1992 keduanya sudah terjalin secara diplomatik.

Berbondong-bondongnya berbagai negeri mayoritas penduduk beragama islam yang bersepakat untuk menormalisasi hubungan dengan Israel menandai keberhasilan Amerika Serikat dan sekutunya memecah kaum muslimin sehingga penjajahan dapat terus dilanggengkan. Tidak mampu diterima secara logika, ketika para penguasa negeri muslim menyaksikan saudara seimannya dibantai tanpa ampun, justru membuang muka dan berjabat tangan dengan pelaku utama pembantaian. Tidak perlu lagi ditanya soal rasa kemanusiaan, rasa takut kepada Allah SWT, Tuhan yang katanya mereka imani, jelas sudah sirna. Tersisa hanyalah rasa haus terhadap kekayaan materi semata yang mendorong untuk menghalalkan berbagai cara, sekalipun saudara satu aqidah menjadi bayarannya.

Abraham Accords yang tampak sangat memikat dengan janji “kesejahteraan dan stabilitas di Timur Tengah” adalah omong kosong, tetapi ironisnya negeri-negeri muslim terus saja terbuai. Kesejahteraan apa yang dimaksudkan ketika penjajahan atas kaum muslimin oleh Zionis makin membabi buta. Normalisasi terhadap penjajah sebenarnya adalah bentuk pelemahan bagi kaum muslimin agar semakin terlepas dari identitasnya sendiri, yaitu pemahaman bahwa umat islam adalah satu tubuh.

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan berbelas kasih, seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan sakit dengan cara terjaga (tidak bisa tidur) dan demam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Menormalisasi hubungan dengan penjajah dan bersikap tidak peduli terhadap penderitaan kaum muslimin lainnya bukanlah identitas islam. Identitas vital tersebut tercabut tatkala konsep negara-bangsa (nation state) masuk dalam tubuh umat islam dan melahirkan fanatisme golongan (ashabiyah), termasuk di dalamnya ikatan kebangsaan. Dampaknya, kaum muslimin menjadi tersekat-sekat dan akhirnya terpisahkan dari saudaranya yang lain hanya karena perbedaan bangsa. Kesadaran atas aqidah islam yang sama yang seharusnya mengikat dan mempersatukan umat islam kemudian hilang karena merasa bahwa harus mendahulukan kepentingan bangsa masing-masing. Kepentingan bangsa di atas segala-galanya, tak peduli apa yang terjadi pada selain bangsanya. Inilah yang disebut dengan rasisme.

Ashabiyah sangat bertentangan dengan islam. Keloyalan terhadap Allah SWT harus lebih utama dari apapun.

“Bukanlah dari golonganku orang yang menyerukan ashabiyah, bukanlah golonganku orang yang berperang karena ashabiyah dan bukan golonganku orang yang mati di atas dasar ashabiyah.” (HR. Abu Dawud).

Hal tersebut tercatat dalam sejarah, yakni pada Perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 pasca Perang Dunia I yang berhasil membagi-bagi kaum muslimin di Timur Tengah yang tergabung dalam khilafah Utsmaniyah. Tidak luput Palestina yang sebenarnya sudah hidup tenteram dalam genggaman khilafah islam akhirnya terpisahkan dari kaum muslimin lainnya hingga penjajahan tersebut terus berlanjut hingga detik ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan mengapa bendera-bendera negara Arab memiliki warna dan bentuk serupa karena bendera tersebut merupakan buatan Mark Sykes, diplomat Inggris, untuk mendorong orang-orang Arab menentang otoritas khilafah islam.

Para penguasa negeri muslim seharusnya menyadari upaya normalisasi dengan penjajah sebagai jebakan mematikan dengan bayang-bayang perdamaian yang hasilnya nihil. Kaum muslimin hanya perlu kembali pada identitasnya, bersatu dengan ikatan aqidah, di bawah sistem pemerintahan islam. Kejahatan sistemik yang dilakukan zionis tidak cukup mengandalkan gerakan dari warga sipil atau lembaga kemanusiaan saja. Namun, harus ada kekuatan yang setara untuk memobilisasi seluruh kekuatan dan potensi besar yang dimiliki umat islam, tentu saja dengan keberadaan negara yang menjalankan syariat islam.

Israel bersama sekutunya saja begitu gigih membangun suatu sistem holistik untuk melancarkan penjajahannya terhadap kaum muslimin, meliputi ideologi, sistem politik, sistem ekonomi, hingga militer. Dengan demikian, masuk akal bagi kaum muslimin untuk segera melakukan perlawanan yang sebanding untuk menumpas penjajahan yang telah merongrong habis tubuh umat islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image