Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kamila Tantri Tahira

Generasi Z dan Fenomena Hopeless Romantic: Saat Logika Tumbang oleh Romantisasi Cinta

Lainnnya | 2025-11-11 22:30:01
Sumber: Verywell / Dennis Madamba

Fenomena Hopeless Romantic kini tengah hangat dibicarkan oleh mayoritas Generasi Z. Fenomena ini mengubah pemikiran awal GenZ terkait hubungan romantis yang lebih idealistis dibandingkan realistis. Perubahan pola pikir ini tak lepas dari konten-konten media sosial yang menampilkan kebahagiaan atau romantisasi hubungan pasangan. Selain itu, perlu ditelaah lebih dalam lagi terkait perubahan pemikiran ini. Apakah di era digital ini cinta mampu dipengaruhi secara cepat oleh media sosial? Ataukah cara berpikir kritis generasi ini yang perlahan mulai kabur oleh derasnya romantisasi hubungan yang terus muncul di layar mereka?

Menurut Stenberg’s Tringuar Theory of Love, peristiwa ini mencerminkan dominasi aspek gairah (passion) dan komitmen yang didorong oleh fantasi pribadi sehingga sering kali menghiraukan komponen keintiman (intimacy) yang lebih berfokus pada realitas yang ada. GenZ sendiri sering me-mention kata ini di beberapa platform, contohnya di X ataupun Instagram. Berdasarkan teori ini, banyak dari generasi muda yang lebih menekankan hubungan romansanya dengan fantasi yang dimiliki tanpa memandang realita yang ada. Akibatnya, banyak dari mereka sering dikecewakan dengan hubungan yang pernah di jalani, dan di sisi lain, mereka juga terjebak dengan gambaran indah yang diciptakan sendiri tentang hubungan mereka.

Gambaran singkat ini mungkin bisa kita bayangkan, betapa menyiksanya menjadi seseorang yang hopeless romantic. Karena fokus pada perasaan cinta, seseorang bisa terjebak diantara ekspektasi dan realita yang ada. Lalu muncul pertanyaan: apakah cinta memang membuat seseorang buta, atau cara berpikir manusianya yang keliru dalam memahami makna cinta?

Cinta merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang mampu membawa dampak positif dan negatif. Bisa membawa dampak positif apabila perasaan yang ada dibarengi dengan realita. Akan tetapi, cinta juga bisa membawa dampak negatif apabila perasaan itu tidak seimbang antara realitas dan perasaan, sehingga mampu menimbulkan kekecewaan bahkan hopeless romantic. Disinilah pentingnya pemikiran logis untuk menghindari dan menjauhi fase-fase seperti ini. Logika disini perlu dimainkan agar bisa memahami batas antara keinginan, kenyataan, dan beberapa aspek berpengaruh lain. Dengan berpikir kritis, seseorang dapat tetap memaknai cinta secara rasional tanpa kehilangan sisi romantisnya.

Namun, hopeless romantic sendiri dikenal dengan perasaan cinta yang lebih mementingkan “feel” mereka dibandingkan “logic” mereka. Terkadang, orang-orang yang hopeless romantic mementingkan untuk memenuhi kebutuhan apa yang mereka inginkan tanpa memikirkan secara logika apakah itu setara dengan cinta yang mereka berikan kepada pasangan. Akibatnya, ekspektasi masyarakat, terutama GenZ, semakin tinggi terhadap hubungan yang akan dijalaninya. Selain itu, pengaruh konten-konten romantis di berbagai platform media sosial juga meningkatkan ekspektasi mereka. Jika ditelaah lebih dalam, fenomena ini membawa banyak dampak nyata terhadap pribadi yang merasakannya.

Maraknya media sosial sangat mempengaruhi tingkat hopeless romantic seseorang. Jika diambil contoh nyata, sekarang banyak konten pasangan romantis yang membagikan keromantisan mereka yang membuat penonton yang awalnya biasa saja, menjadi muncul “iri dan ingin” seperti mereka. Fase ini semakin memperkuat rasa yang membuncah untuk segera mendapatkan pasangan yang bisa menghabiskan banyak waktu bersama.

Namun, di balik itu semua, penting bagi kita untuk mengerti bahwa cinta sejati tidak selalu dihitung dari intensitas keromantisan yang tampak, melainkan dari keahlian atau kemahiran untuk menyeimbangkan perasaan dan logika. Dalam dunia yang dipenuhi ekspektasi dan romantisasi, berpikir kritis menjadi kunci agar seseorang tidak terjebak dalam bayangan cinta yang semu. Karena pada akhirnya, cinta yang sehat adalah cinta yang mampu membuat seseorang tumbuh — bukan yang menyesatkannya dalam ilusi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image