Sistem Zonasi: Bentuk Nyata Kesenjangan Pendidikan di Indonesia
Pendidikan dan Literasi | 2025-11-10 15:45:45
Pendidikan selalu disebut sebagai pintu emas untuk meraih masa depan yang lebih baik. Hal ini seharusnya menjadi hak dasar yang setara bagi setiap anak tanpa dibatasi oleh garis peta, status sosial, atau alamat rumah. Namun, muncul pertanyaan besar: benarkah sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi jawaban atas pemerataan pendidikan di Indonesia atau justru menghadirkan wajah baru dari kesenjangan yang sudah lama ada?
Sejak diterapkan pada 2017, sistem zonasi digadang-gadang mampu menghapus stigma sekolah “favorit” dan “nonfavorit”. Melalui Permendikbudristek No. 48 Tahun 2024, pemerintah menetapkan kuota minimal 80% untuk jalur zonasi, 15% afirmasi bagi keluarga kurang mampu, 5% perpindahan tugas orang tua, dan maksimal 5% jalur prestasi. Dengan komposisi ini, pemerintah berharap semua siswa memiliki akses yang sama terhadap pendidikan tanpa diskriminasi status maupun lokasi.
Secara konsep, gagasan ini tampak ideal. Anak-anak diharapkan dapat bersekolah di dekat domisilinya. Hal ini disertai dengan target pemerintah daerah yang berusaha meningkatkan kualitas sekolah secara menyeluruh. Namun, realitas di lapangan menunjukkan persoalan yang jauh lebih rumit. Pertama, distribusi sekolah belum seimbang. Di daerah padat penduduk, jumlah pendaftar membludak hingga melampaui kuota, sedangkan sekolah di wilayah lain justru kekurangan murid. Kedua, kualitas sekolah yang tidak merata mempertegas ketimpangan. Sekolah di kota umumnya memiliki fasilitas lengkap, tenaga pendidik berkualitas, serta lingkungan belajar kondusif. Sebaliknya, banyak sekolah di daerah tertinggal masih bergulat dengan keterbatasan fasilitas dasar. Akibatnya, tidak sedikit siswa berprestasi harus menerima kenyataan bersekolah di tempat yang kualitasnya jauh di bawah potensinya hanya karena domisili rumah. Bukankah hal ini bertentangan dengan semangat pendidikan yang seharusnya menempatkan bakat dan kemampuan sebagai tolok ukur utama?
Seorang warga Kecamatan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Rais (32), menggambarkan keresahan ini: “Kalau semua sekolah sama standarnya, saya tidak perlu repot memikirkan anak-anak mau sekolah di mana. Sampai sekarang saya masih melihat sekolah di kota lebih bagus dibandingkan di desa, jadi ya mau tidak mau anak saya lebih baik ke kota.” Ungkapan sederhana ini memperlihatkan realitas bahwa pemerataan kualitas pendidikan masih jauh dari harapan.
Persoalan lain muncul dari kompleksitas administrasi. Penentuan zona berdasarkan wilayah administratif (kelurahan/desa) dan syarat dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga minimal satu tahun sering kali menjadi kendala. Tidak jarang terjadi praktik curang berupa manipulasi alamat rumah hanya untuk diterima di sekolah impian. Ironisnya, kebijakan yang seharusnya menciptakan keadilan justru membuka celah bagi ketidakadilan baru. Salah satu contohnya adalah mereka yang mampu “mengakali sistem” akan diuntungkan, sementara yang lain dirugikan.
Apabila ditelaah lebih dalam, akar persoalan pendidikan bukan semata pada zonasi itu sendiri, melainkan pada ketidakmerataan kualitas pendidikan antarsekolah. Selama masyarakat masih menganggap ada perbedaan di antara sekolah “favorit” dan sekolah “biasa”, zonasi semakin mempertegas perbedaan kelas sosial di dunia pendidikan. Pemerataan tenaga pendidik, fasilitas, kurikulum, dan iklim belajar seharusnya menjadi prioritas utama. Apabila hal tersebut belum terpenuhi, zonasi hanya menjadi kebijakan setengah matang yang memperlihatkan wajah asli dari ketimpangan pendidikan di Indonesia.
Sistem zonasi dalam pendidikan Indonesia merupakan solusi dari pemerintah dalam mengatasi pemerataan pendidikan. Namun, masih banyak hal yang seharusnya menjadi prioritas di dunia pendidikan. Contohnya adalah kesejahteraan guru dan tenaga pendidik, pemerataan infrastruktur, dan sistem kurikulum yang masih perlu diperbaiki. Hal tersebut merupakan prioritas penting untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Maka dari itu, sistem zonasi bisa saja dilaksanakan dengan baik jika aspek-aspek dasar dalam pendidikan sudah terpenuhi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
