Mengukur Keberlanjutan Industri: Menemukan Keseimbangan antara Profit, Manusia, dan Lingkungan
Bisnis | 2025-11-10 14:42:36Oleh : Hary Fandeli (Dosen Fakultas Teknik Universitas Andalas, Padang)
Istilah keberlanjutan atau sustainability kini menjadi kata yang akrab di berbagai ruang diskusi. Hampir setiap perusahaan, dari skala kecil hingga besar, berupaya menampilkan diri sebagai entitas yang peduli terhadap lingkungan dan masyarakat. Label hijau, program sosial, hingga laporan keberlanjutan seolah menjadi syarat baru dalam dunia industri modern.
Namun, di balik banyaknya klaim positif tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar: bagaimana cara mengetahui bahwa sebuah industri benar-benar berkelanjutan? Apakah cukup dengan menanam pohon, menggunakan bahan daur ulang, atau menghemat energi? Jawabannya: tidak sesederhana itu.
Keberlanjutan tidak hanya berkaitan dengan kepedulian lingkungan, tetapi juga menyangkut keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dapat diukur secara objektif. Ketiga dimensi ini dikenal sebagai Triple Bottom Line (TBL)—Profit, People, dan Planet. Seperti tiga kaki pada bangku, jika satu kaki rapuh, seluruh sistem akan goyah.
Bagaimana Mengukur Keberlanjutan Industri?
Pengukuran keberlanjutan penting agar konsep ini tidak berhenti pada tataran wacana. Tanpa ukuran yang jelas, istilah “berkelanjutan” mudah berubah menjadi slogan tanpa makna. Dengan pengukuran yang sistematis, industri dapat memahami posisi keberlanjutannya, menilai efektivitas strategi yang sudah diterapkan, dan menentukan prioritas perbaikan yang paling relevan.
Pendekatan Triple Bottom Line digunakan untuk menilai keberlanjutan melalui tiga dimensi utama. Dari sisi ekonomi (profit), pengukuran berfokus pada kemampuan industri bertahan secara finansial sekaligus efisien dalam penggunaan sumber daya. Aspek ini menilai tingkat produktivitas tenaga kerja, efisiensi energi dan bahan baku, pengelolaan biaya operasional, serta kestabilan keuntungan jangka panjang. Industri yang berkelanjutan bukanlah yang sekadar mengejar laba cepat, melainkan yang mampu menjaga ketahanan ekonomi secara berkelanjutan melalui manajemen yang efisien dan berorientasi jangka panjang.
Pada dimensi sosial (people), pengukuran diarahkan pada bagaimana industri memperlakukan manusia di dalam dan di sekitarnya. Ini mencakup keselamatan dan kesehatan kerja (K3), pemberian upah dan jam kerja yang layak, kesempatan pengembangan keterampilan, serta keadilan dan kesetaraan di tempat kerja. Selain itu, keberlanjutan sosial juga terlihat dari hubungan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat sekitar—misalnya dalam bentuk keterlibatan sosial, kemitraan, atau kontribusi terhadap pengembangan komunitas. Industri yang berkelanjutan menempatkan manusia sebagai pusat keberlangsungan usaha, bukan sekadar faktor produksi.
Sementara itu, dimensi lingkungan (planet) menilai sejauh mana aktivitas industri berdampak terhadap ekosistem alam. Aspek ini mengukur efisiensi penggunaan air dan energi, kemampuan dalam mengurangi limbah, emisi gas rumah kaca, serta pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Prinsip utamanya adalah bagaimana industri dapat meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan memaksimalkan efisiensi sumber daya alam yang digunakan. Semakin rendah konsumsi energi per unit produk dan semakin sedikit limbah yang dihasilkan, semakin tinggi tingkat keberlanjutan lingkungannya.
Ketiga dimensi ini saling berkaitan dan tidak bisa diukur secara terpisah. Peningkatan efisiensi energi, misalnya, dapat berdampak pada biaya produksi (dimensi ekonomi) dan kenyamanan kerja (dimensi sosial). Karena itu, pengukuran keberlanjutan harus dilakukan secara terpadu, dengan mempertimbangkan hubungan antarelemen di dalam sistem industri.
Menuju Sistem Industri yang Lebih Tangguh
Di Indonesia, penerapan prinsip keberlanjutan mulai terlihat terutama di sektor industri kecil dan menengah (IKM). Meskipun memiliki keterbatasan modal dan teknologi, banyak IKM menunjukkan langkah-langkah nyata menuju praktik yang lebih efisien dan bertanggung jawab. Upaya tersebut antara lain dilakukan dengan menghemat penggunaan energi, mengelola limbah produksi secara lebih baik, dan memperhatikan keselamatan serta kesejahteraan pekerja. Beberapa pelaku usaha juga mulai membangun kemitraan dengan pemasok lokal untuk memperkuat rantai pasok yang lebih pendek, serta melibatkan masyarakat sekitar dalam kegiatan usaha. Perlahan, keberlanjutan bukan lagi dianggap sebagai beban tambahan, melainkan strategi bisnis yang mampu memperkuat efisiensi, menjaga reputasi, dan membuka peluang pasar baru.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa praktik keberlanjutan yang diterapkan secara konsisten mampu meningkatkan efisiensi, daya saing, dan ketahanan finansial industri. Pengukuran yang baik tidak hanya memberikan gambaran tentang posisi perusahaan, tetapi juga membantu menentukan arah kebijakan, investasi, dan inovasi yang diperlukan untuk memperkuat daya saing jangka panjang.
Secara umum, hasil pengukuran tingkat keberlanjutan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori: rendah, sedang, dan tinggi. Industri dengan tingkat rendah biasanya masih berorientasi pada keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan dampak sosial dan lingkungan. Kategori sedang menunjukkan bahwa perusahaan mulai melakukan efisiensi energi dan memperhatikan kesejahteraan karyawan, namun belum menerapkan sistem keberlanjutan secara menyeluruh. Sedangkan kategori tinggi menunjukkan bahwa perusahaan telah berhasil menyeimbangkan ketiga dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan secara konsisten dalam proses bisnisnya.
Ke depan, keberlanjutan perlu dipandang sebagai strategi rasional untuk memastikan ketahanan industri, bukan sekadar kewajiban moral. Industri yang berkelanjutan bukan hanya bertahan menghadapi perubahan, tetapi juga tumbuh melalui efisiensi, inovasi, dan kepercayaan pasar. Dengan pengukuran yang tepat dan komitmen yang berkelanjutan, dunia industri dapat bergerak dari konsep menuju kenyataan—mewujudkan sistem yang tangguh, berdaya saing, dan tetap berpihak pada manusia serta lingkungan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
